Surabaya (ANTARA) - Generasi Z yang lahir antara 1997 hingga 2012, kini menjadi kekuatan pengubah dalam ekosistem komunikasi digital Indonesia.
Tumbuh besar dengan ponsel pintar di genggaman dan jaringan internet sebagai kebutuhan primer, generasi ini menciptakan revolusi dalam cara mengonsumsi informasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Lupakan era ayah membaca koran pagi atau keluarga berkumpul menonton berita televisi jam delapan malam. Generasi Z lebih memilih berselancar di lautan video TikTok, menggulir konten di Instagram, atau menghabiskan malam dengan menonton YouTube.
Para Gen Z tidak lagi bersabar dengan format berita konvensional yang panjang dan formal, yang mereka inginkan adalah informasi yang cepat, visual, dan dapat langsung dibagikan.
Berdasarkan laporan Reuters Institute 2024 mengungkap fakta mengejutkan, bahwa hanya segelintir generasi Z yang masih setia mengunjungi situs berita resmi secara rutin.
Mayoritas mereka justru menjadikan media sosial dan para influencer atau pemengaruh sebagai "jurnalis" utama mereka.
Lebih mengkhawatirkan, mereka tidak lagi aktif mencari berita. Sebaliknya, mereka menerima informasi secara pasif melalui algoritma platform digital yang menyajikan konten berdasarkan preferensi dan perilaku digital mereka. Dimana ini bisa disebut era berita datang sendiri.
Fenomena ini sebenarnya sejalan dengan teori Uses and Gratifications dari Blumler dan Katz, yang menjelaskan bahwa audiens secara aktif memilih media yang paling sesuai dengan kebutuhan individu mereka.
Generasi Z memilih media berdasarkan tiga kebutuhan utama, yaitu hiburan, konektivitas sosial, dan kemudahan akses informasi.
Bagi media konvensional yang masih berkutat dengan format kaku dan presentasi monoton, ini adalah alarm keras. Media konvensional tersebut berisiko kehilangan relevansi di mata generasi yang akan menjadi mainstream dalam beberapa tahun ke depan.
Berdasarkan hal tersebut Teori Mediatization menjadi relevan. Konsep ini menekankan bahwa kehidupan sosial kita kini dikuasai oleh logika media.
Media bukan lagi sekadar penyampai informasi, tetapi telah berevolusi menjadi arsitek budaya yang membentuk nilai dan opini publik.
Apabila media gagal beradaptasi dengan bahasa dan gaya komunikasi generasi muda, yang terjadi adalah kepunahan bertahap media tradisional dari radar generasi masa depan.
Teori Mediatization yang dipopulerkan Stig Hjarvard menggambarkan bagaimana masyarakat dan budaya kini hidup dalam ketergantungan total pada media dan logikanya.
Media tidak lagi berperan sebagai jembatan informasi belaka, tetapi menjadi kekuatan yang mengubah struktur sosial, perilaku, bahkan sistem nilai masyarakat.
Dalam konteks di Indonesia, mediatization berarti media memiliki kekuatan menentukan apa yang layak dibicarakan publik, bagaimana realitas dipahami, dan sudut pandang mana yang dianggap benar oleh masyarakat.
Ambil contoh fenomena viral TikTok yang mampu mengubah konten edukasi menjadi hiburan yang ditonton jutaan orang. Hal itu menunjukkan bagaimana Generasi Z telah merevolusi komunikasi dari model satu arah yang kaku menjadi interaksi dua arah yang dinamis dan partisipatif.
Namun, di balik kemudahan dan kecepatan akses informasi ini, tersembunyi tantangan serius. Generasi Z yang terlalu bergantung pada video pendek dan konten visual berisiko hanya memahami informasi secara superfisial seperti mengambil secuil emas dari tambang yang dalam.
Sementara itu, Teori komunikasi lainnya yang menjelaskan paradoks itu adalah Teori Komputer Mediated dimana meski komunikasi digital mampu menciptakan kedekatan emosional yang intens, namun sering kali menghasilkan pemahaman yang dangkal karena minimnya ruang untuk refleksi mendalam.
Akibatnya, generasi ini rentan terjebak dalam pemahaman parsial yang dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis mereka.
Menghadapi tantangan ini, sejumlah media besar Indonesia mulai melakukan metamorfosis digital.
Para pelaku media tidak lagi sekadar memindahkan konten cetak ke platform digital, tetapi merancang ulang seluruh pendekatan editorial, menciptakan format berita yang lebih visual, mengembangkan saluran khusus di platform populer, dan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi audiens muda.
Transformasi ini bukan sekadar perubahan teknis, tetapi revolusi filosofis dalam memandang audiens. Media kini harus belajar memperlakukan pembaca bukan lagi sebagai konsumen pasif, melainkan sebagai mitra aktif dalam ekosistem informasi.
Kunci keberhasilan media konvensional untuk bertahan hidup terletak pada kemampuan beradaptasi dengan cerdas tanpa kehilangan integritas jurnalistik.
Media harus mampu menyajikan konten yang tidak hanya memikat mata, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir kritis Generasi Z.
Relevansi sejati bukan hanya hadir di platform digital yang tepat, tetapi juga berperan sebagai guru digital yang membantu audiens muda memilah informasi berkualitas, mengenali hoaks, dan memahami konteks yang lebih dalam dari setiap berita yang mereka konsumsi.
Melalui peningkatan literasi digital yang terstruktur, media dapat mempertahankan posisinya sebagai pilar informasi terpercaya sembari membentuk generasi muda yang cerdas, kritis, dan bijaksana dalam menghadapi tsunami informasi digital yang tak pernah berhenti.
Transformasi gaya komunikasi Gen Z dan tantangan bagi media di Indonesia
Oleh Rachmat Hidayat Jumat, 20 Juni 2025 15:05 WIB

Kepala Biro Perum LKBN ANTARA Biro Jawa Timur, Rachmat Hidayat, yang juga merupakan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta. (ANTARA/Dokumentasi pribadi)