Surabaya (ANTARA) - Pemilihan umum bukan sekadar ajang pesta lima tahunan untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin negara. Pemilu adalah potret perjalanan demokrasi bangsa. Di balik setiap surat suara, berita acara, dan dokumen penyelenggaraan, tersimpan jejak sejarah yang membentuk kesadaran kolektif tentang bagaimana bangsa ini berdemokrasi.
Ketika arsip-arsip pemilu tidak diserahkan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), negara perlahan kehilangan memori institusionalnya. Arsip adalah bukti autentik yang menjamin akuntabilitas, transparansi, dan kontinuitas kebijakan publik. Tanpa arsip, sejarah mudah diputarbalikkan dan tanggung jawab publik kehilangan pijakan.
Persoalan keterlambatan atau kelalaian penyerahan arsip Pemilu 2014 dan 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada ANRI yang terungkap dalam sidang Komisi Informasi Pusat (KIP), yang hingga kini masih berproses, merupakan peringatan serius. Kita tidak ingin menuju negara tanpa ingatan. Ini adalah alarm keras.
Jika diabaikan, negara sedang bergerak menuju kehilangan kendali kedaulatan atas ingatan kolektifnya. Kita selalu respek bicara soal kedaulatan pangan, energi, teknologi, bahkan cinta kalau perlu. Namun soal kedaulatan arsip sunyi dan sepi. Lembaga-lembaga negara yang biasanya vokal mendadak bungkam saat ditanya soal arsip.
Padahal, arsip bukan sekadar tumpukan berkas. Ia adalah jejak legal dan moral dari sebuah negara. Lewat arsip, kita tahu siapa pernah berkuasa, bagaimana caranya memperoleh, dan apakah benar seseorang dipilih rakyat atau hanya sekadar dimunculkan lewat opini publik.
Dalam konteks pemilu, dokumen seperti formulir pendaftaran capres, berita acara pleno, kasus sengketa pemilu, dan penetapan pemenang bukan sekadar bernilai administratif, tetapi bernilai sejarah. Namun anehnya, setelah pesta demokrasi usai, rekaman informasinya sering lenyap seperti mantan yang pergi tanpa kabar.
Retensi Arsip KPU
KPU sebenarnya tidak sepenuhnya abai terhadap masalah arsip. KPU telah memiliki Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Jadwal Retensi Arsip (JRA). Di sana diatur bahwa dokumen pencalonan presiden, wakil presiden, gubernur, hingga bupati/wali kota memiliki masa simpan lima tahun dengan status "permanen".
Artinya, setelah masa simpan berakhir di KPU, arsip itu wajib diserahkan ke ANRI. Peraturan tersebut bukan anjuran, tetapi amanat dan kewajiban dari regulasi. Namun kenyataannya hingga hari ini, ANRI tidak menyimpan dokumen pendaftaran dan penetapan pasangan capres-cawapres 2014 dan 2019.
Arsip yang seharusnya menjadi bagian dari memori bangsa justru belum sampai ke rumah arsip negara, ANRI. Persoalannya bagaimana peraturan KPU tahun 2023 dapat digunakan, sementara arsip-arsip pemilu jauh tercipta sebelum peraturan tersebut dibuat.
Peraturan KPU tidak dijadikan rujukan hukum formal, tetapi dapat dijadikan referensi penilaian arsip pemilu tahun 2014 dan 2019 untuk dapat diserahkan ke ANRI. Karena saat penetapan Peraturan KPU tersebut juga sudah melalui proses penilaian, bahkan persetujuan ANRI. Dalam konteks ini, diperlukan kesungguhan dan komitmen dari KPU sebagai pencipta arsip.
ANRI Perlu Penguatan Kewenangan
Berdasarkan temuan dalam rangkaian sidang KIP, kiranya negara perlu meningkatkan kapasitas ANRI sebagai lembaga yang mempunyai "otot hukum" yang dapat mengaudit, menegur keras, memanggil, dan bahkan memberi sanksi pada lembaga publik yang memiliki kewajiban serah arsip statis tetapi mangkir dari tanggung jawabnya.
Muaranya agar lembaga negara tak hanya takut pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi juga hormat pada ANRI. Kalau ANRI bisa memberi penghargaan kepada lembaga pengelolaan arsip, maka sudah saatnya juga ANRI bisa memberi "rapor merah" pada lembaga yang mangkir menyerahkan arsipnya.
ANRI harus menjadi garda terdepan dalam menegakkan kedaulatan arsip. ANRI perlu memiliki kekuatan untuk menyelidiki dan berani melaporkan lembaga negara/pemerintah yang lalai menjalankan setiap kewajibannya. Akuisisi arsip tidak cukup bergantung pada "niat baik" tanpa aksi dari lembaga-lembaga negara pencipta arsip yang berstatus menyerahkan arsip berkategori permanen kepada ANRI.
Penguatan UU Kearsipan
Secara teori, UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan menempatkan ANRI pada posisi strategis, yaitu sebagai pembina, pengawas, dan pengendali arsip statis. Namun aturan ini tidak memiliki daya paksa yang efektif. Tidak ada sanksi yang membuat lembaga pencipta arsip merasa wajib tunduk.
Akibatnya, akuisisi arsip sering berhenti pada himbauan moral. Semua itu masih indah di atas kertas. Di dunia nyata, ANRI lebih mirip guru Bimbingan dan Konseling (BK) yang hanya bisa memberi nasihat tanpa memiliki kemampuan daya paksa.
Dalam Undang-Undang tersebut tidak ada pasal atau ayat yang memberi ANRI kewenangan hukum untuk memaksa lembaga negara menyerahkan arsip. Jadi ketika KPU berkata, "Arsip masih kami butuhkan," ANRI hanya bisa menanti sambil "ngopi pahit". Padahal seharusnya, ANRI punya otoritas hukum.
ANRI seharusnya bisa memanggil, memeriksa, menekan, jika perlu memberi sanksi kepada lembaga negara/lembaga pemerintah yang menyandera arsip yang menurut kewajiban harus diserahkan ke ANRI sesuai Jadwal Retensi Arsip.
KPU Penjaga Jejak Demokrasi
Terhadap arsip Pemilu 2014 dan 2019 yang belum diserahkan ke ANRI, KPU mungkin merasa masih membutuhkan arsipnya untuk audit internal meski masa simpan sudah berakhir, maka KPU tetap wajib menyerahkan arsipnya ke ANRI. Solusinya KPU membuat salinan digital.
Karena arsip pemilu bukan sekadar dokumen administratif. Ia adalah bukti bahwa rakyat pernah memilih dan negara pernah menghitung. Satu dokumen rekap nasional akan menjadi penentu sah atau tidaknya sebuah kekuasaan. Kalau arsip-arsip itu hilang, maka narasi siapa paling keras bicara akan menggantikan fakta.
Kita kehilangan bukan hanya dokumen, tetapi kebenaran itu sendiri. Dalam jangka pendek, arsip pemilu 2014 dan 2019 harus segera diakuisisi ANRI. Dalam jangka panjang, UU Kearsipan kiranya layak direvisi agar fungsi pengawasan ANRI lebih tajam dari opini publik sekaligus menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul dewasa ini.
ANRI perlu diperkuat hak, kemampuan, dan kewenangan untuk menguasai, melindungi, dan mengelola arsip statis yang diciptakan lembaga negara/pemerintah dalam aktivitas kenegaraan maupun masyarakatnya tanpa intervensi pihak luar. Penting kiranya ke depan perlu dibentuk Lembaga Verifikasi dan Autentikasi Dokumen Negara (LVADN) yang bertugas memastikan bahwa dokumen atau arsip pada calon pejabat negara dan aset negara benar-benar terautentikasi keasliannya.
Negara ini bisa bangkit saat terpuruk dan kehilangan triliunan rupiah. Bangsa ini mampu berjuang memperoleh kemerdekaan dalam situasi penjajahan. Namun jika negara ini kehilangan arsip, negara akan kehilangan ingatan, sejarah, jati diri, identitas, dan kredibilitas. Lalu kita pun jadi bangsa pelupa.
Bukan karena amnesia, tetapi karena memilih untuk melupakan keberhasilan dan kegagalan dengan melewatkan bukti-bukti dan jejak sejarah.
*) Penulis adalah Ketua Asosiasi Arsiparis Indonesia (AAI) Wilayah Jawa Timur Tidor Arif T. Djati
