Surabaya (ANTARA) - Ketua Program Studi Sistem dan Teknologi Informasi (Sistekin) Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Supangat, M.Kom., Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., memaparkan ancaman terhadap demokrasi digital, etika pengembangan teknologi hacking, dan tantangan kebebasan.
"Demokrasi memegang peran krusial dalam sistem pemerintahan meskipun implementasinya bervariasi antarnegara. Konsep demokrasi mengakui kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sehingga menjadikan rakyat sebagai sumber kekuasaan yang menentukan arah dan pengelolaan negara," kata Supangat di Surabaya, Rabu.
Dalam era globalisasi dan transformasi digital yang terus berkembang, kata dia, muncul sebuah paradoks bahwa demokrasi digital perlu mendapat perhatian serius.
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 menunjukkan peningkatan penetrasi masyarakat di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa.
"Pertumbuhan interaksi masyarakat dengan dunia maya secara signifikan mempengaruhi kehidupan sosial, politik, dan negara. Manfaat nyata dari kemajuan TIK dalam politik adalah perluasan fungsi-fungsi sosial dari para pelaku politik, hubungan antara warga negara dan warga negara lainnya lebih mudah," kata Supangat.
Ia menambahkan demokrasi digital (e-democracy) menerapkan demokrasi tanpa terikat oleh batasan ruang, waktu, atau kondisi fisik, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) serta Computer-mediated Communication (CMC).
"Demokrasi digital berperan dalam memperluas cakupan partisipasi publik, memberikan nilai tambah dengan mewujudkan kesetaraan bagi setiap warga negara untuk turut serta dalam kehidupan politik," tuturnya.
Hanya, lanjut Supangat, meski teknologi memberikan akses lebih luas terhadap informasi dan memberdayakan partisipasi masyarakat dalam proses demokratis, perkembangan teknologi hacking memberikan tantangan serius terhadap kelangsungan demokrasi itu sendiri.
"Posisi Indonesia di peringkat ke-24 dari 194 negara, seperti tercatat dalam Global Cyber Security Index tahun 2020, mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kebebasan sejati dalam kemampuan warga negara Indonesia untuk melindungi data pribadi mereka dan mendapatkan jaminan perlindungan yang memadai saat beraktivitas di dunia maya," tuturnya.
Supangat melihat kebebasan partisipasi politik melalui teknologi digital membuka peluang bagi warga negara untuk aktif dalam diskusi politik dan memengaruhi kebijakan publik.
Meskipun demikian, tantangan besar muncul dalam mengelola informasi yang tersebar luas perlu penanganan bijak agar partisipasi politik berjalan sehat dan inklusif. Masyarakat harus memilah dan memverifikasi informasi untuk menghindari disinformasi atau hoaks.
"Serangan siber dan manipulasi informasi menjadi senjata untuk memanipulasi opini publik, meragukan kepercayaan pada proses demokratis, dan bahkan merusak struktur politik yang ada," papar dia.
Ia menyebut jika etika dalam pengembangan teknologi hacking menjadi fokus utama untuk menjaga keamanan demokrasi digital. Kendati kegiatan peretasan oleh beberapa orang dianggap sebagai akses ilegal ke dalam sistem dan jaringan komputer, seharusnya hal tersebut tidak demikian.
"Jadi, etika bukan hanya menjadi dasar dalam menciptakan alat keamanan siber, tetapi juga dalam memastikan bahwa teknologi yang dikembangkan mendukung prinsip dasar demokrasi," ujarnya.
Ditambahkan Supangat, bahwa demokrasi digital memerlukan partisipasi pemangku kepentingan, penekanan etika, kerja sama lembaga, dan literasi digital masyarakat untuk melawan ancaman teknologi hacking.
Selain itu, meningkatkan kapabilitas warga negara adalah kunci membangun keamanan siber dan kedaulatan data di Indonesia.
"Dalam hal ini, negara bertanggung jawab menyusun sistem keamanan siber yang tidak hanya melindungi data secara aman, tetapi juga demokratis bagi semua warga negara Indonesia," katanya.
Akademisi Untag paparkan ancaman pada demokrasi digital
Rabu, 6 Desember 2023 21:30 WIB
Demokrasi memegang peran krusial dalam sistem pemerintahan meskipun implementasinya bervariasi antarnegara