Surabaya (ANTARA) - Pakar Farmasi Universitas Surabaya (Ubaya) Eko Setiawan, S.Farm., M.Sc., Apt menyebut bahwa bahaya tidaknya penggunaan senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam pada obat sirup anak tergantung pada kadar yang digunakan.
"Etilen glikol dan dietilen glikol ini sifatnya cemaran. Tidak ada yang sengaja menggunakan dua senyawa tersebut dalam farmasi. Tapi di dua senyawa itu ditemukan kontaminasi," kata peniliti di Pusat Informasi Obat Dan Layanan Kefarmasian (PIOKL) Ubaya itu kepada wartawan, Jumat.
Sebelumnya, berdasarkan persyaratan BPOM yang mengacu pada Farmakope Indonesia, jika penggunaan (dosis) melewati ambang batas tertentu maka akan jadi berbaya dan berakibat fatal.
Eko menjelaskan misalnya saja, dalam peracikan obat serbuk paracetamol sebagai bahan aktif untuk dijadikan obat sirup, perlu dilarutkan untuk menjadi cair dengan senyawa pelarut. Dalam prosesnya, apoteker perlu menambahkan pemanis dan obat stabil dalam waktu lama.
"Beberapa tambahan itu bisa mengalami reaksi kimia sehingga muncul etilen glikol dan dietilen glikol. Asal, tidak melebihi batas ambang dan selama ada dibawah batas ambang, konsumsinya aman," ujarnya.
Eko mencontohkan misalnya saja ambang batas pada senyawa gliserin diijinkan di angka 0.1 persen, dari total gliserin yang digunakan. Sedangkan untuk etilen glikol batas ambang yang diijinkan sebanyak 0.25 persen.
"Jika (penggunaan) di atas (batas ambang) itu akan berbahaya. Jika kadarnya di bawah itu diharapkan tidak membawa bahaya dan aman," ujarnya.
Sebelum obat diproduksi massal ada tahapan quality assurance (keamanan produk untuk masyarakat) dan quality control untuk kelayakan produk obat sebelum disebarkan di pasar dan dikonsumsi. Pun saat industri membeli bahan baku obat, pabrik obat akan meminta bukti.
"Setiap kali bahan baku yang dipakai untuk sirup datang selalu dites (pabrik obat). Apakah ada cemaran atau tidak," katanya.
Disinggung soal penyakit gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak dan tidak berdampak pada orang dewasa, menurut Eko karena organ anak berbeda dengan orang dewasa yang sudah bekerja secara optimal.
Ia menilai, berdasarkan statemen Kemenkes yang menyebut anak usia di bawah 6 tahun paling banyak terkena gagal ginjal akut karena secara fisiologis dan anatomi range, organ dalam anak-anak masih dalam tahap tumbuh kembang fungsi tubuh.
Karena itu, bagi anak-anak yang menderita penyakit ini perlu dilihat riwayat lahir, apakah usia cukup dalam kandungan atau prematur. Jika dari prematur ada catatan khsus terkait dengan perkembangan organ.
"Kemungkinan besar salah satunya pre-organnya belum menjadi seperti orang dewasa yang kapasitanya kerja organnya sudah optimal," kata dia.
Namun, lanjut Eko, pada anak-anak usia 2 tahun secara fisologi ini sudah semestinya organ bekerja secara optimal seperti orang dewasa.
Di Indonesia, hingga saat ini baik Kementerian Kesehatan dan BPOM masih melakukan investigasi secara lebih menyeluruh terhadap senyawa yang terkandung pada obat sirup. Keputusan pemerintah dalam menghentikan sementara konsumsi sirup pada anak dinilai Eko tepat.
Dosen Farmasi Ubaya ini menilai jika Kemenkes berusaha untuk menjaga agar kasus tidak terus meningkat. Mengingat, fasilitas peralatan hemodialisis terbatas di masing-masing rumah sakit.
Pemerintah juga menganjurkan agar anak-anak diberikan obat puyer untuk konsumsi jika mengalami sakit dengan resepan dokter. Meski ada rasa pahit, Eko menyarankan agar orang tua menambahkan madu saat konsumsi obat untuk anak.
Sementara pada obat herbal, masyarakat bisa meracik obat penurun panas dengan bahan daun alang-alang yang direbus. Hal itu tentu saja, tidak menjamin keefektifan obat dalam menurunkan demam anak.
"Kalau ditanya, ada alternatif pengganti obat sintetis atau tidak? Tentu ada. Bisa menggunakan herbal. Tapi jika dituntut untuk sama efektifnya (penurunan demam) ini jadi isu lain. Karena datanya sementara ini tidak ada," tuturnya.