Beijing (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri China menyatakan tidak puas dengan klarifikasi dari pejabat tinggi Jepang soal posisi Tokyo terhadap Taiwan.
"Menilai dari pernyataan-pernyataan terbaru tersebut, pihak Jepang tampaknya terus berdalih dan menanamkan persepsi yang salah tentang isu-isu penting, dengan harapan dapat menyesatkan opini publik dan entah bagaimana melewati masalah tersebut. China dengan tegas menentangnya," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing, Selasa.
Pernyataan Guo tersebut merespons ucapan Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi, Senin (15/12) yang menjelaskan sikap Tokyo terhadap Taiwan dalam sesi tanya jawab di komite anggaran Dewan Penasihat Jepang.
Dalam kesempatan itu, Motegi mengulangi sikap Tokyo tentang Taiwan sebagaimana tercantum dalam Komunike Bersama Jepang-China tahun 1972 yang menyebut pemerintah Jepang sepenuhnya memahami dan menghormati pendirian Republik Rakyat China dan dengan tegas mempertahankan pendiriannya berdasarkan Pasal 8 Deklarasi Potsdam yang ditandatangani pada 1945.
Pasal 8 Deklarasi Potsdam yang disepakati Amerika Serikat (AS), Inggris, dan China menetapkan bahwa "kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku, dan pulau-pulau kecil lainnya yang kami tentukan".
Deklarasi Postdam sendiri mencakup ketentuan-ketentuan Deklarasi Kairo pada November 1943 yang menyatakan "tujuan mereka (China, Inggris, dan AS) adalah agar Jepang dilucuti dari semua pulau di Pasifik yang telah direbut atau diduduki sejak awal Perang Dunia Pertama pada tahun 1914".
Kedua dokumen tersebut sering dikutip oleh Beijing sebagai perjanjian hukum yang mendukung Taiwan sebagai bagian dari China.
Namun Motegi tidak membacakan bagian pertama dari klausul yang dikutip, yang menyatakan "Pemerintah Republik Rakyat China menegaskan kembali bahwa Taiwan adalah bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Republik Rakyat China".
"Kami juga mencatat bahwa Jepang tidak mengulangi klausul penting dalam dokumen tersebut yang menyatakan 'Pemerintah Jepang mengakui pemerintah RRC sebagai satu-satunya pemerintah China yang sah' dan 'Taiwan adalah bagian yang tak terpisahkan dari wilayah RRC'," ungkap Guo Jiakun.
Ia juga mencatat bahwa ketika mengutip Deklarasi Kairo, Motegi hanya menyebutkan "Manchuria, Formosa, dan Kepulauan Pescadores" dan sengaja menghindari informasi penting bahwa wilayah-wilayah tersebut adalah "wilayah yang telah dicuri Jepang dari China".
"Jepang juga menyandingkan Pernyataan Bersama Sino-Jepang dan apa yang disebut Perjanjian San Francisco, melanggar komitmen yang telah dibuatnya dan prinsip-prinsip dalam hukum internasional, mencoba mengulang kembali kekeliruan bahwa status Taiwan 'tidak ditentukan' dan mencampuri urusan domestik China," tambah Guo Jiakun.
Motegi memang mengutip Perjanjian Perdamaian San Francisco tahun 1951, yang secara resmi dikenal sebagai Perjanjian Perdamaian dengan Jepang. Persoalannya, Beijing tidak diundang untuk menandatangani perjanjian tersebut dan telah menolaknya dengan alasan bahwa perjanjian tersebut gagal menentukan kepada siapa kedaulatan Taiwan akan dialihkan.
Guo Jiakun kemudian menjelaskan ada sejumlah momen yang mendukung bahwa Taiwan menjadi bagian dari China, pertama Deklarasi Kairo 1943 yang menyatakan semua wilayah yang telah dicuri Jepang dari China, seperti Taiwan, harus dikembalikan ke China.
Kedua, Deklarasi Potsdam 1945 menetapkan bahwa ketentuan Deklarasi Kairo harus dilaksanakan. Pada 15 Agustus 1945, dengan kekalahan Jepang dalam perang, Kaisar Jepang berjanji untuk melaksanakan ketentuan Deklarasi Potsdam dengan itikad baik dan mengumumkan penyerahan tanpa syarat Jepang sehingga pada 25 Oktober 1945, pemerintah China mengumumkan pelaksanaan kedaulatan atas Taiwan.
Kemudian pada 1 Oktober 1949, pemerintah Republik Rakyat China menggantikan pemerintah Republik China, menjadi satu-satunya pemerintah sah yang mewakili seluruh China termasuk mulai menjalankan kedaulatan atas seluruh wilayah China, termasuk Taiwan.
Ketiga, pernyataan Bersama China-Jepang tahun 1972 memberikan ketentuan yang jelas mengenai masalah Taiwan. Pada November 1972, setelah normalisasi hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Jepang, Perdana Menteri Jepang saat itu, Kakuei Tanaka, dan Menteri Luar Negeri Masayoshi Ōhira secara terbuka menyatakan dalam sidang parlemen bahwa "Perselisihan antara China daratan dan Taiwan adalah urusan internal China” dan "Pertentangan antara Republik Rakyat China dan Taiwan adalah masalah domestik China".
Keempat, pada Februari 1975, Menteri Luar Negeri Jepang saat itu, Kiichi Miyazawa, di parlemen mengatakan, "Konflik lintas Selat Taiwan harus dianggap sebagai perang saudara dalam istilah hukum."
Kelima, Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan antara China dan Jepang tahun 1978, yang diratifikasi oleh badan legislatif kedua negara, menegaskan bahwa prinsip-prinsip yang tercantum dalam Pernyataan Bersama tahun 1972 harus dipatuhi secara ketat.
Keenam, Deklarasi Bersama Tiongkok-Jepang tentang Membangun Kemitraan Persahabatan dan Kerja Sama untuk Perdamaian dan Pembangunan pada 1998 yang mencakup pernyataan "Pihak Jepang terus mempertahankan pendiriannya mengenai masalah Taiwan yang telah diuraikan dalam Komunike Bersama Pemerintah Jepang dan pemerintah RRC dan menegaskan kembali pemahamannya bahwa hanya ada satu China."
"Taiwan adalah bagian yang tak terpisahkan dari wilayah China, Bagaimana menyelesaikan masalah Taiwan adalah urusan rakyat China sendiri dan Jepang tidak dalam posisi untuk melakukan campur tangan apa pun," tegas Guo Jiakun.
"Kami sekali lagi mendesak pihak Jepang untuk menaati semangat keempat dokumen politik antara Tiongkok dan Jepang dan menarik kembali pernyataan keliru yang dibuat oleh Perdana Menteri Sanae Takaichi," katanya menambahkan.
Hubungan antara Beijing dan Tokyo kembali menegang sejak 7 November 2025 setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyatakan bahwa aksi militer China terhadap Taiwan dapat “menimbulkan situasi yang mengancam kelangsungan hidup bagi Jepang”.
Pernyataan tersebut dipandang sensitif oleh Beijing karena ditafsirkan sebagai sinyal terbukanya kemungkinan keterlibatan Pasukan Bela Diri Jepang dalam merespons skenario konflik di Selat Taiwan.
China pun telah melakukan sejumlah tindakan balasan menanggapi pernyataan PM Takaichi soal Taiwan itu dengan menangguhkan kembali impor produk laut Jepang, dan memutus pertemuan pejabat tinggi pemerintah.
China juga menyarankan warganya untuk tidak bepergian maupun belajar di Jepang, menghentikan rilis film Jepang, hingga berjanji untuk membalas dengan tegas jika Tokyo terlibat secara militer dalam urusan Taiwan.
Terbaru, dua jet tempur J-15 Angkatan Laut China dua kali mengunci radar mereka secara bergantian ke pesawat F-15 Pasukan Bela Diri Udara Jepang (ASDF) di atas laut lepas di sebelah tenggara Okinawa pada Sabtu (6/12). Tindakan tersebut juga memicu protes dari Jepang.
