Surabaya (ANTARA) - Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr. dr. M Atoillah Isfandi menyatakan bahwa rekor tertinggi kasus COVID-19 yang tercatat 6.267 kasus positif baru pada Minggu (29/11) lalu bukan sebagai penanda puncak pandemi di Indonesia.
Atoillah mengatakan rekor penambahan kasus harian tersebut memang perlu diwaspadai, namun bukan menjadi penanda utama puncak pandemi di Indonesia karena data atau akumulasi kasus harian Indonesia yang tidak real time.
"Laporan harian yang diumumkan harusnya adalah kasus yang dilaporkan dan bertambah pada hari itu. Sementara di Indonesia, data yang dihimpun mengikuti arus laporan daerah yang seringkali mekanismenya berbeda satu sama lain," kata Wakil Dekan II FKM Unair ini.
Ia mencontohkan di Jawa Timur sering mengalami tarik ulur data yang mengganggu akumulasi data nasional. Seringkali data yang dihimpun dalam bentuk "cicilan" yang tidak setiap hari disetor.
"Ada banyak alasan, seperti agar terlihat stabil tetapi hal tersebut akan sangat merugikan dalam pengambilan keputusan. Harus diingat kalau keputusan yang tepat datang dari data yang tepat dan valid," ujarnya.
Selain itu, perbedaan data antara daerah dan pusat juga sering terjadi akibat perdebatan asal kasus positif. Hal tersebut umumnya terjadi saat pasien positif memiliki domisili, daerah asal, atau tempat perawatan yang berbeda-beda.
"Makanya kadang sulit menentukan kasus tersebut akan masuk daerah mana. Ini juga berpotensi pada tumpang tindih data antardaerah dan akhirnya mengganggu akumulasi data pusat," katanya.
Atoillah meyakini meskipun data menunjukkan rekor tertinggi, namun hal tersebut tidak dapat menjadi acuan kapan puncak pandemi terjadi di Indonesia.
Selain data yang non-real time, bisa jadi data yang dilaporkan pada hari tertentu merupakan komponen yang sudah diperiksa bulan lalu namun baru dilaporkan pada hari tersebut.
"Meski tidak dapat dijadikan acuan, harus diakui bahwa terjadi peningkatan angka positif khususnya pasca jadwal cuti bersama di awal November lalu," ujarnya.
Apabila mengikuti timeline, Atoillah melihat bahwa agenda liburan atau jadwal akhir pekan ternyata akan cenderung diikuti dengan peningkatan kasus.
"Fakta ini juga didukung dengan banyaknya transmisi virus yang terjadi melalui keluarga atau kerabat. Maka dari itu jadwal liburan dan kumpul keluarga masih berpotensi besar meningkatkan jumlah kasus baru," katanya.
Maka menyikapi jadwal libur akhir tahun serta pilkada serentak yang akan segera digelar, Atoillah mengingatkan agar pemerintah dan masyarakat mampu secara bijak dalam bertindak.
"Pandemi akan cepat selesai di negara atau daerah yang disiplin, seperti halnya Australia, Selandia Baru, atau China. Oleh karenanya, jika ingin kasus segera melambat, sistem dan kebijakan harus lebih tertata rapi dengan tingkat disiplin yang tinggi," tuturnya.
Epidemiolog Unair: Rekor kasus COVID-19 bukan penanda puncak pandemi
Rabu, 2 Desember 2020 16:02 WIB
Hal tersebut tidak dapat menjadi acuan kapan puncak pandemi terjadi di Indonesia