Banyuwangi (Antara Jatim) - Komunitas ekonomi kreatif yang berbasis di desa-desa di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur berkumpul guna merumuskan pengembangan usaha mereka ke depan bersama dengan tim dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, Rabu menjelaskan pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari penandatanganan kerja sama pengembangan ekonomi kreatif berbasis desa yang ditandatangani dirinya Kepala Bekraf Triawan Munaf saat penyelenggaraan Banyuwangi Batik Festival pada 9 Oktober lalu.
Anas mengatakan, diskusi bersama dilakukan untuk menyamakan persepsi antarpelaku ekonomi kreatif sehingga ada keselarasan program Bekraf ke depan saat melakukan pendampingan para pelaku ekonomi kreatif di Banyuwangi.
"Kami berterima kasih kepada Bekraf. Sinergi ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah bisa bergandengan untuk menggerakkan ekonomi kreatif sebagai salah satu penunjang perekonomian nasional," ujarnya.
Diskusi antarpelaku ekonomi kreatif itu dilakukan di Banyuwangi sejak Senin (10/10) hingga Selasa (11/10).
Anas mengaku optimistis, sinergi Banyuwangi dengan Bekraf bakal semakin menggairahkan perekonomian di daerahnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banyuwangi pada 2014 mencapai 5,2 persen.
"Tahun 2015 data resmi dari BPS belum keluar. Saya yakin bisa lebih tinggi lagi, paling tidak 6 hingga7 persen. Pada 2019 kami ingin ekonomi kreatif berkontribusi setidaknya 10 persen terhadap total PDRB Banyuwangi," ujar dia.
Sejumlah pengungkit ekonomi kreatif di Banyuwangi di antaranya adalah penyelenggaraan berbagai kegiatan wisata dalam payung Banyuwangi Festival dan pembangunan beberapa infrastruktur penunjang, seperti terminal pariwisata terpadu yang sedang dirintis pembangunannya.
Terminal pariwisata terpadu itu, katanya, akan dijadikan sentra kendaraan yang akan menuju ke sejumlah destinasi wisata di Banyuwangi, sekaligus di lokasi itu dibangun pasar produk ekonomi kreatif.
"Saya ingin agar semua pelaku bisa bersinergi menjual produk kreatifnya di sana," kata Anas.
Sementara Direktur Hubungan Antar-Lembaga Dalam Negeri pada Bekraf Hassan Abud mengatakan diskusi bersama komunitas kreatif di Banyuwangi mengambil tema "Penta Helix Stakeholders" yang dihadiri oleh lima pemangku kepentingan utama, yaitu pelaku ekonomi kreatif, pemerintah, socio-preneur (komunitas), akademisi, dan media.
"Diskusi menghasilkan rekomendasi yang ditindaklanjuti bersama sejumlah deputi Bekraf dan Pemkab Banyuwangi. Kami tentukan skala prioritas subsektor ekonomi kreatif di Banyuwangi yang akan dikembangkan dalam skala desa. Sesuai konsep dari Banyuwangi, bahwa ini harus berbasis desa untuk menggerakkan perekonomian warga desa," kata Hassan.
Salah seorang pelaku ekonomi kreatif di Banyuwangi, Hendry Vicky dari Banyucindih Creative, merasa senang semua pemangku kepentingan bisa duduk bareng untuk meningkatkan komunikasi lintas sektoral dalam pengembangan ekonomi kreatif.
"Harapannya dengan ini bisa mendorong semua subsektor ekonomi kreatif," ujar Vicky yang banyak menggarap potensi desa dalam bentuk video dan animasi.
Vicky pernah menyabet karya terbaik dalam Denpasar Film Festival 2014 dan Piala Ki Dewantara dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan pada Apresiasi Film Indonesia (2015).
Anas mengemukakan bahwa sektor ekonomi kreatif kini tumbuh pesat di Banyuwangi. Misalnya kuliner yang berdasarkan data BPS, tumbuh 70 persen dari Rp 475,76 miliar (2010) menjadi Rp 811,7 miliar (2014).
Industri furnitur tumbuh hampir 60 persen dari Rp193 miliar menjadi Rp304,1 miliar. Industri kayu, barang anyaman bambu, rotan dan sejenisnya tumbuh hampir 50 persen dari Rp634 miliar menjadi Rp941 miliar. Industri pakaian (fashion) tumbuh 53 persen dari Rp60 miliar menjadi Rp92 miliar.
Adapun sektor jasa lainnya yang di dalamnya ada subsektor kesenian, hiburan, dan rekrasi, kata Anas, tumbuh dari Rp403 miliar menjadi Rp564 miliar.
"Tahun 2015 masih perhitungan, kami yakin angkanya lebih tinggi karena rata-rata selalu tumbuh di atas 10 persen per tahun," ujar Anas.
Anas mengemukakan bahwa Bekraf merumuskan ada 16 subsektor kreatif, yaitu fashion, kriya (kerajinan), arsitektur, aplikasi-pengembangan game, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, film, seni pertunjukan, seni rupa, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, televisi, dan radio.
Dari 16 subsektor tersebut, Banyuwangi memilih fokus untuk tujuh subsektor saja, yaitu fashion, kriya (kerajinan), seni rupa, seni pertunjukan, kuliner, musik, dan desain komunikasi visual. Pilihan terhadap tujuh subsektor tersebut menyesuaikan dengan kebutuhan Banyuwangi dan subsektor yang paling berdampak besar terhadap perekonomian masyarakat.
"Kita punya potensi besar pada tujuh subsektor tersebut. Khusus desain komunikasi visual, itu untuk menunjang semuanya. Produk bagus tapi kalau komunikasi visualnya tak bermutu, produknya tak akan laku di pasar," kata Anas.(*)