Surabaya (ANTARA) - Tajuk rencana di salah satu media nasional pada tanggal 19 November 2024 telah menurunkan artikel berjudul “Menghukum Platform Media Sosial” sebagai imbas tak langsung dari pemungutan suara di Amerika Serikat tahun 2024 yang baru saja usai.
Setelah persaingan perolehan suara yang ketat, untuk yang kedua kalinya, Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Melalui media sosial, kita menyaksikan bagaimana medan pertempuran mempengaruhi opini publik dalam perhelatan pemilu di Amerika tersebut.
Salah satu yang paling menarik adalah platform X, dimana Elon Musk, yang mengakuisisinya di 2022, lebih dari 1 tahun sebelum pemilu Amerika. Tidak terlepas tentunya dengan dukungan terbuka yang diberikan Elon Musk kepada Donald Trump untuk menjadi presiden Amerika Serikat. “I fully endorsed President Trump and hope for his rapid recovery” adalah cuitan Musk merespon insiden penembakan Trump dalam sebuah kampanye.
Yang terkini, bagaimana cuitan Musk “USAID is a criminal organization” memantik engagement yang akhirnya turut menamatkan riwayat USAID.
Langkah akuisisi Musk terhadap platform media sosial X ini ternyata bukan hanya mengubah wajah platform media sosial tersebut, tetapi juga menandai awal dari transformasi algoritmik yang signifikan, yang ternyata memiliki dampak signifikan terhadap hasil pemilihan di Amerika tersebut.
Bayangkan Anda tengah asyik menggulir beranda X dan tiba-tiba melihat lonjakan drastis dalam keterlihatan akun-akun tertentu. Ini bukan sekadar kebetulan; ini adalah hasil dari modifikasi algoritma yang sangat mungkin “disengaja”. Sebuah studi yang dilakukan Timothy Graham dan Mark Andrejevic menunjukkan bahwa setelah Musk mengakuisisi Twitter, metriks keterlibatan akun-akun yang mendukung Trump meroket tajam. Jumlah tayangan (view) untuk cuitannya meningkat melebihi 100 persen, sementara tayang ulang (repost)-nya melonjak diatas 200 persen.
Angka-angka ini dicurigai bukan hanya anomali statistik, melainkan bukti nyata bagaimana algoritma dapat mengubah prioritas konten di platform media sosial. (Graham and Andrejevic, 2024)
Akuisisi Twitter oleh Musk sebelum pemilihan memberikan waktu yang cukup bagi perubahan algoritmik untuk diterapkan dan berdampak pada dinamika kampanye. Beralasan kebebasan berpendapat, hal pertama yang dilakukan Musk setelah mengakusisi Twitter adalah membuka blokir terhadap akun Donald Trump. Dukungan Musk terhadap Trump tidak hanya meningkatkan keterlihatan akun Trump, tetapi juga menciptakan engagement yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut analisis yang dilakukan oleh Graham dan Andrejevic, akun-akun yang condong ke Republik mengalami peningkatan keterlihatan yang signifikan dibandingkan dengan akun yang condong ke Demokrat. Bias algoritmik semacam ini dapat menguntungkan narasi politik tertentu dan menciptakan ketidakseimbangan dalam diskursus publik.
Dukungan Musk, sebagai seorang tokoh berpengaruh dan pemilik platform, menimbulkan persepsi bahwa dukungannya terhadap Trump lebih dari sekadar opini pribadi; melainkan langkah strategis yang sejalan dengan pengaruh media sosial yang lebih luas. Menjelang pemilihan, platform X menjadi ajang pertempuran pengaruh.
Dengan demikian, peran miliarder teknologi seperti Musk dalam membentuk hasil pemilihan menjadi semakin signifikan dan kontroversial. Tidak hanya pengaturan algoritma saja, bentuk dukungan Musk mampu mengarahkan algoritma X untuk memperkuat suara Republikan. Ini berpotensi mempengaruhi diskursus publik ke arah agenda politik yang spesifik, yang pada akhirnya dapat mengubah dinamika demokrasi itu sendiri.
Tirani Algoritma
Algorithmic Democracy (Marzá, Calvo: 2024) menekankan bahwa algoritma yang tidak transparan dapat menghambat deliberasi publik yang sehat dan mengikis esensi demokrasi. Hal ini terlihat di X, di mana perubahan algoritmik yang dikendalikan oleh satu individu atau kelompok dapat membentuk opini publik tanpa adanya kontrol atau transparansi yang memadai. Komunikasi dan interaksi dalam platform adalah tambang emas yang mencerminkan kondisi masyarakat.
Keterkumpulan, konsentrasi akses dan metodologinya sangat bisa jadi adalah bentuk kuasa baru yang oleh Harari disebut sebagai Big Data Dictatorship. Atau Miguel Benasayag yang mengatributasikannya sebagai Tirani Algoritma.
Memahami cara kerja algoritma sebenarnya dapat memberikan posisi tawar bagi pengguna untuk mempengaruhi metrik keterlibatan mereka sendiri.
Misalnya, dengan lebih sering berinteraksi dengan konten yang beragam, pengguna dapat meningkatkan keterpaparan akan informasi yang kaya.
Pendekatan ini menyoroti dualitas dalam dinamika media sosial: meskipun algoritma dapat dimanipulasi dari atas oleh individu atau entitas tertentu, pengguna sebagai masyarakat juga memiliki potensi untuk memanfaatkannya demi manfaat mereka sendiri. Wisdom of the crowd.
Ini menciptakan sebuah ekosistem di mana kekuatan algoritmik dapat digunakan baik untuk memperkuat maupun menantang narasi yang dominan. Dalam konteks ini, penting bagi pengguna untuk lebih sadar dan kritis terhadap cara mereka berinteraksi dengan platform, serta memahami dampak dari tindakan mereka terhadap keseluruhan ekosistem digital.
Transformasi Algoritmik
Dalam menghadapi lansekap kompleks yang dibentuk oleh kekuatan algoritmik semacam ini, beberapa pendekatan bisa dipertimbangkan.
Pertama, transparansi algoritma menjadi sangat penting. Bagaimana algoritma media sosial berfungsi harus bisa diakses cara kerja dan pengetahuannya oleh publik, agar pengguna dapat memahami bias yang mungkin ada dan berinteraksi lebih kritis dengan konten.
Kedua, perlunya regulasi untuk memastikan bahwa tidak ada entitas tunggal yang dapat mempengaruhi diskursus publik secara tidak proporsional melalui manipulasi algoritmik.
Terakhir, promosi konten yang beragam harus menjadi prioritas bagi platform, sehingga keberagaman suara dan perspektif dapat terwakili tanpa mengutamakan ideologi politik atau individu tertentu.
Masa depan interaksi dan komunikasi daring sangat bergantung pada kemampuan kita untuk menghadapi tantangan ini dengan bijaksana dan aktif, memastikan bahwa ruang digital tetap kondusif untuk dialog demokratis yang sehat dan tidak berubah menjadi ruang gema bagi suara tertentu.
Cerdas digital sepertinya makin diperlukan. Lebih dari sekedar literasi digital.
Dalam era algoritmik ini, penting bagi semua pemangku kepentingan—pengguna, regulator, dan pemilik platform—untuk terlibat dalam dialog mengenai implikasi etis teknologi terhadap demokrasi dan diskursus publik. Hanya dengan demikian kita dapat memastikan bahwa teknologi tetap menjadi alat yang memperkuat demokrasi, bukan justru melemahkannya.
*) Penulis adalah Analis/Peneliti di LPPM Stikosa-AWS