Surabaya (ANTARA) - Dalam era digital saat ini kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh aktor manusia seperti politisi, jurnalis, atau pemilik media. Kini sistem algoritma yang bersifat otomatis turut berperan dalam mengatur logika sirkulasi informasi di ruang publik.
Algoritma kini lebih menentukan konten mana yang layak tampil, kapan muncul dan kepada siapa harus disuguhkan. Dengan demikian, algoritma menjadi aktor penting dalam proses produksi dan distribusi makna sosial. Itu menjadikan kekuasaan simbolik lebih tersembunyi, tidak terdeteksi oleh publik, namun sangat efektif.
Kekuasaan algoritmik kini bekerja melalui sistem rekomendasi, trending topics, dan logika engagement yang mendorong konten tertentu menjadi viral. Dalam konteks ini, bukan lagi wartawan atau editor yang memilih mana informasi yang penting melainkan sistem komputasi yang merespons data perilaku pengguna.
Proses itu memperlihatkan bentuk baru dari mediasi yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh manusia. Maka masyarakat digital dibentuk oleh logika yang tidak selalu transparan, tetapi sangat menentukan pola pikir dan tindakan. Itu merupakan wajah baru dari kekuasaan simbolik yang dibahas Bourdieu namun kini dijalankan oleh sistem teknologis.
Logika algoritma kini juga telah memengaruhi habitus digital masyarakat. Seperti melalui paparan konten yang dikurasi secara selektif, sehingga pengguna lambat laun membentuk referensi, emosi, dan keyakinan tertentu tanpa menyadari bahwa itu hasil dari proses seleksi otomatis. Hal itu menunjukkan struktur digital berperan besar dalam membentuk struktur berpikir masyarakat kontemporer.
Algoritma tidak hanya menampilkan informasi, tetapi juga menyusun kerangka makna yang dipercaya publik. Itu menunjukkan bahwa dominasi simbolik kini dijalankan oleh sistem non-manusia yang beroperasi melalui infrastruktur teknologi.
Melalui pendekatan Teori Pierre Bourdieu, algoritma dapat dibaca sebagai bagian dari medan kekuasaan baru, di mana aktor teknologi (platform digital) memperebutkan perhatian, kepercayaan, dan emosi pengguna.
Meski demikian teori Bourdieu perlu diperluas agar dapat mengakomodasi realitas baru. Kekuasaan simbolik tidak lagi hanya berkaitan dengan narasi atau representasi, tetapi juga dengan kode, logika komputasional, dan infrastruktur teknis. Karena itu, pendekatan Bourdieu mesti diintegrasikan dengan teori lain seperti studi algoritma dan kapitalisme pengawasan. Hal tersebut penting dilakukan untuk melakukan analisis sosial sehingga tidak tertinggal dari perkembangan teknologi.
Pada akhirnya kini algoritma sebagai penguasa baru lebih menantang publik untuk mengkaji ulang bagaimana dominasi bekerja dalam masyarakat digital. Apabila dulu kekuasaan simbolik disalurkan melalui institusi seperti sekolah dan media massa, kini algoritma meresap dalam aplikasi, sistem rekomendasi, dan big data. Pengguna media sosial mungkin merasa bebas memilih, padahal pilihannya sudah sangat dibatasi oleh sistem algoritmik yang bekerja diam-diam.
Masalah tersebut bukan sekadar masalah teknologi, tetapi juga politik representasi dan kontrol sosial. Oleh karena itu, kritik terhadap algoritma harus dilakukan dalam semangat kritis yang diwariskan oleh Bourdieu.
Teori Bourdieu memang tetap relevan untuk membaca dinamika komunikasi di era digital, khususnya melalui konsep kekuasaan simbolik dan modal simbolik. Dalam konteks media sosial, kekuasaan tidak lagi beroperasi hanya melalui institusi, melainkan juga melalui platform digital yang membentuk persepsi publik.
Algoritma media sosial menciptakan bentuk baru dari kekuasaan simbolik, karena mampu menentukan siapa yang terlihat dan siapa yang tidak. Misalnya, selebriti TikTok atau influencer bisa meraih legitimasi simbolik yang tinggi tanpa melalui institusi formal. Ini membuktikan bahwa logika modal simbolik kini juga dijalankan oleh sistem teknologis, bukan hanya oleh manusia.
Namun dalam era digital saat ini teori Bourdieu perlu dikembangkan agar bisa menjawab dinamika emosional dan algoritmik yang kini mendominasi ranah digital. Misalnya, platform seperti TikTok dan Instagram tidak hanya menampilkan konten tetapi juga mengatur pengalaman emosional pengguna melalui rekomendasi yang dipersonalisasi.
Fenomena tersebut memerlukan integrasi dengan teori afek dan studi algoritma yang menyoroti bagaimana emosi, perhatian, dan eksistensi digital dikomodifikasi. Konsep habitus juga perlu diperluas menjadi “habitus digital” yang mencerminkan disposisi pengguna dalam berinteraksi dengan sistem platform. Dengan begitu, analisis komunikasi tidak hanya terfokus pada isi pesan, tetapi juga pada infrastruktur yang menyebarkannya.
Integrasi teori Bourdieu dengan pendekatan baru seperti platform studies dan surveillance capitalism memungkinkan untuk memahami bagaimana kekuasaan bekerja dalam bentuk yang lebih tersembunyi namun meluas. Platform digital bertindak sebagai medan baru tempat pertarungan simbolik berlangsung, namun dengan logika dan aturan main yang dikendalikan oleh teknologi dan perusahaan. Maka, untuk membaca realitas media saat ini, perlu pemahaman lintas disiplin yang menggabungkan sosiologi, studi media, dan ilmu teknologi.
Kritik terhadap kekuasaan tidak bisa lagi hanya diarahkan kepada institusi, tetapi juga kepada sistem digital yang menentukan pola komunikasi manusia. Dengan demikian, warisan teori Bourdieu tetap penting, namun harus dikontekstualisasikan secara kritis dan kontemporer. Pierre Bourdieu hingga saat ini memang telah memberikan kerangka teoritis yang kokoh untuk memahami bagaimana media berfungsi sebagai arena kekuasaan simbolik.
Konsep-konsep seperti habitus, modal, dan medan sosial masih sangat relevan dalam membaca relasi kuasa yang berlangsung dalam ruang digital. Hal itu menunjukkan bahwa dominasi sosial tidak selalu dilakukan secara fisik, melainkan melalui representasi dan simbol yang diterima publik sebagai sesuatu yang wajar. Dalam konteks ini, media sosial menjadi arena baru bagi pertarungan makna, di mana aktor saling memperebutkan legitimasi, pengaruh, dan visibilitas.
Meski demikian struktur digital menghadirkan tantangan baru yang perlu dijawab melalui pengembangan teori, sehingga konteks digital saat ini ditambah pada era algoritma dan platform, kekuasaan simbolik menjadi lebih kompleks karena beroperasi melalui logika teknologis yang tidak selalu transparan.
Maka pendekatan Bourdieu perlu dilengkapi dengan studi algoritma, kapitalisme pengawasan serta teori efek. Integrasi antara pendekatan sosiologis dan analisis teknologis menjadi penting agar publik tidak hanya memahami siapa yang berkuasa, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu bekerja secara teknis dan emosional. Dengan begitu, publik dapat membangun kritik yang lebih tajam terhadap dinamika komunikasi kontemporer. Teori Bourdieu tidak usang, tetapi harus terus diperbarui untuk menjawab tantangan era digital.
*) Penulis merupakan Mahasiswi Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta, Suci Rahmah Yusrafitri
