Surabaya (ANTARA) - Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dimana dunia digital menyediakan ruang ekspresi, koneksi, dan informasi. Namun, bersamaan dengan itu, muncul pula kekuatan pengawasan yang bekerja diam-diam dan melembaga.
Sosiolog dan filsuf Prancis, Michel Foucault, memperkenalkan konsep panoptikon untuk menjelaskan bentuk kekuasaan modern. Panoptikon merujuk pada rancangan penjara yang memungkinkan seorang penjaga mengawasi seluruh narapidana dari satu menara pusat, tanpa diketahui kapan ia sedang mengamati.
Inti dari konsep panoptikon adalah rasa diawasi yang konstan. Meskipun tidak selalu benar-benar diawasi, seseorang akan menyesuaikan perilakunya seolah-olah pengawasan selalu hadir. Bentuk kekuasaan ini lebih efektif karena tidak lagi bersifat koersif, melainkan bekerja dari dalam kesadaran individu.
Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja secara represif, tetapi juga produktif. Kekuasaan itu membentuk perilaku, membingkai cara berpikir, dan mengarahkan tindakan individu agar sejalan dengan norma yang diharapkan.
Dalam konteks hari ini, ruang digital telah menjadi panoptikon baru. Kamera pengawas digantikan oleh algoritma, penjaga digantikan oleh sesama pengguna, dan sel tahanan digantikan oleh halaman media sosial pribadi.
Ruang digital menjelma menjadi panggung utama bagi ekspresi dan opini publik. Bersamaan dengan itu pula, media sosial juga berubah menjadi arena pengawasan kolektif yang tak kasat mata.
Fenomena ini mencerminkan gambaran dari teori Michel Foucault tentang panoptikon. Dalam ruang virtual, banyak orang merasa bebas, tetapi sesungguhnya dibatasi oleh norma tak tertulis yang dijaga oleh sesama pengguna.
Pengawasan tidak lagi hadir dalam bentuk negara yang menindas, tetapi dalam wujud norma sosial yang dikonstruksi melalui interaksi sehari-hari. Salah satu contoh kasus yang terjadi ketika grup musik Sukatani yang dipanggil aparat karena lagunya berisi kritikan kebijakan.
Hal tersebut menunjukkan bagaimana ekspresi publik tetap rentan terhadap represi. Lagu yang menjadi kanal ekspresi malah mendapat tekanan dari otoritas yang mengontrol ruang digital.
Selain itu, banyak juga kejadian selebriti dan tokoh publik harus kehilangan reputasinya karena opini atau tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan norma digital akibat dibentuk secara kolektif oleh warganet.
Tagar #KaburAjaDulu yang viral di awal 2025 mencerminkan keputusasaan generasi muda dalam menghadapi tekanan hidup. Ungkapan itu menggambarkan betapa ruang digital telah kehilangan fungsi sebagai ruang aman untuk berbicara.
Respons terhadap kritik publik yang dilontarkan oleh dr Tifa juga menunjukkan fenomena serupa. Ruang digital tidak sepenuhnya memberi ruang bagi wacana berbeda. Kritik dibalas dengan pelaporan hukum yang mempersempit kebebasan akademik dan kebebasan berbicara.
Konsep panoptikon yang dikembangkan oleh Foucault menggambarkan kekuasaan yang bekerja secara halus, pengawasan dilakukan tanpa pemaksaan, tetapi efeknya jauh lebih kuat karena orang merasa harus patuh meskipun tidak diperintah.
Pada zaman media sosial hari ini, pengawasan hadir melalui algoritma, opini populer, dan standar kesopanan digital.
Pengguna menyesuaikan diri bukan karena takut dihukum, tetapi karena khawatir dikucilkan secara sosial. Masyarakat digital membangun sistem disiplin sosial di mana semua orang menjadi pengawas dan diawasi dalam waktu bersamaan.
Identitas disusun berdasarkan ekspektasi bukan kejujuran. Ekspresi menjadi strategi bukan refleksi, sehingga media sosial menjadi arena yang mengharuskan setiap individu harus memoles citra yang baik agar dapat diterima oleh publik.
Konten yang ingin diunggah harus dirancang, memberikan komentar harus penuh dengan pertimbangan, serta narasi dibentuk sesuai dengan apa yang sedang dianggap pantas secara umum. Wacana publik tidak lagi berkembang secara organik, tetapi dibentuk oleh budaya pengawasan horizontal.
Banyak pengguna merasa terpaksa mengikuti arus demi menjaga kenyamanan sosial di ruang digital, tekanan itu mengikis kejujuran dan memunculkan ketakutan untuk berbeda.
Ekspresi diri mengalami kemunduran karena orang lebih memilih diam daripada menjadi sasaran penghakiman digital. Fenomena ini bukan semata kesalahan individu, melainkan hasil konstruksi kekuasaan yang bekerja melalui institusi digital.
Dalam kondisi seperti ini, kesadaran kritis menjadi langkah awal untuk merawat ruang publik. Salah satu bentuk kesadaran yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk menahan diri dari menghakimi sesama pengguna.
Tidak semua perbedaan harus dipandang sebagai ancaman atau kesalahan yang perlu diperbaiki. Literasi digital harus diperluas menjadi literasi etika.
Bukan hanya tentang cara menggunakan teknologi, tetapi bagaimana memahami dampak psikologis dan sosial dari perilaku digital terhadap sesama. Oleh sebab itu penting pula untuk membangun ruang
diskusi yang sehat.
Media sosial seharusnya tidak hanya menjadi tempat menyampaikan informasi, tetapi menjadi arena refleksi dan pertukaran gagasan yang inklusif dimana media massa serta platform digital memiliki tanggung jawab yang sama.
Media perlu menghindari narasi sensasional, sementara platform harus lebih terbuka terhadap pengelolaan algoritma dan moderasi konten. Pemerintah juga memiliki peran besar dalam memastikan bahwa kebebasan berekspresi dijaga dengan adil.
Kritik yang disampaikan secara santun dan konstruktif seharusnya tidak dibalas dengan proses hukum yang mengintimidasi. Ruang digital idealnya menjadi tempat untuk tumbuh, bukan tempat untuk takut.
Membangun ekosistem yang sehat memerlukan partisipasi dari seluruh lapisan, termasuk pengguna, media, pembuat kebijakan, dan lembaga pendidikan. Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan bisa ditantang melalui kesadaran dan perlawanan kecil yang konsisten.
Dalam konteks media digital, bentuk perlawanan itu adalah keberanian berpikir kritis dan menolak budaya penghakiman.
Etika digital bukan sekadar konsep ideal namun harus menjadi praktik harian, sehingga dengan membangun kesadaran itu, ruang digital tidak lagi menjadi panoptikon yang menekan, melainkan ruang bersama yang memanusiakan.