Surabaya (ANTARA) - Indonesia setiap tanggal 14 Juli memperingati Hari Pajak Nasional sebagai momentum penting yang merefleksikan kesadaran kolektif. Pajak merupakan pilar utama pembangunan nasional.
Pajak membiayai berbagai kebutuhan publik mulai dari gaji aparatur sipil negara (ASN), pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur nasional. Namun dalam praktiknya, kesuksesan sistem perpajakan tidak hanya bergantung pada pemungutan atau kepatuhan wajib pajak semata. Pengelolaan arsip akuntabel dan komunikasi publik transparan menjadi kunci utama.
Aparatur sipil negara dalam konteks ini sangat berperan penting sebagai penjaga integritas sistem, terutama melalui pengelolaan informasi dan penyampaian komunikasi kebijakan secara akurat. Oleh karena itu, memperingati Hari Pajak bukan sekadar seremonial tahunan, tetapi juga ajakan untuk meneguhkan komitmen ASN dalam menjaga kepercayaan publik.
Tata kelola arsip dan komunikasi yang baik menjadi landasan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan yang berlaku.
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa yang dibuat dan diterima lembaga negara.
Organisasi dalam bentuk dan media apa pun dapat menggunakan arsip sebagai dokumentasi resmi. Pada konteks perpajakan, arsip menjadi bukti otentik proses administrasi.
Transaksi fiskal dan dokumentasi kebijakan memerlukan arsip sebagai dasar legalitas. Tanpa arsip, tidak ada jejak audit, kepastian hukum, dan akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam kerangka teori sistem komunikasi organisasi menurut Katz & Kahn, arsip merupakan elemen dalam sistem masukkan dan pengeluaran informasi yang menghubungkan berbagai subsistem organisasi. Pengelolaan arsip yang baik menjamin siklus komunikasi internal berjalan efisien dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data yang akurat dan terpercaya.
Kementerian Keuangan sebagai institusi fiskal negara telah mengembangkan sistem digitalisasi arsip, seperti e-Arsip, NADIN (Nasional Digital Archive), dan platform e-office lainnya. Namun teknologi hanyalah alat; kunci keberhasilannya terletak pada kesadaran ASN akan nilai strategis dari arsip itu sendiri dalam mendukung kerja birokrasi.
Arsip bukan sekadar data lama tetapi juga merupakan sumber legitimasi dan alat pertanggungjawaban publik yang harus dijaga dengan baik dan profesional.
Dalam menjalankan fungsi perpajakan, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kepercayaan dan partisipasi masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan sistem perpajakan. Di sinilah peran komunikasi publik menjadi vital dalam membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya membayar pajak dengan sukarela.
Menurut McCombs & Shaw dalam Teori Agenda-Setting menyatakan bahwa media dan otoritas publik berperan dalam membentuk persepsi masyarakat tentang isu-isu penting. Apabila pajak terus dikomunikasikan sebagai beban, masyarakat akan menjauh. Namun jika dikemas sebagai bentuk kontribusi sosial, maka akan tumbuh rasa tanggung jawab kolektif.
Lebih jauh, Teori Aksi Komunikatif dari Jürgen Habermas menjelaskan bahwa komunikasi ideal harus bersifat rasional, inklusif, dan jujur dalam penyampaiannya. Dalam konteks ini, ASN dituntut tidak hanya menguasai substansi kebijakan, tetapi juga mampu menyampaikannya dengan bahasa yang dapat dipahami publik.
Komunikasi fiskal tidak boleh menjadi jargon teknokratik yang eksklusif, melainkan narasi kolektif yang merangkul semua elemen bangsa dengan bahasa yang mudah dipahami.
Contoh sederhana dapat dilihat pada kampanye "Pajak Kita untuk Kita" yang mengedepankan narasi kesetaraan dan gotong royong dalam membayar pajak. Narasi ini bukan sekadar slogan, tetapi mengandung nilai komunikasi persuasif yang dapat mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dari masyarakat wajib pajak.
Sebagai garda depan birokrasi, ASN bukan hanya pelaksana administratif, tetapi juga mengemban nilai-nilai luhur Pancasila dalam setiap aspek pelayanan publik. Nilai keadilan sosial dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan harus terinternalisasi dalam setiap proses pelayanan publik, termasuk dalam pengelolaan arsip.
Komunikasi perpajakan harus mencerminkan semangat keadilan dan transparansi yang menjadi dasar negara Indonesia dalam melayani rakyat dengan sepenuh hati. Dalam Kode Etik ASN dan semangat reformasi birokrasi, ASN wajib bekerja secara profesional, berintegritas, dan menjunjung tinggi keterbukaan informasi publik.
Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menyebutkan bahwa masyarakat berhak mengetahui kebijakan fiskal. Dasar hukum pemungutan pajak harus dapat diakses oleh masyarakat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
Dalam teori komunikasi organisasi modern, seperti Teori Sensemaking dari Karl Weick, ASN berperan sebagai "sensemaker" atau pencipta makna dalam organisasi dan masyarakat.
Ketika ASN menyusun arsip dengan rapi dan menyampaikan kebijakan dengan jelas, maka mereka sedang membentuk makna sosial atas kerja negara. Ketika sebaliknya, arsip diabaikan dan komunikasi ditutup, maka ketidakpercayaan akan tumbuh di tengah masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Transformasi digital telah membawa peluang besar dalam sistem perpajakan, termasuk integrasi sistem informasi dan otomasi arsip yang lebih efisien dan akurat. Namun, digitalisasi juga menghadirkan tantangan etis baru seperti privasi, keamanan data, dan disinformasi yang harus diantisipasi dengan bijak.
ASN harus memahami bahwa arsip digital memiliki karakteristik berbeda seperti mudah digandakan, mudah dimanipulasi, dan cepat tersebar ke berbagai platform. Oleh karena itu, prinsip autentisitas dan keutuhan arsip menjadi sangat penting dalam era digitalisasi untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik.
Selain itu, dalam menyampaikan informasi fiskal kepada publik, ASN juga harus menghindari praktik misleading communication atau penggunaan data tanpa konteks yang jelas.
Dalam pendekatan komunikasi etis, sebagaimana dijelaskan oleh Johannesen et al, komunikasi yang baik harus memperhatikan tiga aspek penting. Kejujuran (truthfulness), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan penghormatan terhadap audiens (respect for audience) menjadi landasan komunikasi yang efektif.
Hal ini sangat relevan dalam kampanye perpajakan, edukasi publik, serta penanganan kasus-kasus pajak yang sensitif dan memerlukan penjelasan yang hati-hati.
Hari Pajak bukan sekadar hari peringatan fiskal, tetapi simbol kesadaran kolektif akan pentingnya kontribusi terhadap negara yang harus dipahami semua pihak. Dalam peringatan ini, mari direfleksikan peran masing-masing sebagai ASN apakah telah menjaga arsip dengan benar dan menyampaikan pesan fiskal secara jujur.
Komunikasi yang membangun harus menjadi prioritas utama dalam setiap interaksi dengan masyarakat untuk menciptakan pemahaman yang benar tentang perpajakan.
Melalui pengelolaan arsip yang baik, komunikasi publik yang etis, dan penghayatan nilai Pancasila, dapat dijadikan ASN sebagai fondasi kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.
Pajak adalah tanggung jawab bersama, dan ASN adalah juru bicara keadilan fiskal yang harus menyampaikan pesan dengan jelas dan dapat dipahami.
Mari dikuatkan integritas, cerdas dalam arsip, dan bijak dalam komunikasi. Karena negara yang besar dibangun oleh ASN yang tidak hanya bekerja. Tetapi berpikir, beretika, dan berintegritas dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai pelayan masyarakat yang profesional dan dapat diandalkan.
*) Penulis merupakan Arsiparis Ahli Muda Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan sekaligus Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta Wahyu Adi Setyo Wibowo.