Surabaya (ANTARA) - Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila sebuah momen historis yang bukan sekadar ritual seremonial, melainkan menjadi refleksi kebangsaan yang mendalam. Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga jiwa yang menghidupkan seluruh tatanan sosial, politik, dan budaya di negeri ini.
Nilai-nilai ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan fondasi etis yang seharusnya menjiwai seluruh proses penyelenggaraan negara, termasuk dalam birokrasi pemerintahan.
Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), Pancasila tidak boleh berhenti sebagai slogan dalam pidato atau simbol dalam upacara. Ia harus menjadi roh yang menjiwai setiap langkah kerja, menjadi kompas dalam pengambilan keputusan, serta menjadi prinsip dasar dalam pelayanan kepada masyarakat.
Dalam konteks ini, ASN bukan hanya pelaksana teknis, tetapi juga penjaga nilai dan teladan integritas. Peringatan hari lahir Pancasila menjadi saat yang tepat untuk bertanya apakah kita, sebagai ASN, sudah benar-benar menjadikan Pancasila sebagai napas dalam kerja dan komunikasi birokrasi kita?
Integritas merupakan manifestasi paling konkret dari pengamalan Pancasila dalam dunia birokrasi. Bukan hanya tentang menjauhi praktik korupsi, melainkan juga tentang keselarasan antara nilai-nilai pribadi dan tanggung jawab publik.
ASN yang berintegritas adalah mereka yang bekerja dengan hati, menjunjung akuntabilitas, dan berkomunikasi dengan jujur. Memahami bahwa setiap tindakan administratif menyimpan jejak moral dan menjadi bagian dari sejarah institusional yang lebih besar.
ASN yang berintegritas tidak hanya mengerjakan tugas, tetapi juga membangun kepercayaan publik lewat kinerja yang terdokumentasi dengan baik. Hal itu mengantar pada satu instrumen yang sering kali dipandang teknis dan administratif belaka, namun harus memiliki dimensi etis dan strategis yang sangat kuat yaitu arsip.
Arsip, dalam esensinya, bukan sekadar kumpulan dokumen yang disimpan dalam kotak atau lemari. Arsip adalah bentuk komunikasi institusional yang bersifat permanen.
Ia adalah bukti dari proses berpikir, berunding, memutuskan, dan bertindak dalam ranah pemerintahan. Menurut perspektif komunikasi organisasi, seperti dijelaskan oleh Littlejohn dan Foss (2021), komunikasi tidak hanya dimaknai sebagai proses penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak lain, melainkan sebagai proses membangun makna, menciptakan identitas, dan membentuk kepercayaan bersama.
Oleh karena itu arsip menjadi media yang menyimpan dan menyampaikan pesan institusional secara jangka panjang. Setiap notulensi rapat, surat keputusan, kontrak, dan dokumen evaluasi adalah bagian dari komunikasi organisasi yang tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga normatif.
Melalui arsip, publik dapat memahami bagaimana keputusan diambil, bagaimana kebijakan disusun, dan bagaimana akuntabilitas ditegakkan. Tanpa arsip yang baik, tidak ada keterlacakan, tidak ada transparansi, dan pada akhirnya tidak ada legitimasi birokrasi.
Peran arsiparis menjadi sangat krusial. Mereka bukan hanya pengelola dokumen, tetapi penjaga memori kolektif dan etika organisasi. Arsiparis menjadi aktor strategis dalam menjaga kesinambungan informasi, akurasi data, dan kejujuran administratif.
Di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), saya menyaksikan bagaimana kearsipan bukan sekadar aktivitas pelengkap, tetapi justru menjadi indikator budaya organisasi yang sehat.
Ketika dokumen ditata dengan baik, ketika proses dokumentasi dilakukan secara tertib dan akuntabel, maka tercipta sistem yang memungkinkan pengawasan, pembelajaran, dan perbaikan terus-menerus.
Dalam konteks inilah, nilai-nilai Pancasila khususnya sila keempat dan kelima dapat diimplementasikan secara konkret dalam sistem birokrasi. Melalui musyawarah yang terdokumentasi, serta keadilan sosial yang dibuktikan lewat transparansi dan akuntabilitas.
Undang-undang No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan secara tegas menempatkan arsip sebagai instrumen strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Arsip tidak boleh dipandang sebagai beban administratif semata, melainkan sebagai pilar dalam mewujudkan tata kelola yang baik.
Kualitas arsip yang baik memudahkan pengambilan keputusan, memfasilitasi pengawasan internal dan eksternal, serta memungkinkan masyarakat mengakses informasi yang menjadi haknya.
Di era keterbukaan informasi publik, pengelolaan arsip yang profesional menjadi bagian dari kewajiban etis ASN dalam membangun pemerintahan yang transparan dan partisipatif. Setiap dokumen yang disimpan dengan benar adalah bentuk penghormatan terhadap hak publik untuk tahu dan hak negara untuk mengingat.
Pancasila tidak akan sakti jika hanya diucapkan, tetapi tidak dipraktikkan. Ia akan kehilangan makna jika hanya ditempel di dinding, namun tidak menjadi pedoman perilaku.
Maka, tantangan sebagai ASN adalah menjadikan Pancasila sebagai etika kerja yang nyata, melalui komunikasi yang beretika, pengambilan keputusan yang adil, serta pengelolaan arsip yang akuntabel.
Integritas tidak lahir begitu saja. Ia harus ditanam dalam sistem, dipelihara dalam budaya kerja, dan diwariskan melalui praktik administrasi yang jujur. Komunikasi publik yang terbuka, manajemen arsip yang tertib, serta kejujuran dalam mendokumentasikan proses adalah bentuk konkret dari pengamalan Pancasila.
Tantangan birokrasi ke depan akan semakin kompleks. Digitalisasi, big data, dan tekanan terhadap transparansi menuntut untuk semakin profesional dalam mengelola arsip dan menyampaikan informasi.
Namun, apapun bentuk teknologinya, nilai dasarnya tetap sama yaitu, kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap publik. Inilah nilai-nilai Pancasila yang harus terus dihidupkan dalam kerja-kerja administratif.
Selamat hari lahir Pancasila. Mari kita suarakan integritas melalui komunikasi arsip yang jujur dan terbuka. Karena dari situlah kepercayaan publik dibangun, dan martabat birokrasi ditegakkan.
*) Penulis adalah mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Jakarta Arsiparis Ahli Muda di Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)