Surabaya (ANTARA) - Media sosial telah mengubah lanskap komunikasi modern. Tak lagi sekadar sarana bertukar pesan, media sosial kini menjadi ruang sosial yang melintasi batas geografis, budaya, bahkan ideologi.
Namun, di tengah derasnya arus informasi, aspek yang sering luput dari perhatian adalah bagaimana informasi digital dikelola, disimpan, dan dimaknai sebagai memori kolektif bangsa.
Sebagai seorang arsiparis yang juga mendalami ilmu komunikasi, saya memandang pentingnya pendekatan berkelanjutan dalam pengelolaan informasi digital, khususnya dalam konteks kelembagaan pemerintah.
Arsip kerap dipersepsikan sebagai kumpulan dokumen usang di rak penyimpanan. Padahal, arsip adalah bagian integral dari komunikasi. Setiap pesan, dokumen resmi, hasil rapat daring, atau unggahan media sosial memiliki nilai dokumentatif jika merekam aktivitas kelembagaan.
Dalam konteks ini, media sosial lembaga pemerintah bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga cermin narasi kelembagaan. Konten tentang kebijakan, program kerja, hingga interaksi dengan publik mencerminkan dinamika institusi dan harus diperlakukan sebagai bagian dari memori digital yang berharga.
Arsip hadir sebagai penjamin kontinuitas informasi, menjaga akuntabilitas sekaligus memperkuat transparansi publik. Maka dari itu, mengelola media sosial secara terstruktur dengan pendekatan kearsipan merupakan langkah strategis.
Hampir seluruh instansi pemerintah kini memiliki kanal media sosial. Fungsi utamanya adalah menyebarkan informasi, membangun citra kelembagaan, serta memperkuat hubungan dengan publik.
Sayangnya, belum semua instansi menyadari pentingnya mendokumentasikan aktivitas ini secara sistematis. Padahal, dokumentasi unggahan media sosial bisa menjadi alat evaluasi efektivitas komunikasi publik.
Data engagement, persepsi masyarakat, hingga respons terhadap isu tertentu adalah aset strategis yang bisa ditelaah dari jejak digital. Namun, tantangannya adalah kurangnya kolaborasi antara tim kehumasan dan kearsipan. Padahal, keduanya bisa bersinergi: humas bertugas mengelola narasi, sementara arsiparis memastikan narasi tersebut terdokumentasi secara otentik dan tertelusur.
Melalui kerja sama ini, lembaga dapat merumuskan kebijakan internal terkait arsip digital dari standar penyimpanan hingga kebijakan retensi informasi. Ini juga menjadi langkah konkret dalam memenuhi amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menekankan keterbukaan, otentisitas, dan integritas data publik.
Sebagai lembaga pendidikan dan pelatihan di bawah Kementerian Keuangan, BPPK memiliki tanggung jawab strategis dalam membentuk kompetensi ASN terkait pengelolaan informasi digital.
Melalui pelatihan terpadu yang menggabungkan komunikasi publik dan pengelolaan arsip digital, ASN dibekali dengan keterampilan baru yang relevan di era digital.
Materi pelatihan bisa mencakup teknik metadata, pengelolaan repository digital, serta kemampuan menilai nilai dokumentatif dari konten media sosial. Di tengah maraknya disinformasi, literasi arsip digital juga menjadi alat klarifikasi yang kredibel.
Peringatan Hari Media Sosial setiap 10 Juni seharusnya tidak hanya menjadi selebrasi teknologi, tapi juga momentum refleksi baik bagi lembaga maupun masyarakat.
Lembaga perlu mengevaluasi strategi komunikasi digital dan sistem dokumentasinya, sementara masyarakat diajak lebih bijak dalam memproduksi dan menyebarkan informasi.
Kampanye sosial, pelatihan daring, atau diskusi publik seputar literasi digital dan kearsipan bisa menjadi kontribusi nyata lembaga dalam memperkuat ekosistem komunikasi yang sehat dan berkelanjutan.
Kita hidup di era ketika informasi adalah komoditas utama. Namun tanpa pengelolaan yang tertib, informasi bisa menjadi sumber kekacauan. Oleh karena itu, membangun sistem informasi publik yang bertanggung jawab bukan sekadar kebutuhan, melainkan investasi jangka panjang.
Dengan sinergi antara komunikasi, teknologi, dan kearsipan, lembaga pemerintah dapat membentuk budaya kerja yang tidak hanya cepat merespons, tetapi juga cermat dalam menyimpan dan merawat jejak digital.
Karena pada akhirnya, komunikasi menciptakan rekam jejak dan arsip merawatnya. Keduanya membangun institusi yang kuat dan berdaya tahan.
*) Penulis adalah Arsiparis Ahli Muda BPPK Kementerian Keuangan, Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta, Wahyu Adi Setyo Wibowo, M.Kom.