Semarang (ANTARA) - Hari ini media sosial mengubah cara mempromosikan wisata dari brosur konvensional menjadi bentuk digital, seperti foto dan video diunggah melalui akun Instagram, TikTok atau YouTube.
Perubahan tersebut memunculkan perkembangan praktik manipulatif destinasi wisata yang diedit berlebihan hingga tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Pada praktiknya banyak wisatawan yang merasa tertipu gambar pantai dengan air jernih, gunung berkabut dramatis, atau sebuah resort sempurna yang merupakan hasil filter kamera dan rekayasa digital.
Fenomena itu menimbulkan bentuk baru hoaks berupa keindahan semu yang menjebak para calon pengunjung destinasi wisata tersebut.
Munculnya fenomena tersebut ketika dikaitkan dengan teori ilmu komunikasi sangat sejalan dengan pemikiran Neil Postman yakni Teori Ekologi Media, untuk memahami bagaimana praktik manipulasi visual dalam promosi lokasi wisata melalui digital.
Postman menjelaskan bahwa setiap media membawa bias tertentu dan membentuk cara berpikir masyarakat dalam mengonsumsi informasi visual.
Visual yang ditampilkan pada media sosial seperti Instagram menciptakan ekosistem komunikasi dengan mengutamakan estetika dibanding akurasi informasi.
Dalam konteks tersebut, destinasi wisata dipermak secara visual dan realitas yang disampaikan bukanlah kenyataan geografis sebenarnya. Realitas tersebut merupakan persepsi yang telah dimediasi oleh algoritma dan keinginan untuk menciptakan konten viral.
Fenomena itu juga dapat dijelaskan melalui kerangka Teori Disinformasi Digital oleh para ahli komunikasi lainnya seperti Wardle dan Derakhshan yang membedakan antara misinformasi (informasi salah), disinformasi (informasi sengaja disalahkan), dan malinformasi (informasi benar disalahgunakan).
Ketiga jenis informasi tersebut kini menjadi bagian dari ekosistem informasi online yang mempengaruhi persepsi publik.
Dalam konteks promosi wisata, disinformasi muncul dalam bentuk editing visual ekstrem dan penciptaan testimoni palsu. Narasi hiperbola untuk tujuan komersial juga menjadi bagian dari praktik disinformasi dalam industri pariwisata digital.
Alasan utama praktik itu jelas, yakni mengejar perhatian, klik, dan konversi ekonomi dari calon wisatawan. Konten seperti itu tidak hanya menipu konsumen tetapi juga menciptakan persepsi kolektif yang keliru tentang suatu tempat.
Sehingga dalam banyak kasus, manipulasi visual tidak selalu dilakukan dengan niat buruk oleh para pelaku industri pariwisata. Penggunaan filter atau teknik editing berlebihan sering dilakukan dengan tujuan estetika untuk membuat gambar lebih menarik.
Para pelaku pembuat konten sekaligus tim pemasaran berusaha membuat produk yang menonjol di media sosial ditambah ketatnya persaingan untuk memviralkan sebuah konten melalui berbagai strategi visual.
Para pelaku usaha destinasi lokasi wisata mungkin tidak selalu menyadari dampak jangka panjang dari editan yang dapat menyebabkan ekspektasi salah.
Media sosial, terutama platform seperti Instagram dan TikTok, telah menciptakan budaya visual yang menuntut gambar sempurna dalam rangka memenuhi keinginan audiens untuk selalu mencari konten menarik, sehingga pengelola destinasi wisata berfokus pada visual bagus dengan berbagai cara.
Akibat fokus dari hal tersebut seringkali tidak mempertimbangkan ketidaksesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan saat wisatawan berkunjung. Bagi banyak pelaku industri pariwisata, keterbatasan keterampilan editing dan pemahaman manipulasi visual menjadi faktor penyebab ketidaksesuaian.
Meskipun teknologi editing semakin canggih, tidak semua pengguna paham betul tentang dampak yang ditimbulkan dari manipulasi. Tanpa pengetahuan memadai, para pelaku industri mungkin tidak sadar telah mengedit gambar secara berlebihan dan menyesatkan.
Hoaks visual ini memiliki dampak nyata berupa kekecewaan wisatawan ketika ekspektasi dibentuk oleh realitas palsu. Dampak yang terjadi adalah kekecewaan, ketidakpuasan, dan potensi kerugian bagi industri pariwisata secara keseluruhan.
Penelitian Ozturk dan Hancer menunjukkan kekecewaan akibat perbedaan ekspektasi digital dan pengalaman nyata menurunkan niat kunjungan. Kekecewaan tersebut juga dapat menyebarkan citra negatif melalui testimoni dari mulut ke mulut digital atau electronic word of mouth.
Kondisi ini menunjukkan pentingnya membangun ekosistem informasi wisata yang etis dan dapat dipertanggungjawabkan oleh semua pihak.
Pelaku industri pariwisata, pemerintah, dan influencer perlu mengedepankan transparansi visual dan naratif dalam setiap konten promosi.
Media sosial tidak boleh hanya menjadi etalase digital glamor tetapi harus menjadi ruang komunikasi yang jujur.
Sehingga dalam konteks tersebut peran literasi media dan kesadaran digital menjadi sangat penting bagi produsen dan konsumen konten. Banyaknya informasi visual yang dibuat sedemikian rupa mementingkan keindahan tetapi kejujuran adalah nilai yang jauh lebih bermakna.
Pada akhirnya, wisata bukan hanya soal yang terlihat di layar tetapi tentang pengalaman nyata membekas dalam ingatan. Pengalaman tersebut hanya dapat dibangun di atas fondasi informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
*) Penulis adalah Dosen Pariwisata Universitas Semarang yang juga merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta Herman Novry Kristiansen Paninggiran
