Surabaya (ANTARA) - Eksploitasi daring dan kekerasan berbasis digital, termasuk cyberbullying terhadap perempuan dan anak menjadi salah satu fokus pembahasan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak yang tengah digodok Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur.
Juru Bicara Komisi E DPRD Jatim, Puguh Wiji Pamungkas, menyampaikan bahwa kehadiran Raperda ini sangat mendesak mengingat makin maraknya ancaman kekerasan berbasis teknologi informasi yang menyasar kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak.
"Ancaman baru seperti cyberbullying, eksploitasi secara daring, dan penyebaran konten bermuatan kekerasan menguatkan urgensi hadirnya kebijakan yang adaptif dan komprehensif untuk menjawab tantangan zaman dan melindungi perempuan dan anak secara optimal di Jawa Timur," ujarnya dalam Rapat Paripurna DPRD Jatim di Surabaya, Senin.
Ia menambahkan, di tengah transformasi digital yang cepat, bentuk kekerasan tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga meluas ke ranah psikologis, ekonomi, hingga kekerasan berbasis teknologi digital.
Mengutip studi Disrupting Harm tahun 2022, Puguh menyebut bahwa 93,3 persen anak dan remaja usia 16–24 tahun di Indonesia telah memiliki ponsel pintar, dan 90,7 persen aktif menggunakan media sosial. Kondisi ini semakin mendorong perlunya regulasi yang mampu memberikan perlindungan menyeluruh di era digital.
"Namun, pemanfaatan teknologi oleh anak-anak juga membawa risiko. Sebanyak 41 persen anak dan remaja menyembunyikan usia asli saat online, menjadikan mereka lebih rentan terhadap predator digital," katanya.
Indonesia sendiri tercatat sebagai salah satu dari 10 negara dengan kasus kekerasan seksual anak secara daring tertinggi sejak 2005.
Sementara itu, hasil survei U-Report tahun 2019 menunjukkan bahwa 45 persen anak muda usia 14–24 tahun mengalami cyberbullying, dengan proporsi 49 persen pada laki-laki dan 41 persen pada perempuan.
Selain itu, tiga dari sepuluh anak juga dilaporkan mengalami eksploitasi atau pelecehan seksual secara daring selama masa pandemi COVID-19.
"Dinamika ini mencerminkan kebutuhan akan kebijakan daerah yang tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif dan edukatif," tutur Puguh.
Ia menekankan bahwa perlindungan anak di ruang digital tidak cukup hanya melalui upaya hukum, melainkan harus mencakup penguatan literasi digital, keterlibatan aktif orang tua dan sekolah, serta tersedianya layanan pelaporan dan pemulihan psikososial yang terpadu.
Komisi E DPRD Jatim berharap, Raperda ini dapat menjadi payung hukum yang kuat dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak, khususnya dari ancaman kekerasan berbasis digital yang terus berkembang seiring kemajuan teknologi.