Surabaya (ANTARA) - Kecerdasan artifisial (AI) kini menjadi kekuatan utama yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk ketenagakerjaan.
Survei terbaru Jobstreet tahun 2025 terhadap 1.273 praktisi rekrutmen menunjukkan 20 persen perusahaan di Indonesia mengandalkan sistem AI untuk seleksi awal.
Bahkan, 76 persen perusahaan menggunakan AI dalam proses penyaringan awal dengan tren yang diperkirakan terus tumbuh seiring efisiensi teknologi.
Bagi dunia usaha, AI mampu merampingkan proses seleksi dengan cepat, netral, dan sesuai profil ideal yang telah ditentukan sebelumnya.
Sistem itu memproses ribuan lamaran otomatis, mengurutkannya berdasarkan skor, serta menyaring kandidat sesuai kriteria yang diprogram dalam algoritma.
Namun, di balik efisiensi tersebut muncul pertanyaan krusial, masihkah seleksi kerja menempatkan manusia sebagai sosok yang utuh dan bermartabat atau kini pelamar hanya diposisikan sebagai angka, skor, dan data statistik. Hal itulah yang menjadi bahan kajian filsafat kritis disebut reifikasi.
Reifikasi berasal dari kata Latin "res" yang berarti benda, konsep yang pertama kali dijelaskan oleh Georg Lukács dalam karyanya.
Menurut Lukács dalam History and Class Consciousness, ia mendefinisikan reifikasi sebagai proses transformasi relasi sosial menjadi hubungan antarobjek yang kaku.
Herbert Marcuse memperluas kritik tersebut dalam One-Dimensional Man, yakni menyoroti dominasi rasionalitas teknis yang mengikis dimensi moral kehidupan.
Implementasi AI dalam rekrutmen mencerminkan praktik reifikasi, di mana kandidat tidak lagi dinilai sebagai individu dengan kompleksitas sosial. Mereka direduksi menjadi data numerik berdasarkan IPK, asal kampus, pengalaman kerja, kata kunci profil diri, hingga skor tes psikologis dan bahasa.
Seluruh data tersebut diolah algoritma untuk menentukan kelayakan kandidat melanjutkan ke tahap seleksi berikutnya secara otomatis dan sistematis.
Masalah muncul ketika AI tidak mampu membaca sisi sosial dan latar kehidupan yang tak tercermin dalam parameter teknis.
Bayangkan ada seorang pemuda memakai sepatu yang berlubang, membawa map lusuh, berjalan kaki 10 kilometer setiap hari demi mengikuti proses seleksi kerja. Ia bekerja sebagai buruh pasar sambil merawat adik yatim piatu, namun profil itu tidak terbaca sistem AI yang mengandalkan angka.
Contoh lainnya, perempuan pesisir yang menumpang truk nelayan berjam-jam untuk ujian, lulus beasiswa sambil mengajar anak desa secara sukarela.
Cerita-cerita inspiratif seperti itu tidak sesuai pola sukses yang dikenali algoritma, sehingga mereka bisa saja tersingkir dari tahap awal seleksi.
Baca juga: Transformasi gaya komunikasi Gen Z dan tantangan bagi media di Indonesia
Reifikasi bekerja secara halus, di mana manusia tidak lagi dipahami sebagai subjek bernilai, melainkan objek yang harus sesuai rumus dan skor tertentu.
Dalam seleksi tradisional, pewawancara masih bisa menangkap semangat dari tatapan mata dan mendengar getaran emosi dalam suara pelamar. Para penguji memahami perjuangan hidup melalui narasi pribadi, pertimbangan yang hadir dari relasi manusiawi dan empati yang tak tergantikan.
Sementara dalam sistem berbasis AI, dimensi kemanusiaan itu hilang begitu saja, digantikan oleh perhitungan algoritmik yang dingin. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan reifikasi dalam rekrutmen berbasis kecerdasan artifisial tersebut.
Baca juga: Membangun desa dalam dunia tanpa batas
Pertama, harus disadari bahwa teknologi tidak netral dan AI membawa nilai serta struktur kuasa dari pihak yang merancangnya.
Kedua, perusahaan perlu mengombinasikan teknologi dengan penilaian manusiawi, AI efektif untuk penyaringan awal namun keputusan akhir harus mempertimbangkan konteks sosial.
Ketiga, regulasi dan etika teknologi perlu diperkuat dengan mekanisme pengawasan, termasuk keterbukaan atas algoritma dan parameter yang digunakan.
Lebih penting lagi, proses seleksi harus memosisikan manusia sebagai pusat dengan sejarah, nilai, dan martabat, bukan sekadar angka.
Tanpa kesadaran kritis, AI dalam rekrutmen berpotensi melahirkan reifikasi baru yang mengabaikan nilai dasar kemanusiaan dan empati.
Kritik terhadap reifikasi bukanlah penolakan teknologi, melainkan pengingat bahwa manusia tak boleh direduksi menjadi sekadar skor dan data.
Oleh karena itu diperlukan sebuah sistem kerja yang efisien secara teknis, bijak dalam nilai, adil secara sosial, dan bermartabat secara manusiawi.
Hal itu menjadi tantangan bersama dalam era digitalisasi, terutama di negara yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi dan fondasi kehidupan berbangsa.
Keseimbangan antara efisiensi teknologi dan nilai kemanusiaan harus dijaga agar rekrutmen tidak kehilangan esensi dasarnya, sehingga hasilnya dapat menemukan individu terbaik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan pendekatan tepat, AI dapat menjadi alat yang membantu, bukan menggantikan kebijaksanaan manusia dalam menilai sesama manusia.
*) Penulis Mahasiswi Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid, Inadia Aristyavani.