Surabaya (ANTARA) - Sambutan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-77 Jatim, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Rabu (12/10/2022), menguatkan akan pentingnya karakter manusia yang memiliki inisiatif, kolaborasi, dan inovasi (IKI).
Bangkit dan lebih kuat, itulah yang menjadi impian dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sebuah impian transformasi berkehidupan ideal menghadapi berbagai ancaman.
Ancaman krisis, bahkan resesi dunia, disebut semakin nyata. IMF bahkan mengingatkan akan ada risiko awan gelap ekonomi di tahun 2023. IMF menyebut negara-negara yang menyumbang ekonomi terbesar dunia akan mengalami kontraksi.
Karena itulah, strategi IKI adalah jawabannya. Selanjutnya, kita lihat kembali sejarah kualitas manusia asal Jatim di masa lalu, macam dr. Soetomo (kelahiran Nganjuk), Soekarno (kelahiran Surabaya), dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (kelahiran Jombang) yang memiliki IKI dan wajib dicontoh. Soekarno berpesan generasi muda tidak meninggalkan sejarah. Jargon historis itu dikenal luas dengan Jasmerah.
Soetomo melahirkan jejak pergerakan organisasi Boedi Oetomo, yang mengajarkan kekuatan organisasi. Sebuah kekuatan inisiasi dahsyat, berevolusi kuat menjadi gerakan sosial politik yang masif.
Inisiatif adalah karakter perubahan, dinamo gerak perubahan. Istilah kerennya mampu menjadi game changer. Sebuah pengubah “permainan” kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara, KH Abdul Wahab Hasbullah, melalui berbagai aktivitas keagamaan, sosial, dan pendidikan memberikan inspirasi luar biasa. Fatwa resolusi jihadnya menjadi dinamo gerak perjuangan bagi Arek-Arek Suroboyo. Puncaknya menjadi pemantik perjuangan heroik 10 November yang monumental itu.
Ketiganya adalah tokoh dan teladan game changer yang menarik dijadikan model bergerak. Daya inisiatif kita, daya kolaborasi kita dan daya inovasi kita di tengah zaman yang terus bergerak ini sangat dibutuhkan. "IKI Jawabane (jawabannya) Jatim dalam menjawab ancaman yang ada di hadapan kita".
Mari kita urai penjabaran dari IKI. Inisiatif sebagai jalan baru menghadapi segenap persoalan. Kolaborasi menjadi kehendak kuat yang diterjemahkan dalam tindak bekerja sama berbagai pihak dalam menyelesaikan masalah. Inovasi akan menjadi implementasi kreatif dan praktis dari suatu ide baru dalam menyelesaikan persoalan ke depan.
Jika karakter "IKI" sangat kuat, maka Jawa Timur mampu menjadi game changer atau pengubah permainan atau keadaan. Sosok game changer inilah yang menjadi penentu saat tengah berada di persimpangan antara maju dan mundur, antara hidup dan mati, antara dinamis atau statis.
Maka dari itu, kita mengajak seluruh masyarakat Jatim, lintas generasi, lintas bidang, lintas kemampuan, lintas disiplin ilmu, lintas instansi, lintas organisasi, untuk terus bergerak.
Kita semua bergerak mengambil peran positif, produktif, dan inovatif, menjadi sosok-sosok game changers baru yang dapat memberikan sumbangan penggerak, pengubah dan pencipta bagi Jawa Timur, bagi Indonesia dan dunia.
Budaya berpikir
Budaya itu sederhananya kebiasaan, merupakan hasil cipta, karsa, rasa, dan akal budi manusia. Sementara, berpikir itu merupakan kegiatan mental, spiritual, dan kerja otak yang berangkat dari dan bertujuan tertentu.
Masing-masing jenis berpikir, memiliki pangkal gerak berbeda, pun tujuan dan orientasi berbeda pula. Dalam mewujudkan impian menjadi game changer tentu membutuhkan bangunan budaya berpikir dan bertindak yang kokoh.
Kita barangkali penting merespons sindiran komedian Cak Lontong (juga asal Jawa Timur) agar senantiasa berpikir: "Mikir...!" begitu Cak Lontong menggugah masyarakat.
Akankah bangsa kita kehilangan kekuatan berpikir? Bukti kesalahan berpikir itu, misalnya, ada seorang calon pejabat berusia muda berkata "Saya tidak tahu sejarah, tetapi saya tahu masa depan." Begitu ucapnya kala konferensi pers. Jika dia berpikir, maka kita akan paham pertanyaan ini. Dari mana tahu masa depan? Apa dampaknya jika orang tidak paham sejarah (masa lalu)?
Pemerintah Provinsi Jatim mencontohkan bagaimana tokoh-tokoh Jatim yang telah berkontribusi dalam sejarah perubahan. Bahkan, dalam merespons dinamika sosial budaya dan ekonomi Jatim, juga tidak lepas dari peran dan karenanya kita patut berterima kasih kepada Pak De Karwo (Soekarwo) dan Imam Oetomo, dua gubernur sebelumnya.
Bagi saya, berpikir itu proses otak saat merespons realitas, baik dari luar maupun dalam, disertai seperangkat proses mental yang berkelindan. Berpikir itu gerak dinamik yang bermula dari kepercayaan, begitulah Mahatma Gandhi berpesan. Pikiran seseorang akan menjadi kata-kata, kata-kata menjadi perbuatan, perbuatan menjadi kebiasaan, kebiasaan menjadi prinsip, dan prinsip itulah yang menjelma takdir. Ini pesan filosofi pendidikan kehidupan yang menarik didaras-kupas secara tuntas. Masih mau mengelak dan yakin bahwa berpikir itu tidak penting?
Pendidikan di perguruan tinggi (PT), misalnya, banyak yang sering terjebak pada hasrat peringkat kelembagaan dengan berbagai risiko "pembodohan" mahasiswa. Produktivitas artikel jurnal, baik reputasi nasional dan atau internasional, cenderung hanya mengajarkan ambisi peringkat, minus berpikir.
Jurnal ilmiah mengajarkan kecepatan "menjahit pikiran orang" dengan mesin tertentu, mengajarkan sitasi (pengutipan) dengan berbagai manipulasinya. Bagi saya, ini jauh dari berpikir kreatif dan inovatif.
PT memburu peringkat, mengorbankan tradisi baca-tulis, bernalar, berdiskusi keras, bertanya, dan berfilsafat. Jangankan berpikir inovatif, tradisi kreatif pun terkebiri oleh berbagai penjara keangkuhan etik akademik dosen.
"Meneliti sastra itu untuk apa?" "Penelitian kualitatif itu untuk apa?" "Ilmu sosial itu apa?” Ketiga pertanyaan sinisme itu hanya sedikit contoh dari keangkuhan orang akademik di kampus.
Apa risiko dari realitas ironis pertanyaan di atas? Terakhir, saya dapat curhatan seorang kandidat doktor (masih muda) diminta menuliskan enam artikel jurnal sebulan.
Itu diceritakan ayah-ibunya, yang semula mengeluh karena naskah disertai anaknya belum dikoreksi oleh sang promotor. Promotor yang pejabat itulah yang menugaskan. Saya jadi teringat, seorang profesor muda menyindir pejabat di kampusnya yang tiba-tiba produktif menulis artikel jurnal.
Seorang mahasiswa meneliti kualitatif bisa terombang-ambing hanya gegara promotor atau pembimbingnya ahli kuantitatif. Tuntutan kuantifikasi dalam metode, paradigma, dan kajian bahasnya jelas logika berilmu yang salah.
Seorang dosen meminta mahasiswa mengganti penelitian gegara si mahasiswa gandrung sastra. Penelitian sastra itu dinilai sampah. Lebih-lebih, bagi orang-orang eksakta yang memandang negatif terhadap ilmu sosial. Padahal, manusia hidup dalam pagutan sosial apa eksak? Bukankah matematika hidup itu berbeda dengan ilmu matematika? Saya menjadi teringat kembali satire dari Cak Lontong. "Mikir!"
Budaya berpikir adalah tradisi luhur dalam pencarian ilmu, termasuk ilmu kehidupan untuk mampu menerjemahkan strategi IKI yang dilontarkan Khofifah. Untuk apa kita kuliah, misalnya, pertanyaan itu akan menuntun gerak mahasiswa. Tujuan pragmatis atau idealisme berilmu?
Ilmu memerdekakan, sebaliknya pragmatisme seringkali menyesatkan. Katanya, pendidikan itu memerdekakan?
Pragmatisme tidak dilarang, tetapi ingat ada pesan humanisme tersuci yang wajib diemban dunia pendidikan. Pendidikan itu memanusiakan, menyemaikan cinta, menghidupkan dan menggerakkan, mendewasakan dan memandirikan, serta menyehatkan mental spiritual.
Dunia pendidikan bukan pabrik, bukan rangkaian mesin-mesin kaku yang tak memberi ruang gerak. Pendidikan wajib memerdekakan.
Dua tahun pandemi COVID-19 adalah masa terburuk dari realitas kehidupan. Jawa Timur harus bangkit lebih cepat dan optimistis agar mampu berkontribusi bagi Indonesia di segala lini kehidupannya.
Akhirnya, barangkali kita bisa merasakan pesan filosofis aforisme Rene Descartes yang mengatakan bahwa aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Kepemimpinan terbaik tentu yang mampu memberikan inisiatif yang menginspirasi, berkolaburasi dan berinovasi secara cepat dan tepat.
Kepemimpinan dan pendidikan terbaik bagi saya, dituntut mampu menerjemahkan strategi IKI berikut melakukan transformasi perubahan di segala bidang. Pendidikan yang mengedepankan budaya berpikir dalam mewujudkan pesan inspiratif mengenai IKI.
Berpikir bisa mengubah paradigma, paradigma bisa mengubah perbuatan (kebiasaan), keduanya akan menjadi prinsip dan nilai hidup, yang terwujud menjadi takdir transformasi masa depan bangsa dan negara.
----
*) Dr Sutejo, MHum, adalah budayawan, penerima Penghargaan SDM Kebudayaan Jatim 2022 dari Gubernur Khofifah, Ketua (Rektor) STKIP PGRI Ponorogo.
Kepemimpinan Jawa Timur dalam bingkai inisiatif, kolaborasi dan inovasi
Oleh Dr Sutejo, MHum*) Kamis, 13 Oktober 2022 14:24 WIB
Jurnal ilmiah mengajarkan kecepatan "menjahit pikiran orang" dengan mesin tertentu, mengajarkan sitasi (pengutipan) dengan berbagai manipulasinya. Bagi saya, ini jauh dari berpikir kreatif dan inovatif.