Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan membenarkan bahwa produsen rokok kini mulai menurunkan produksi, menyusul kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2021 sebesar 12,5 persen.
"Benar bahwa ada dua pabrikan pada tahun ini turun dari golongan satu ke golongan dua. Artinya produksi rokok kedua pabrikan tersebut sepanjang 2020 kurang dari tiga miliar batang," kata Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Data menunjukkan sejumlah perusahaan besar seperti PT Nojorono Tobacco International (NTI) dan Korea Tomorrow & Global Corporation (KT&G) kini turun golongannya menjadi lebih rendah yakni di golongan dua.
Dia mengatakan penyebab penurunan golongan ini terjadi karena turunnya permintaan atas merek rokok yang diproduksi kedua pabrikan itu.
"Permintaan turun bisa daya beli masyarakat yang melemah atau perubahan selera konsumen atau bisa juga sebab lainnya," ujarnya.
Penurunan golongan yang dilakukan oleh NTI dan KT&G ini sebelumnya dibenarkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani.
Secara terpisah, peneliti Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) Adi Musharianto memandang tren penurunan golongan ini juga berdampak langsung pada meningkatnya peredaran rokok murah .
Selama ini, kata Adi mencontohkan, selisih tarif cukai antara golongan satu dan dua untuk segmen sigaret kretek mesin (SKM) memang cukup besar.
Hal itu berarti perusahaan golongan satu yang turun dapat menghemat biaya produksi dari pembelian cukai hingga 38 persen per batang rokok yang dijual.
Selisih tarif cukai ini dapat dimanfaatkan oleh pabrikan untuk mendapatkan margin yang lebih besar karena masih dapat memproduksi hingga tiga miliar batang rokok setahun.
"Betul bahwa bisa terjadi pergeseran konsumsi ke rokok murah dan salah satu motif perusahaan rokok turun golongan adalah meraih besaran harga jual eceran (HJE) dan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang dibayarkan kepada negara lebih murah. Dalam kondisi pandemi seperti ini harga murah tentu menjadi buruan bagi konsumen termasuk harga rokok," katanya.
Rawan anak
Fenomena harga rokok menjadi semakin murah ini, kata Adi, tentu sangat disayangkan karena berpotensi membuka akses bagi anak-anak untuk merokok.
"Tujuan penetapan batas HJE dan CHT adalah untuk mengendalikan konsumsi rokok agar tidak terjangkau rakyat miskin dan anak-anak. Namun apabila rokok dijual dengan harga murah tentu akan menghambat upaya pengendalian tembakau,” ujar Adi.
Oleh sebab itu, Adi merekomendasikan agar pemerintah lebih tegas untuk mengawasi penerapan kebijakan harga.
"Pengawasan harga rokok menjadi hal yang urgen yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini,” katanya.
Apalagi, tambahnya, saat ini juga banyak perusahaan yang menjual produknya dengan harga yang lebih murah dari harga banderol yang telah ditetapkan sesuai cukainya. (*)