Surabaya (ANTARA) - Dalam beberapa tahun terakhir, seni digital yang dihasilkan kecerdasan buatan (AI) semakin populer, memunculkan tren global di mana AI dapat meniru gaya visual seniman terkenal, termasuk Studio Ghibli.
Gambar-gambar bergaya Spirited Away atau My Neighbor Totoro yang dibuat oleh AI kini banyak beredar di media sosial, menampilkan estetika khas Ghibli—warna lembut, garis tangan yang detail, dan atmosfer magis. Fenomena ini menarik perhatian banyak orang, tetapi juga memicu kontroversi terkait hak cipta, etika, dan masa depan seniman manusia.
Di Indonesia, tren ini juga mendapat respons beragam. Beberapa kreator lokal mengapresiasi AI sebagai alat baru dalam eksplorasi seni digital, tetapi banyak pula yang khawatir bahwa AI akan menggantikan peran ilustrator profesional.
Dalam industri kreatif Indonesia, ilustrasi dan animasi adalah sektor yang berkembang, dengan banyak studio lokal seperti The Little Giantz dan Lumine Studio yang mulai menembus pasar internasional. Namun, jika AI terus digunakan untuk meniru gaya seni tanpa izin, apakah ini akan mengancam keberlangsungan industri kreatif di Indonesia?
Teknologi AI dan Replikasi Gaya Ghibli
Model AI seperti DALL·E, Midjourney, dan Stable Diffusion menggunakan teknik deep learning untuk menghasilkan gambar berdasarkan perintah teks. Dengan mengakses dataset besar yang berisi jutaan gambar dari internet, AI dapat belajar mengenali pola warna, komposisi, dan tekstur khas dari gaya tertentu. Inilah yang memungkinkan AI menciptakan ilustrasi bergaya Ghibli dalam hitungan detik.
Tren ini semakin masif sejak 2023, ketika pengguna media sosial mulai membagikan hasil gambar AI dengan estetika Ghibli. Di situs seperti Reddit dan DeviantArt, muncul komunitas yang khusus membuat dan berbagi ilustrasi AI bertema Ghibli.
Bahkan, beberapa akun di Instagram dan TikTok menjadi viral karena membagikan gambar-gambar AI yang meniru gaya studio animasi legendaris Jepang ini.
Namun, kehadiran AI dalam seni digital ini juga menimbulkan pertanyaan serius: apakah AI hanya sekadar alat kreatif baru, atau justru menciptakan bentuk eksploitasi terhadap karya seni manusia?
Masalah Hak Cipta dan Etika
Penggunaan AI dalam seni menimbulkan dilema hukum dan etika. Salah satu permasalahan utama adalah hak cipta. AI tidak menciptakan karya seni dari nol, tetapi “belajar” dari gambar-gambar yang sudah ada, termasuk karya dari Studio Ghibli dan seniman lainnya. Proses ini sering dilakukan tanpa izin dari pemilik asli, sehingga menimbulkan risiko pelanggaran hak cipta.
Kasus hukum terkait AI dan hak cipta mulai mencuat sejak 2023. Getty Images, salah satu penyedia stok foto terbesar di dunia, menggugat Stability AI karena menggunakan jutaan gambar tanpa izin untuk melatih model AI mereka. Pada Desember 2024, pengadilan di Inggris memutuskan bahwa gugatan ini dapat dilanjutkan ke tahap persidangan.
Di Jepang, isu ini menjadi perbincangan serius, terutama karena Studio Ghibli terkenal dengan komitmennya terhadap seni tradisional. Hayao Miyazaki sendiri pernah menyatakan bahwa seni AI adalah “penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.”
Di Indonesia, meskipun belum ada regulasi khusus tentang AI dalam seni digital, kekhawatiran serupa mulai muncul di kalangan seniman. Beberapa ilustrator mengeluhkan bahwa klien mereka lebih memilih menggunakan AI karena lebih murah dan cepat. Jika ini terus terjadi tanpa perlindungan yang jelas bagi seniman, apakah ini akan mengancam masa depan industri ilustrasi dan animasi di tanah air?
Dampak pada Seniman dan Industri Kreatif
Penggunaan AI untuk meniru gaya seniman berpotensi mengubah lanskap industri kreatif secara drastis. Salah satu dampak utama adalah hilangnya peluang kerja bagi ilustrator dan animator, terutama di industri yang sangat bergantung pada visual, seperti periklanan, game, dan film. Jika perusahaan lebih memilih AI untuk menghasilkan konsep seni dengan biaya murah, maka permintaan terhadap ilustrator manusia bisa menurun.
Dalam survei yang dilakukan oleh Pew Research Center pada 2024, sekitar 66 persen pekerja kreatif di AS menyatakan bahwa mereka merasa AI akan mengancam pekerjaan mereka dalam lima tahun ke depan. Di Jepang, beberapa studio animasi telah bereksperimen dengan AI untuk mempercepat produksi, yang memicu kekhawatiran bahwa tenaga kerja ilustrator junior bisa semakin berkurang.
Di Indonesia, industri animasi masih berkembang dan memiliki potensi besar di pasar global. Namun, jika AI mulai mendominasi produksi seni digital tanpa regulasi yang jelas, seniman lokal bisa kehilangan daya saing. Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan terhadap pekerja kreatif.
Regulasi dan Masa Depan AI dalam Seni
Beberapa negara mulai menyusun regulasi terkait penggunaan AI dalam seni. Uni Eropa, misalnya, telah mengadopsi Artificial Intelligence Act pada Maret 2024, yang mulai berlaku pada 1 Agustus 2024. Regulasi ini mengharuskan penyedia AI untuk memberikan transparansi tentang sumber data yang digunakan dalam pelatihan model mereka. Di AS, beberapa seniman telah mengajukan tuntutan hukum untuk memperjelas status hak cipta bagi karya yang dihasilkan AI.
Indonesia juga perlu mempertimbangkan kebijakan serupa.
Saat ini, belum ada peraturan khusus yang mengatur hak cipta dalam AI-generated art. Namun, dengan semakin maraknya penggunaan AI di industri kreatif, regulasi yang jelas akan dibutuhkan untuk melindungi hak seniman.
Selain itu, edukasi mengenai AI dalam seni digital juga harus ditingkatkan, agar masyarakat lebih sadar akan dampaknya terhadap ekosistem kreatif.
Kesimpulan
Seni yang dihasilkan oleh AI membawa perubahan besar dalam industri kreatif, tetapi juga menimbulkan tantangan baru, terutama dalam hal hak cipta, etika, dan keberlanjutan profesi seniman. Studio Ghibli adalah contoh kasus yang memperlihatkan bagaimana AI dapat meniru gaya seni dengan sangat akurat, tetapi tanpa apresiasi atau kompensasi kepada seniman asli.
Masa depan seni digital di era AI bergantung pada bagaimana kita mengatur dan menggunakan teknologi ini. Jika digunakan dengan etis, AI bisa menjadi alat yang memperkaya kreativitas.
Namun, jika dibiarkan tanpa regulasi yang jelas, AI bisa menjadi ancaman serius bagi industri seni. Oleh karena itu, penting bagi seniman, pemerintah, dan masyarakat untuk bersama-sama menciptakan kebijakan yang adil dan berkelanjutan bagi dunia seni digital.
Penulis merupakan Associate Professor Stikosa AWS, Budaya Visual dan Digital Media Art.