Jakarta (ANTARA) - Ketegangan geopolitik dan geoekonomi global terus memanas, membawa gelombang tantangan yang tidak terhindarkan bagi kinerja industri di berbagai belahan dunia, termasuk industri nasional Indonesia.
Data terbaru dari Kementerian Perindustrian per 2 Juli 2025 mengindikasikan bahwa industri nasional berada di persimpangan jalan, dihadapkan pada ancaman, sekaligus peluang di tengah dinamika global yang kompleks. Tuntutan akan strategi yang lebih adaptif dan responsif kian mengemuka.
Kenaikan tarif impor baja dan aluminium AS menjadi 50 persen yang efektif berlaku 4 Juni 2025, meskipun tarif balasan ditunda, adalah sinyal awal dari proteksionisme yang kian menguat dan berpengaruh pada industri nasional.
Perang dagang AS-China, yang tercermin dari kesepakatan Jenewa dengan tarif 30 persen bagi produk China ke AS dan 10 persen bagi produk AS ke China, menciptakan ancaman serius bagi industri nasional.
Dampaknya, produk-produk China berpotensi mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia, melalui skema pengalihan perdagangan atau bahkan dumping.
Tidak hanya itu, konflik Rusia-Ukraina yang berkelanjutan serta ketegangan Iran-Israel turut memicu lonjakan harga minyak mentah dunia di atas 70 dolar AS per barel.
Potensi penutupan Selat Hormuz, jalur strategis yang mengalirkan sekitar 20 persen pasokan minyak global, bisa memicu kelangkaan dan kenaikan harga bahan baku serta energi, yang secara langsung memukul biaya produksi industri.
Hal ini bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan ancaman nyata bagi kelangsungan operasional industri nasional.
Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia yang berada di angka 46,90 pada Juni 2025, menunjukkan fase kontraksi, menggarisbawahi lemahnya permintaan baru, khususnya dari pasar ekspor.
Kontributor utama
Di tengah semua tantangan ini, sektor industri pengolahan nonmigas (IPNM) tetap menjadi tulang punggung perekonomian. Pada Mei 2025, Indonesia berhasil mencatatkan surplus perdagangan 4,9 miliar dollar AS, menempatkannya di posisi ketiga global.
Amerika Serikat, ironisnya, menjadi penyumbang surplus terbesar, dengan nilai ekspor 2,08 miliar dolar AS pada April 2025.
Dengan tingkat utilitas IPNM mencapai 60,6 persen, Indonesia masih memiliki ruang untuk meningkatkan produksi dan memperdalam penetrasi ekspor produk manufaktur.
Posisi Indonesia sebagai negara manufaktur terbesar ke-12 dunia dan nomor satu di Asia Tenggara (berdasarkan nilai tambah manufaktur 255 miliar dolar AS pada 2023) menunjukkan bahwa fondasi industri nasional cukup kokoh.
Meskipun produk baja dan aluminium Indonesia bukan ekspor unggulan ke AS, pemerintah tetap perlu mewaspadai lonjakan impor produk-produk tersebut, terutama dari China, akibat trade diversion.
Sektor lain, seperti tekstil, produk tekstil (TPT), alas kaki, agro, dan aneka industri (mainan anak, alat olahraga), juga menunjukkan peningkatan signifikan impor dari China.
Hal ini menuntut kewaspadaan tinggi dan penerapan instrumen perlindungan perdagangan, seperti bea masuk anti dumping (BMAD), bea masuk imbalan (BMI), dan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) secara tegas.
Ketidakpastian global juga meningkatkan risiko capital outflow, namun, di sisi lain, ketegangan geopolitik justru memicu relokasi basis produksi dan diversifikasi rantai pasok global.
Ini adalah peluang emas bagi Indonesia untuk menarik investasi asing langsung (FDI), khususnya dari China, yang produknya kehilangan daya saing di pasar AS.
Produk seperti laptop, komponen komputer, ponsel, dan panel surya, menjadi incaran. Stabilitas politik, pasar domestik yang besar, serta insentif pemerintah, mulai dari PPh Pasal 21 DTP hingga bantuan kredit investasi dan KUR, adalah magnet yang perlu terus diperkuat untuk menarik investasi padat karya dan berorientasi ekspor.
Desakan parlemen
Dalam rapat Kementerian Industri dengan Komisi VII DPR RI, parlemen memberikan sejumlah desakan strategis kepada Kementerian Perindustrian.
Pertama, untuk menjaga kepentingan nasional, kementerian didesak untuk menjaga hubungan baik dengan mitra dagang Indonesia di berbagai negara. Ini krusial untuk memastikan kelancaran arus perdagangan dan menghindari hambatan yang tidak perlu.
Kedua, Parlemen meminta Kementerian Perindustrian untuk melakukan pembinaan terhadap industri dalam negeri guna menciptakan iklim usaha yang baik.
Hal ini mencakup upaya untuk memberikan kemudahan berusaha, kepastian hukum, dan kepastian waktu dalam proses pelayanan publik di bidang industri.
Birokrasi yang berbelit dan ketidakpastian regulasi sering menjadi ganjalan utama bagi pertumbuhan industri domestik.
Ketiga, Komisi VII mendesak Kementerian Perindustrian untuk menjaga pasar dalam negeri melalui kebijakan peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
Kebijakan ini harus diterapkan secara komprehensif, baik dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, maupun melalui kampanye masif penggunaan produk dalam negeri di masyarakat. Ini adalah kunci untuk membangun ketahanan industri dari dalam.
Terakhir, dan yang tidak kalah penting, Komisi VII DPR RI mendesak Kementerian Perindustrian agar membentuk sistem cadangan industri nasional.
Sistem ini harus mampu melakukan monitoring, mitigasi, dan respons cepat terhadap gangguan rantai pasok, fluktuasi nilai tukar, maupun lonjakan biaya logistik.
Cadangan strategis ini akan menjadi bantalan vital di tengah ketidakpastian ekonomi global yang kian dinamis.
Melihat tantangan yang membentang di depan mata, serta desakan kuat dari parlemen, sudah saatnya Kementerian Perindustrian mempercepat implementasi strategi antisipatif.
Hilirisasi dan diversifikasi produk manufaktur dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan, perluasan akses pasar global melalui pemenuhan standar kualitas dan diplomasi perdagangan agresif, serta penerapan instrumen perlindungan industri yang efektif adalah langkah-langkah yang tidak bisa ditawar.
Dengan kebijakan yang tepat, sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan dukungan penuh dari legislatif, serta kemampuan adaptasi yang cepat, sektor industri nasional akan mampu, tidak hanya bertahan, tetapi juga mengambil peran strategis dan berdaulat dalam rantai pasok global di masa depan.
*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati industri strategis, Tenaga Ahli di Komisi VII DPR RI yang membidangi industri, pariwisata, UMKM, ekonomi kreatif, BSN dan Lembaga Penyiaran Publik
Industri nasional, bertahan di tengah gejolak
Kamis, 3 Juli 2025 14:56 WIB

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sambutannya saat peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan proyek Ekosistem Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi Konsorsium ANTAM-IBC-CBL di Artha Industrial Hill, Karawang, Jawa Barat, Minggu (29/6/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.