Jember (Antaranews Jatim) - Kapal motor atau yang biasa disebut perahu payang "Joko Berek" yang dinakhodai oleh Dirman dengan membawa anak buah kapal (ABK) terombang-ambing di pintu masuk perbatasan laut dengan sungai yang dikenal dengan Plawangan Puger selama satu jam pada Kamis (19/7).
"Kami sudah bertahan sekitar satu jam untuk menunggu ombak tenang dan tidak masuk ke Plawangan Puger, namun tiba-tiba ombak tinggi menerjang kapal kami hingga perahu terbalik," kata nakhoda kapal Dirman yang masih terlihat shock atas kejadian tersebut.
Saat kapal terbalik dan karam, ia mengaku nekat melompat dan berenang untuk menuju ke tepian dan hal serupa juga dilakukan oleh semua ABK nya, namun tidak semua nelayan bisa berenang dengan mahir di tengah ombak yang cukup besar menggulung perahu mereka.
Dirman mengaku sudah pasrah kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap dirinya karena saat itu sudah tidak terpikir harapan untuk hidup bisa selamat atau tidak, namun ia terus berusaha berenang ke tepian menggapai batu-batu yang berada di pinggir pantai.
Ia juga tidak tahu kondisi 21 ABK nya saat terbaliknya kapal miliknya karena masing-masing berusaha menyelamatkan diri dari ganasnya ombak laut selatan itu dan kapal yang terbalik itu perlahan-lahan karam bersama hasil tangkapan ikan tongkol yang sudah di dapatnya.
Nakhoda kapal "Joko Berek" sekaligus pemilik kapal tersebut sebenarnya sudah tahu ada larangan berlayar melaut karena ada bendera hitam yang dipasang oleh petugas di tepi pantai yang menandakan cuaca buruk.
Namun, ia bersama 21 ABK yang sehari-hari mencari ikan di perairan Jember tersebut membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga nekat melaut untuk mendapatkan ikan yang akan dijual nya di Tempat Pelelangan Ikan Puger.
Dirman pun sempat menjalani perawatan intensif selama dua hari di Rumah Rumah Sakit (RS) Griya Puger Sehat karena mengalami luka di bagian tangan dan kaki, namun berangsur-angsur kondisinya membaik dan diperbolehkan pulang.
Persoalan ekonomi yang membelit nelayan menjadi salah satu faktor nekatnya nelayan melaut dan mereka meregang nyawa demi sesuap nasi tanpa memperhatikan keselamatan selama berlayar mencari ikan.
Anak korban Syafii yang belum ditemukan, Saliyah mengaku awalnya melarang bapaknya untuk pergi melaut karena cuaca buruk, namun bapaknya tetap nekat melaut karena saat itu membutuhkan uang.
Ia tidak menyangka larangannya tersebut berbuntut musibah yang menerjang kapal "Joko Berek" yang membawa bapaknya melaut untuk mencari ikan bersama 20 ABK lainnya hingga sebagian ABK terpaksa meregang nyawa di tengah ganasnya ombak laut selatan.
Anak pertama korban tersebut mengaku tidak kuasa untuk meminta bapaknya tidak melaut karena pekerjaan sehari-hari korban adalah sebagai nelayan dan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dengan mencari ikan di laut.
Keluarga korban juga melakukan penyisiran ke Pantai Pancer hingga Pantai Nyamplung Kobong bersama tim SAR gabungan untuk mencari korban Syafii yang masih belum ditemukan, namun keluarga juga pasrah dengan kondisi korban yang belum ditemukan itu karena harapan hidup korban sangat kecil.
Perahu payang atau kapal motor "Joko Berek" yang dinakhodai oleh Dirman dengan membawa 21 ABK dihantam gelombang laut tinggi saat pulang melaut melewati pintu masuk perairan Plawangan Puger, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Kamis (19/7), pukul 08.15 WIB.
Dalam kecelakaan laut tersebut, delapan ABK meninggal dunia dan satu ABK masih hilang, sedangkan 12 ABK dan satu nakhoda kapal "Joko Berek" dapat selamat dari ganasnya ombak laut selatan Jember.
Lima ABK ditemukan dalam kondisi meninggal dunia setelah kejadian tersebut dan empat ABK masih hilang terseret ombak, namun pada Kamis (19/7) sore ditemukan seorang ABK bernama Abdul Kowi dibalik badan kapal yang karam tersebut.
Pencarian korban dilakukan oleh tim SAR gabungan dengan melakukan penyisiran di tepi pantai karena ombak yang cukup tinggi, sehingga pencarian dengan menggunakan kapal tidak dilakukan demi keselamatan.
Sehari kemudian pada Jumat (20/7) ditemukan lagi dua orang ABK benama Budi dan Munaji dalam kondisi sudah meninggal dunia, kedua jenazah tersebut ditemukan di tepi Pantai Pancer oleh nelayan.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember Heru Widagdo mengatakan tidak adanya manifest penumpang kapal membuat pendataan korban simpang siur.
"Awalnya kami mendata lima ABK yang meninggal karena sudah ditemukan dan tujuh ABK yang hilang, namun setelah ditelusuri dan melakukan konfirmasi kesana-kemari dengan sejumlah nelayan maka dipastikan ada empat nelayan yang hilang saat musibah terbalik dan karamnya kapal 'Joko Berek' itu," tuturnya.
Jumlah korban kapal "Joko Berek" yang meninggal menjadi delapan orang yakni Cecep (45) warga Desa Puger Kulon di Kecamatan Puger, So'im (60) warga Desa Puger Kulon di Kecamatan Puger, Hasan (50) warga Desa Karangsemanding di Kecamatan Balung.
Kemudian Hadi (21) warga Desa Puger Kulon di Kecamatan Puger, Ulum (35) warga Desa Puger Kulon di Kecamatan Puger, Abdul Kowi (55) warga Desa Puger Kulon di Kecamatan Puger, Budi (47) warga Desa Mojosari di Kecamatan Puger, dan Munaji (45) warga Desa Puger Kulon di Kecamatan Puger.
Sedangkan korban selamat sebanyak 13 orang, termasuk nakhoda kapal Dirman yang sempat menjalani perawatan di rumah sakit, sementara satu ABK atas nama Syafii warga Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger hingga Minggu (22/7) pagi belum ditemukan.
Tim SAR gabungan berusaha terus melakukan pencarian dengan melakukan penyisiran di tepi pantai karena pencarian di laut masih terkendala cuaca buruk dan BMKG Maritim Perak Surabaya memberikan perngatan terkait dengan tingginya gelombang laut di perairan selatan Jatim dan Samudera Hindia selatan Jatim.
Berdasarkan data yang dihimpun di lapangan, seluruh ABK "Joko Berek" yang menjadi korban tersebut belum memiliki asuransi nelayan karena pemerintah daerah setempat memberikan asuransi nelayan secara bertahap.
Heru menjelaskan ada beberapa rekomendasi yang disampaikan BPBD atas kecelakaan laut tersebut yakni kapal yang berlayar seharusnya memiliki data manifest penumpang baik ABK maupun nakhoda, kemudian kelengkapan nelayan untuk melaut harus ada standarisasi untuk keselamatan seperti adanya pelampung dan sebagainya, serta dinas terkait memberikan sosialisasi pentingnya asuransi bagi nelayan karena pekerjaan mereka memiliki risiko tinggi.
Waspadai Cuaca Buruk
Kapolres Jember AKBP Kusworo Wibowo mengatakan pihak Satuan Polisi Perairan sudah mengimbau nelayan untuk melaut karena cuaca buruk dan memasang bendera hitam di Tempat Pelelangan Ikan yang menjadi simbol bahwa cuaca buruk dan gelombang tinggi.
"Sebenarnya hal tersebut sudah dipahami oleh nelayan, namun karena tuntutan ekonomi dan terikat dengan juragan atau pengambek, maka mereka terpaksa harus melaut untuk mendapatkan ikan," tuturnya.
Ia mengimbau nelayan tidak nekat melaut pada saat cuaca buruk karena hal itu dapat berdampak pada keselamatan nelayan, sehingga kejadian terbalik dan karamnya kapal Joko Berek tidak dapat dihindarkan hingga menyebabkan delapan orang meninggal dunia dan satu korban ABK masih belum ditemukan.
Kecelakaan laut KM "Joko Berek" ternyata tidak menjadi shokterapi bagi nelayan lainnya dan meskipun satu korban masih belum ditemukan, sebuah perahu "Anak Manja" nekat melaut pada Sabtu (21/7) hingga menyebabkan kapal tersebut pecah.
Beruntung empat ABK dan satu orang nakhoda kapal "Anak Manja" berhasil diselamatkan oleh perahu nelayan lainnya di tengah ganasnya ombak laut selatan, sehingga tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan laut tersebut.
Padahal, bendera hitam masih tetap berkibar di tepi TPI Puger karena pihak BMKG juga sudah memberikan peringatan untuk tetap waspada terhadap gelombang laut di perairan laut selatan Jawa Timur yang bisa mencapai lebih dari 3 meter.
Data Satuan Polisi Perairan Jember mencatat sebanyak lima kecelakaan laut yang terjadi sejak Januari hingga 22 Juli 2018 dengan korban meninggal dunia sebanyak 11 orang dan terbanyak adalah korban KM "Joko Berek" yang tercatat delapan meninggal dunia dan satu nelayan masih dinyatakan hilang.
"Kami tidak henti-hentinya memberikan imbauan kepada para nelayan untuk waspada terhadap ancaman ombak tinggi dan mengimbau tidak melaut sementara saat cuaca buruk, namun kebutuhan ekonomi yang mendesak membuat mereka tetap nekat melaut, sehingga kami tidak bisa melarangnya," kata Kasatpolair Jember AKP Harry Pamoedji.
Rusaknya "break water" juga menjadi salah satu alasan banyaknya kecelakaan laut yang terjadi di Plawangan Puger, sehingga nelayan harus berjuang keras untuk melewati pintu keluar menuju laut selatan tersebut.
Pemerintah pun seharusnya hadir untuk memberikan perlindungan keselamatan kepada nelayan melalui asuransi nelayan dan memperbaiki "break water" yang rusak puluhan tahun tersebut karena nelayan pun tidak berdaya ketika urusan "perut" berbicara, sehingga nekat melaut dalam kondisi cuaca buruk demi sesuap nasi untuk bertahan hidup. (*)