Tanggal 3 Mei ada pembukaan World Press Freedom Day di Jakarta. Indonesia sudah menikmati kemerdekaan pers sejak lepas dari rezim otoritarianisme Orde Baru 1998. Dengan "hilangnya" restriksi dari negara tidak berarti kemerdekaan pers sudah baik dan tak bermasalah.
Sekarang kemerdekaan pers justru sering terancam karena perilaku korporasi media mereka sendiri yang kadang punya kepentingan tak sejalan dg prinsip kemerdekaan pers. Ada media yg beritanya "ditarik-tarik" harus menguntungkan partai politik yang dekat dengan pemilik media. Kalau ada fakta sosial merugikan politik sang pemilik, ya tidak akan diberitakan. Tapi kalau berita itu menguntungkan pihaknya dan merugikan pihak lain, ya diekspose besar-besaran. Media menjadi alat ekonomi politik atau "alat pukul" untuk pihak lain.
Bentuk gangguan kedua terhadap kebebasan pers adalah berasal dari fanatisme sosial. Sering kelompok masyarakat hanya ingin ada berita yang sesuai dengan sikapnya. Mereka menentang kalau ada media memberitakan yg tidak sesuai dengan yang diharapkan. Mereka kadang mengusir atau "mengancam" awak media yg tidak disukai. Bahkan tak jarang jurnalis diintimidasi berdasar fanatisme sosial yang berlebihan.
Media konvensional memang tidak lepas dari framing berita, bahkan kadang pemihakkan. Tapi mereka tetap dituntut tanggung jawab terhadap isinya, sekaligus berkomitmen pada reputasi jangka panjang institusinya sebagai bentuk bisnis kepercayaan. Sejelek apapun media pers konvensional, termasuk yg berbentuk online, mereka berasal dari instutusi yang jelas, jelas alamat kantornya, dan jelas pula personal penanggung jawabnya. Framing dan berita yg tak akurat bukanlah hoax, karena masih berdasar fakta, kendati dilihat dari perspektif tertentu. Sedangkan hoax memang sengaja dibuat dengan memalsukan fakta. Pers konvensional amat beresiko untuk institusi dan orang-orang profesional di dalamnya kalau nekat memproduksi hoax.
Berbeda dengan media online abal abal yang justru serba tidak jelas. Mereka sering sembunyikan identitas, alias anonim, penanggung jawab maupun alamatnya. Karena anonim inilah mereka jadi merasa lebih bebas, dalam pemihakkan, bahkan mengubah hingga memalsukkan fakta. Media model ini juga bisa muncul dan hilang kapan saja sesuai kebutuhan politik dan ekonomi "peternaknya". Mereka tak patuhi Undang-undang Pers maupun kode etik. Tapi justru media-media seperti ini ternyata yang disukai, karena isinya sensasional dan bisa digunakan sebagai pembenar sikap politik. Sekaligus alat propaganda utk menyerang pihak lain dalam kontestasi politik yang sedang terjadi. Di situlah kenapa hoax lalu banyak diproduksi dan cepat beredar.
Hoax adalah pesan yang berisi fakta palsu yang sengaja dibuat dan disebar untuk tujuan disinformasi. Menciptakan kecemasan, kebencian pada pihak tertentu, hingga pemujaan yg tidak rasional, dengan memanfaatkan emosi, ikatan primordial, dan trauma sosial masyarakat. Hoax sengaja dibuat dengan niat jahat, bisa dibuat oleh politisi busuk yg menghalalkan segala cara, buzzer bayaran, hingga terroris. Tapi hoax justru sering dianggap sebagai kebenaran oleh yang meyakininya.
Media konvensional dalam hal ini jadi terkesan kurang "berani", dibanding media baru abal-abal yg banyak memuat hoax dan tak peduli objektivitas. Seharusnya pers online yg konvensional menyaingi dan menepis hoax dan berita2 palsu. Dengan cara memproduksi berita yang isinya mengklarifikasi berita hoax ataupun fake news. Kalau masyarakat ada yang suka ngeshare hoax, pasti ada juga yg kontra hoax. Artinya ada juga masyarakat yang membutuhkan berita anti hoaxnya. Jadi hoax maupun anti hoax itu berpotensi sama-sama dishare. Disini pers konvensional harus berpegang teguh pada upaya "giving the facts" memberikan fakta-fakta yg bisa dicheck kebenarannya.
Sayangnya pers online konvensional, malas menanggapi media abal-abal. Mereka khawatir menurunkan derajat reputasinya jika "mengoreksi" hoax. Padahal realitasnya hoax itu menyebar dengan potensi besar yg merusak. Hoax juga "mengancam" menurunnya kepercayaan publik pada pers konvensional. Berarti hoax juga bisa "membunuh" pers konvensional, karena mereka lebih menarik dan "bermanfaat" untuk berperang komunikasi politik.
Itulah persoalan pers atau media kita di era kebebasan sekarang ini. Ada penggunaan kebebasan pers untuk mencerdaskan, tapi ada pula yang justru mendompleng kebebasan pers untuk pembodohan dengan menyebarkan hoax.
Akhirnya kebebasan pers di era digital ini kalau tidak kita hadapi secara cerdas, justru menyuburkan peredaran hoax yang berpotensi merusak persatuan bangsa, memunculkan kebencian dan membahayakan kebangsaan. Pers nasional tak cukup hanya menuntut kebebasan, tapi mereka juga harus ikut menanggulangi peredaran hoax, yang datang dan membonceng kebebasan itu sendiri. (*)