Surabaya (ANTARA) - Pengendara motor di Jembatan Suramadu mengamuk (www.jatim.antaranews.com 22/06/2021). Kemudian masyarakat malah menjebol pagar penahan antrran orang yang akan divaksin corona.
Hal serupa juga terjadi di Cimahi. Kondisi ini menggambarkan ada apa dengan masyarakat kita? Mereka begitu marahnya, budaya antre dilanggar. Aturan dalam PPKM mikro berusaha dilanggar. Angka COVID-19 begitu meninggi, di saat aturan maskerpun diabaikan.
Aturan diperlonggar sedikit, angka penderita mewabah. Jika sebelumnya, Juli 2021 pembelajaran tatap muka di bangku sekolah akan dijalankan, rasanya sekarang akan ditunda lagi. Angka pasien COVID-19 sudah mencapai rekor tinggi. Rumah sakit mengeluh banyak tempat tidur yang penuh, tenaga kesehatan banyak yang meninggal.
Begitu mudahnya kita mendapati di jalanan tiap hari orang tidak bermasker. Ketika negara lain sudah sukses menanggalkan bahaya corona, kita masih sibuk dengan ancaman kematian corona ini.
Keteledoran
Ketika beberapa aturan diabaikan, angka penderita COVID-19 meningkat drastis. Padahal saat ini kita memasuki fase pemberian vaksinasi massal. Presiden Jokowi bahkan menargetkan satu juta orang divaksinasi per hari.
Permintaan ini bak gayung bersambut, semua kota/kabupaten menggelar program vaksinasi massal di daerahnya. Tiap hari masyarakat berjubel menanti divaksin. Antrean ini begitu mengular, orang tidak sabar untuk menunggu giliran. Personel keamanan tidak sebanding dengan masyarakat, akhirnya kekisruhan terjadi di tempat itu. Beberapa fasilitas yang tidak ada kaitannya dengan corona dirusak massa. Siapa yang patut dipersalahkan dalam konteks ini?
Seharusnya pemberian vaksin massal itu berbasis RT/RW. Ketua RT atau RW harus mengetahui warganya yang harus divaksin. Mereka selain ke instansi kesehatan juga harus melapor pada satgas COVID-19 di daerah tersebut.
Jika data ini terkoneksi dalam jaringan satu dengan yang lain, maka akan memudahkan penelusuran. Jadi tidak mungkin orang itu divaksin dua kali. Ini juga akan memungkinkan data akan terpusat dan terhubung dalam satu jaringan di kota/kabupaten.
Dari target Presiden Jokowi itu tadi, pertama dikhawatirkan para panitia vaksinasi massal hanya mengejar target sejumlah satu juta tersebut . Kedua, orang mengabaikan protokol kesehatan ketika berjubel mengantre.
Pemberian vaksin massal itu malah kontraproduktif. Orang mengabaikan protokol kesehatan. Jika hal ini berulang kali terjadi, maka bisa menjadi akan terus muncul varian baru. Artinya, varian pemberian vaksin justru menjadi awal mula penyebaran virus corona. Panitia pemberian vaksin hanya memikirkan mengejar target atau jumlah orang. Mereka mengabaikan jumlah personel keamanan yang menjaga antrean masyarakat.
Dengan mudah masyarakat yang mengantre menjebol pagar. Dalam situasi kerumunan semacam itu, orang dengan mudah marah. Lupa dengan budaya mengantre, bahkan melanggar aspek protokol kesehatan.
Menghadapi corona ini pemerintah daerah harus tegas. Aturan itu tidak boleh diperlonggar atau adanya privilege tertentu. Jangan berdalih libur nasional lalu masyarakat boleh longgar menerapkan protokol kesehatan. Begitu banyak peningkatan penderita pascalibur nasional. Misalnya, Lebaran kemarin terjadi lonjakan jumlah penderita. Atau hari libur nasional lainnya.
Bahkan ada seorang bupati yang memperbolehkan masyarakatnya berkerumun. Hal ini menambah jumlah pesakitan corona. Sekali aturan itu dibuat, jangan hanya manis di teksnya, tetapi kendor diimplementasinya. Kita bisa mencontoh Arab Saudi, dalam hal ini. Mereka tahun ini melarang sejumlah negara, termasuk Indonesia, untuk mengirimkan jamaah hajinya. Padahal jika memperbolehkan berhaji, berapa pundi-pundi uang yang mereka terima. Tetapi demi kesehatan masyarakatnya mereka bersikap tegas melarang jamaah haji dari negara lain.
Tips
Terdapat beberapa tips atau kiat untuk menghindari kejadian ini berulang
1. Memperbaiki manajemen panitia pemberi vaksin massal. Jangan sampai jumlah panitia lebih sedikit daripada jumlah masyarakat yang akan divaksin corona. Jika ini terjadi mereka, akan menghadapi massa yang mengantre. Masyarakat kita begitu tidak sabar, dalam artian, mereka dengan mudah akan berusaha menerobos pagar pembatas antrean mereka. Jika jumlah panitia seimbang dengan masyarakat, kondisinya bisa lain. Mereka dapat mengatur massa yang berjubel. Selain itu, panitia harus lebih awal memberikan jadwal pemberian vaksinasi. Setiap orang harus mengetahui kapan mereka akan divaksin. Jika mereka mengetahui lebih dahulu, mereka tentunya tidak akan berjubel mengantre. Kalau perlu diberlakukan kuota untuk tiap kali pemberian vaksin.
2. Basis pemberian vaksinasi massal di RT/RW. Institusi yang mau mengadakan pemberian vaksin harus berkoordinasi dengan RT/RW setempat. Mereka harus mengetahui jumlah keseluruhan warga RT/RW yang divaksin. Selain melapor ke institusi kesehatan, mereka dapat terkoordinasi dengan satgas COVID-19 di kota/kabupaten masing-masing. Jika data ini terpusat dan terhubung dalam satu jaringan, maka setiap orang dapat dilacak riwayat pemberian vaksinnya. Semua orang pasti divaksin. Tidak ada orang yang akan divaksin sampai berulang. Jika hal ini terjadi, antrean panjang yang menimbulkan huru-hara tidak akan terjadi.
3. Jangan melonggarkan aturan menghadapi corona. Menghadapi masyarakat yang berusaha mengakali aturan, pemerintah harus tegas menegakkan aturan itu. Masyarakat kita tidak bisa dihadapkan dengan hukum yang luwes. Orang kita harus ditakut-takuti dengan ancaman hukuman yang berat. Kalau perlu sanksi itu bisa dua kali lipat sehingga mampu membuat jera pelakunya. Kalau perlu diumumkan di media sehingga mereka merasa dipermalukan. Masyarakat yang melanggar aturan biasanya malu jika wajahnya terpampang di media. Apalagi jika dia ditegur oleh anggota keluarganya. Jika ini diberlakukan, sebuah aturan akan lebih efektif menjerat pelanggarnya. Aturan itu lebih tegas memberikan sanksi. Selama ini sebagai aturan corona, rasanya tidak makin memperkecil angka penderitanya.
4. Corona ini serius, hadapilah kenyataan ini. Ada sebagian masyarakat kita yang mengabaikan corona. Mereka begitu mudah tidak mempercayai dampak dari corona. Misalnya imbauan untuk bermasker tidak dipatuhinya. Mereka ketakutan menghadapi jarum suntik ketika divaksin. Padahal corona ini berdampak sangat luas. Dia bisa menyebabkan kematian. Protokol kesehatan harus diindahkan. Ingatlah jika kita terjangkit, bukan hanya diri kita yang berbahaya tetapi bisa menularkan pada yang lain.
Jika ini dipatuhi oleh semua pihak, kita akan terhindar dari bahayanya corona.
*) Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya
yayansaktis@gmail.com