Surabaya (ANTARA) - Mengagetkan.
Dilansir dari sejumlah media, kebocoran data penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 279 juta (Jawa Pos, 21/5/2021). Angka ini begitu mengagetkan. Menjadi pertanyaan kita semua, sekarang kepada siapa kita bisa percaya bahwa data pribadi kita begitu aman, ketika lembaga negara (BPJS) mengalami kebocoran data?
Atau ini akibat dari kebiasaan buruk masyarakat kita? Begitu gampang memberikan data pribadi kepada setiap aplikasi yang membutuhkan data kependudukan kita. Misalnya, nama, alamat, agama, nama orang tua, alamat email, data pendidikan, pekerjaan dan lain-lain. Apa yang menjadi penyebabnya? Bagaimana tips mencegah kebiasaan buruk yang kita lakukan ini?
Perilaku salah
Setiap kali kita berhubungan dengan lembaga secara virtual, mereka membutuhkan data kependudukan kita. Pokoknya mendapatkan apa yang kita inginkan, hal itu kita penuhi. Misalnya kita mau pinjam uang, kita memberikan data-data, seperti nama, alamat, foto diri kita dari depan maupun samping atau tanda tangan, jumlah nominal yang kita inginkan dan juga nama ibu kandung.
Kebiasaan ini acap kali kita lakukan tanpa kita sadar. Sehingga pihak manapun mengetahui data pribadi kita. Apabila tidak melewati proses ini, tidak tercapai tujuan kita. Padahal, hal ini sangatlah rahasia. Seharusnya kita tidak dengan mudah memberikan data pribadi milik kita.
Oleh sebab itu marak apa yang disebut dengan cybercrime atau penipuan perbankan melalui data pribadi kita. Tanpa sadar uang kita telah tersedot oleh penipuan berkedok data kita.
Sama halnya dengan penipuan melalui rekayasa wajah kita. Di situ terlihat seseorang yang macho, gagah ganteng, yang berhasil memikat lawan jenis. Hingga sering terjadi pengakuan seorang perempuan yang diperdaya melalui internet. Inilah yang dinamakan cybercrime.
Ketika teknologi internet menjadi sebuah keniscayaan sangatlah rentan kerahasiaan akan data pribadi kita. Kita begitu percaya pada kredibilitas pada sebuah lembaga di internet itu, misalnya anupedia, Shopia, atau nggedabrus.com, selalu membutuhkan data pribadi milik kita.
Data itu kemudian bisa diperjualbelikan oleh sebuah lembaga tertentu. Data itu kemudian bisa digunakan juga untuk kepentingan perbankan, membeli sesuatu, atau rekreasi via online.
Tips untuk mencegah kebiasaan buruk ini menjadi perilaku yang biasa kita lakukan:
1. Selalu berhati-hati menengarai kredibilitas lembaga yang baru kita kenal.
Kita harus selalu ekstra menaruh kecurigaan dan mencari tahu reputasi lembaga yang baru kita kenal namanya. Kita bisa bertanya kepada teman kita, menelpon lembaga lain atau mencari informasi yang valid di internet mengenai lembaga tersebut.
2. Jangan sembarangan berselancar untuk sesuatu yang tidak kita butuhkan.
Hanya karena keisengan kita berselancar, kemudian dengan mudah kita mengikuti tampilan situs yang ada di media online. Padahal, situs itu tidak terlalu kita butuhkan saat itu. Secara tidak langsung, kita terpaksa berhubungan dengan lembaga di media online itu. Ketika mengunduh aplikasi pun, sebaiknya kita harus pilih mana yang benar-benar kita butuhkan. Jangan semua aplikasi kita unduh dan kita beri data pribadi kita. Cara ini dapat mengurangi risiko data pribadi kita dijualbelikan.
3. Tidak dengan mudah memberikan data pribadi kita pada lembaga lain.
Memang agak repot ketika lembaga yang membutuhkan data pribadi kita itu adalah lembaga pemerintah atau negara. Kita begitu menaruh kepercayaan pada kerahasiaan data pribadi kita kepada mereka. Bagi lembaga yang baru kita kenal, kita jangan mudah memberikan data pribadi kita pada lembaga tersebut. Harus diketahui apa tujuan data pribadi itu dibutuhkan di dalam isian yang harus kita lengkapi sebagai syarat pendaftaran atau akses itu. Jika tidak ada kepentingannya untuk apa, kita perlu mempertanyakannya. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
4. Jangan menyalahkan lembaga yang membocorkan data pribadi kita, kita juga salah.
Dalam kasus kebocoran data penduduk ini, kebiasaan perilaku masyarakatlah yang salah. Masyarakat yang dengan mudahnya memberikan data pribadi pada sebuah situs maupun aplikasi online, akibatnya data ini bisa digunakan oleh lembaga lain atau diperjualbelikan untuk tindak kejahatan, seperti penipuan, cybercrime dan lain sebagainya.
5. Mengedukasi masyarakat lewat literasi digital.
Pengetahuan seputar online dan bagaimana cara menyikapinya perlu disampaikan kepada masyarakat, bahkan jika menjadi korban cybercrime belum banyak masyarakat yang belum tahu kepada siapa mereka bisa mengadu. Tetapi secara minimal, masyarakat tahu jika bisa mengadukannya ke kepolisian lebih dulu. Pada Mei 2017, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden tentang Pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara. Sayangnya, entah karena kurangnya sosialisasi atau penyebab lain, beberapa masyarakat belum tahu keberadaan lembaga di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan ini.
6. Lebih menghargai data pribadi kita.
Masyarakat kita belum terbiasa menghargai data pribadi masing-masing. Dipikirkan kalau urusan sudah beres, data pribadi itu tidak penting. Padahal data itu bisa diperjualbelikan. Seharusnya kita selalu teliti saat memberikan data pribadi kita pada lembaga yang baru kita kenal atau belum kredibel. Jangan sampai data itu bisa menjadi asal muasal cybercrime (kejahatan menggunakan media online).
7. Selalu berkala mengganti kata sandi di media sosial atau internet.
Penggantian katas sandi secara berkala dapat mengurangi risiko pembajakan, penyadapan serta segala bentuk penyalanggunaan akun milik kita oleh orang lain.
Intinya, pengetahuan tentang media online ini harus diajarkan sejak dini. Kita jangan sampai mengulang kesalahan kita. Belum maksimal kemampuan kita dalam membaca, kita sudah disuguhi budaya menonton lewat televisi. Ketika pengetahuan media literasi ini belum terbentuk kita sudah disusui budaya internet. Begitu tergopoh-gopohnya kita. Sekolah tidak siap. Ketika ada masalah kita baru menyadarinya.
Harus ada kurikulum yang khusus yang membahas hal ini. Anak-anak perlu diajarkan cara menggunakan media secara baik dan benar. Anak-anak jangan hanya menjadi objek, tetapi subjek dari kehadiran media internet tersebut. Jangan sampai anak-anak hanya memetik fungsi hiburan atau entertainment, padahal masih banyak fungsi-fungsi lain dari media itu. Fungsi edukasi, informasi, bisnis, dan lain-lainnya.
Kita tidak bisa menyalahkan kehadiran media online, mengingat banyak sekali manfaat yang sudah kita rasakan darinya. Hanya saja, sebagai manusia, jangan sampai kita diperdaya olehnya, apalagi malah disengsarakan. Jangan jadikan data pribadi kita sebagai alat ganti atau harga yang harus dibayar untuk manfaat yang telah kita peroleh dan justru seolah menggadaikan keselamatan diri sendiri.