Sukses di negeri sendiri, itu hebat. Tapi, mengalami diskriminasi, menjadi minoritas dan mengalami "culture shock", namun justru sukses di negeri orang, itu luar biasa.
Itulah pengalaman Dian Harumi Paramita, alumni Jurusan Akuntansi Angkatan 2002 Fakultas Bisnis (FB) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS).
"Awalnya, saya tidak menyukai akuntansi. Bahkan, saya ingin masuk jurusan ekonomi murni, atau public relation," ucapnya dalam Talkshow Alumni di UKWMS Dinoyo, Surababaya (15/6).
Kini, perempuan berjilbab yang pernah menjadi International Moslem Fotomodel di San Fransisco dan California itu menjabat sebagai Community Manager untuk Google+.
"Jadi, ada beberapa feature di Google+ yang merupakan hasil riset dan analisis saya dan tim saat itu," ujar perempuan yang memulai karir sebagai product development specialist di perusahaan raksasa teknologi informasi itu.
Saat ini, pekerjaan ibu dari dua anak perempuan itu melingkupi business strategy, product management dan marketing analysis yang dasar-dasar ilmunya didapat dari pengalaman kuliah di Jurusan Akuntansi UKWMS.
"Saya bersyukur almarhumah ibu saya mengubah pikiran saya bahwa akuntansi banyak cabang ilmunya dan akan selalu bisa dipakai di bidang pekerjaan apapun. Ternyata ibu benar, dari sana saya menyimpulkan bahwa dalam belajar itu; 'pilihlah apa yang kamu sukai dan jangan hanya menghafal teori, tapi pahamilah'. Suatu saat itu pasti akan bisa kamu pergunakan," tuturnya.
Semasa kuliah, perempuan yang akrab disapa sebagai Yeyen itu senang duduk di baris terdepan, terutama pada mata kuliah-mata kuliah yang ia sukai seperti Manajemen Pemasaran, Sistem Informasi Akuntansi dan Manajemen ataupun Pemeriksaan Akuntansi.
"Masih ingat juga ajaran Pak Ariston (Ketua Jurusan Akuntasi UKWMS) bahwa 'kontrol itu seperti dokter, kalau kamu ingin memperbaiki sesuatu, kamu harus tahu apa penyakitnya dan apa solusinya'. Sampai sekarang saya juga masih hafal di luar kepala ajaran tentang flowchart, loh! karena memang selalu kepake," selorohnya.
Dian lantas berbagi pengalamannya belajar disiplin dan pentingnya sikap toleransi dari keterlibatannya selama di organisasi kemahasiswaan.
"Saya masih ingat, dulu setiap mau rapat, semuanya selalu datang on time. Setiap jam shalat, kawan-kawan akan bertanya atau mengingatkan saya agar rapat dihentikan dulu untuk memberi saya kesempatan untuk shalat. Demikian juga sebaliknya saat jam misa. Itu hal kecil, tapi setelah merasakan culture shock di America, saya baru sadar itulah tindakan toleransi yang 'luar biasa'," ujarnya.
Di Amerika, untuk shalat saja, Dian pernah harus melakukan di lahan parkiran, karena minimnya masjid dan mushalla. Salah satu pengalamannya yang mengagetkan, tiba-tiba saat sedang sembahyang, ada mobil polisi lengkap dengan sirene datang mendekat. Ternyata ada yang menelepon polisi karena mencurigai penampilannya yang berhijab.
"Untunglah, saya bisa membela diri dan membuktikan dengan kartu permanent resident saya yang bersih dari catatan kriminal. Di sana fenomena Islamophobia memang terjadi, namun bila kita mengikuti aturan yang ada, ada banyak juga orang-orang yang menghargai kita apa adanya. Polisi- polisi itu kemudian malah meminta maaf saat mengetahui catatan saya yang bersih," paparnya.
Dian menyampaikan mungkin banyak orang melihat bahwa bekerja di Amerika kelihatan keren, enak dan sebagainya. Tapi sebenarnya saat bekerja di negeri orang ada banyak hal yang harus siap dihadapi, terutama culture shock.
"Karena saya lahir dan besar di Indonesia, bahkan saat berkuliah di Universitas Katolik sekalipun, saya ada di lingkungan yang menoleransi kebutuhan religius saya. Tentu saja pengalaman-pengalaman penolakan seperti itu membuat saya kaget. Tapi dalam dunia yang sudah sangat global, kita harus tahu dan bisa menyesuaikan strategi tanpa harus kehilangan jati diri," pungkasnya.
Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Bisnis UKWMS tersebut juga menyampaikan, dalam berusaha mencapai kesuksesan orang harus berani gagal. Harus berani mengambil risiko kehilangan apa yang sudah dibangun dengan susah payah sebelumnya, menerima hinaan dan pelecehan.
"Sebagai keturunan Tionghoa dan Jawa Muslim, dari kecil saya sudah merasakan pengalaman di-bully. Saya pernah menangis saat dibilang 'ular', 'sapi', 'China', karena penampilan dan kulit yang lebih terang dari kebanyakan teman-teman saya," tukasnya.
Bahkan, ada sahabat yang tidak mau lagi berteman dengannya setelah tahu dirinya keturunan Tionghoa. Apa yang ia alami itu adalah diskriminasi yang ia alami di negeri sendiri, tetapi ada hikmahnya.
Pengalaman itu membuat Dian kuat menghadapi diskriminasi di Amerika. Ia berpendapat bahwa (diskriminasi) semakin dilawan, perlakuan diskriminasi itu akan semakin menjadi. Namun jika bisa menunjukkan dengan sikap dan perilaku yang benar, tidak pernah menyakiti orang lain secara sengaja atau melanggar aturan yang berlaku, maka orang lain akan melihat faktanya dan lambat laun menghargai apa adanya.
Dalam pesan kepada "adik kelas" mahasiswa UKWMS, Dian meyakinkan bahwa kesuksesan itu bisa dicapai, tapi harus melewati anak tangga yang banyak pakunya.
"Kita ngga bisa naik 'lift'. Do good and be kind, no matter what! (Berbuatlah baik dan jadilah orang yang baik, apapun yang terjadi!). Punya pendidikan yang baik, sukses, tapi berbuat jahat itu hanya akan membawa keburukan pada dirimu sendiri. Jagalah moralmu, dan selalu belajar karena pengetahuan adalah senjatamu untuk kehidupan yang lebih baik". (*)
Dian Harumi, Diskriminasi, dan Sukses dalam Google+
Kamis, 16 Juni 2016 14:41 WIB
(diskriminasi) semakin dilawan, perlakuan diskriminasi itu akan semakin menjadi. Namun jika bisa menunjukkan dengan sikap dan perilaku yang benar, tidak pernah menyakiti orang lain secara sengaja atau melanggar aturan yang berlaku, maka orang lain akan melihat faktanya dan lambat laun menghargai apa adanya.