Trenggalek, 3/12 (Antara) - Seorang guru SLB di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur mengembangkan sebuah usaha mandiri untuk menampung bakat serta ketrampilan para penyandang disabilitas yang mayoritas menganggur karena tertampung di dunia kerja pasca lulus sekolah.
Antara di Trenggalek, Kamis melaporkan, rumah industri kreatif yang diberi nama Yayasan Disabilitas Naema yang berlokasi di jalan Setiabudi, Kelurahan Ngantru, Kecamatan Trenggalek itu saat ini menampung 51 penyandang cacat, seperti tuna netra, tuna rungu, tuna grahita dan tuna daksa.
"Ada beberapa jenis usaha kami lakukan, semua demi memberi ruang dan kesempatan bagi para penyandang disabilitas ini untuk belajar mandiri," terang Ketua Yayasan Disabilitas Naema, Tarya Ningsih di Trenggalek.
Beberapa unit usaha yang dibuka di bawah pengelolaan Yayasan Disabilitas Naema itu antara lain, katering, menjahit, bordir, jasa pembuatan mahar pengantin , sablon, pijat, konter pulsa, percetakan aneka undangan, musik elekton, pembantu rumah tangga, pijat, pengetikan, melukis hiasan dinding, maupun kerajinan tangan lainnya.
Tarya yang memulai karir sebagai tenaga pengajar di SLB Kemala Bhayangkara, Trenggalek itu mengaku terinspirasi membuka aneka usaha tersebut, khusus untuk menampung para lulus SLB, SMPLB maupun SMALB yang kebanyakan menganggur pasca purnasekolah.
"Pemilihan unit usahanya terinspirasi bakat dan ketrampilan para penyandang disabilitas. Mereka memang memiliki beberapa keahlian yang beragam, ada yang bisa menjahit, memasak, memijat, membordir, membuat aneka kerajinan tangan, desain grafis hingga jasa pengetikan," terang Tarya Ningsih yang kini menjadi staf Dinas Pendidikan Kabupaten Trenggalek.
Usaha bersama para penyandang cacat itu sendiri telah berjalan sekitar enam tahun.
Namun sejak berdiri pada 2009 dengan nama Naema Work Centre and Gallery, perkembangan usaha masih tergolong lambat.
"Mungkin karena kami memilih jalur benar-benar mandiri dan tidak mengandalkan bantuan ataupun pembinaan dari pemerintah. Sementara segmen pasar di Trenggalek belum banyak," ujarnya.
Akibatnya, Tarya Ningsih mengaku sering nombok atau tekor, karena kasihan para penyandang cacat binaannya tidak memiliki cukup uang saku untuk penghasilan harian.
"Seringkali upah mereka saya tambahi, dari seharusnya Rp250 per biji untuk setiap produk kerajinan tangan, misalnya, saya genapi menjadi Rp500. Maksudnya ya supaya mereka bisa pulang dan membawa hasil kerja (uang)," tuturnya.
Keputusan Tarya memberi tambahan subsidi bagi seluruh tenaga kerjanya yang semua penyandang disabilitas berusia dewasa itu harus dibayar mahal.
Obsesinya untuk membuat aneka usaha mandiri dengan menampung kaum disabilitas menyeretnya dalam pusaran hutang dengan nominal besar, yakni mencapai Rp3,8 miliar dengan nilai rentabilitas atau beban angsuran sekitar Rp45 juta per bulan.
"Memang tidak semua pinjaman masuk dalam kegiatan sosial bersama anak-anak disabilitas. Sebagian lain saya investasikan untuk membangun rumah kos serta penyediaan beberapa unit dump truk. Usaha itu cukup membantu menutup beban rentabilitas bulanan sementara usaha kerajinan dan jasa kami belum bisa profit," ujarnya. (*)