Oleh Riesty Yolanda Paliama
Hingga kini, Majapahit yang berjaya pada abad XIV-V, masih menyimpan sisa-sisa kejayaannya, seperti yang bisa dilihat dari beragam peninggalan sejarahnya, baik berupa benda, petilasan maupun bangunan hingga patung.
Dari sederet peninggalan Majapahit, salah satunya adalah Gapura Bajang Ratu di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
"Bangunan ini dibuat sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Jayanegara. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Jayanegara dinobatkan menjadi raja ketika masih 'bajang' (kecil), sehingga bergelar Ratu Bajang," ucap seorang petugas penjaga situs ini, Parno.
Dalam buku yang ditulis oleh tim arkeolog yang meneliti peninggalan Majapahit di Trowulan, Bajang Ratu merupakan pintu masuk menuju ke sebuah kompleks bangunan suci.
"Berdasarkan kajian dari kitab Pararaton dan Negara Kertagama, Bajang Ratu berfungsi sebagai gapura menuju ke bangunan suci, namun hingga sekarang belum ada yang menemukan di mana letak bangunan suci yang dimaksud," tutur juru kunci Bajang Ratu, Nyono.
Nyono mengatakan pembangunan gapura ini sebenarnya belum selesai karena ketika dibangun, Majapahit sedang mengalami perang. Hal ini dapat dilihat dari bentuk gapura yang belum sempurna.
Denah gapura ini berbentuk persegi dengan ukuran 11,5 x 10,5 meter dan tinggi 16,50 meter.
Secara vertikal, Bajang Ratu dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, tubuh dan atap. Atapnya memiliki puncak berbentuk kubus dengan hiasan relief Kalamakara, Naga Berkaki, Kapala Kala, Surya, Mata Satu dan Ratna atau bunga. Semua relief tersebut berfungsi sebagai penolak "bala" atau bahaya.
Menurut Nyono, sama halnya dengan bangunan peninggalan Majapahit lainnya di Trowulan, Bajang Ratu juga dibangun hanya dengan menggunakan batu bata merah yang digosokkan satu sama lain. Setelah keluar serbuk, lalu disiram air sehingga saling merekat.
Bajang Ratu pertama kali ditemukan pada tahun 1890, kemudian pada tahun 1915 diselamatkan oleh Belanda dengan cara memasang besi sebagai penyangga karena kondisi bangunan saat itu hampir runtuh akibat kayu penyangganya telah lapuk.
Pada tahun 1919 dilakukan penggalian dan penelitian lebih lanjut hingga akhirnya diperbaiki lagi pada tahun 1985-1992 oleh Pemerintah Indonesia.
Bangunan yang terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto ini masih sering digunakan sebagai tempat ritual keagamaan bagi para pemeluk agama Hindu, terutama datang dari Bali.
"Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung kemari, ada yang bertujuan wisata, belajar sejarah Majapahit maupun melakukan ritual keagamaan," ungkap Parno.
Selain untuk tujuan tersebut, penduduk di sekitar Gapura Bajang Ratu juga mengatakan bahwa seringkali ada orang-orang yang datang untuk tujuan "upacara kejawen", misalnya mencari pusaka seperti keris, batu akik, dan sebagainya.
Hingga kini, Bajang Ratu masih berdiri dengan gagah. Hal itu menunjukkan kualitas peradaban Majapahit pada masa itu dengan konstruksi bangunan yang memiliki nilai seni tinggi.
"Saya senang bisa melihat sendiri sisa kerajaan Majapahit yang begitu membanggakan. Dengan tatanan taman yang indah, Gapura Bajang Ratu ini menjadi tempat yang sangat menyenangkan untuk dikunjungi," papar seorang wisatawan dari Surabaya, Adam. (*)
((Foto-foto diunggah dari dokumen/arsip Disparbud Jatim))
Mengintip Sejarah Majapahit dari Gapura Bajang Ratu
Jumat, 31 Mei 2013 10:22 WIB
