Surabaya (ANTARA) - Hiruk pikuk kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia masih menyimpan banyak histori yang terkadang penduduknya masih belum mengerti bahkan mengunjungi tempat yang pernah menjadi saksi sejarah.
Tidak jauh dari Jalan Tunjungan Surabaya, yang saat ini menjadi pusat anak muda berkumpul dan berkarya kreatif, terdapat sebuah kawasan yang masih terjaga bentuk bangunan dan kisah sejarahnya yang mesti perlu diberikan ke para generasi penerus bangsa ini.
Deretan bangunan tua yang diduga berasal dari tiga zaman, yakni rumah bergaya abad 18, 19 dan tentu saja abad 20, yang lebih modern dalam peradaban, masih kokoh berdiri.
Saat ANTARA dan seluruh peserta yang tergabung dalam rangkaian kegiatan jelajah sejarah "HistoReligi" yang digelar oleh Pelindo, Forum Hotel dan Media serta komunitas sejarah Begandring Soerabaia tersebut menelusuri komplek pemakaman lama yang dikenal banyak orang dengan sebutan Makam Belanda Peneleh itu, banyak menemui hal baru yang belum tentu masyarakat tahu.
Namun, saat ini, makam tersebut hanya menjadi sebuah bekas pemakaman orang yang meninggal di zamannya, boleh dibilang menjadi sebuah kompleks prasasti sejarah.
Pada masa kolonial dahulu, tepatnya mulai dari tahun 1847 hingga 1947, hampir selama 100 tahun, lahan di kawasan Peneleh ini menjadi tempat pemakaman warga Eropa yang tinggal di Kota Surabaya, diantaranya orang-orang Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan sebagainya.
Menurut Koordinator Begandring Soerabaia Kuncarsono Prasetya, banyak jenazah warga negara Eropa, terutama yang terlibat langsung dengan Pemerintahan Hindia Belanda yang "disimpan" di makam tersebut.
"Ada 3575 jenazah yang semuanya masih asli, bahkan kemungkinan jenazah Pak Perez yang pernah menjadi wakil direktur Mahkamah Agung Hindia Belanda itu masih utuh kalau peti matinya yang bercampur wine itu tidak hancur," ucapnya.
Makam Pierre Jean Baptiste de Perez atau P.J.B. de Perez memang terlihat seperti monumen.
Menurut cerita yang disampaikan pria yang akrab disapa Kuncar itu, tercatat , Perez pernah menjadi residen Surabaya dan Gubernur Sulawesi tersebut meninggal saat berada di dalam kapal dan jenazahnya dikebumikan setelah sekitar 10 hari di laut.
Perjalanan menuju Surabaya yang kala itu masih lama menjadi petaka bagi orang-orang disekitarnya untuk memutar otak agar jenazah tersebut tidak berbau.
Oleh karena itu peti wine menjadi opsi peristirahatan terakhir Perez menuju Surabaya, bahkan air wine tersebut "dicampurkan" juga dengan jenazahnya agar tidak berbau.
Sesampainya di Surabaya, akhirnya dikebumikan di Makam Belanda Peneleh, sesuai dengan keinginannya.
Selain Perez, ada tokoh-tokoh lain yang ikut dikuburkan di makam yang dibangun pada 1814 tersebut.
Salah satunya makam Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus (1787–1844) atau jika saat ini setara dengan presiden.
Secara kasat mata, kuburannya dikelilingi oleh pagar besi cor tanpa pintu, yang berwarna hitam dengan desain seperti gereja tua.
Nisannya besar terbuat dari besi cor dengan susunan huruf-huruf terinskripsi, posisinya juga terlentang menghadap ke langit.
Pieter Merkus, wafat di rumah Simpang atau saat ini disebut dengan Gedung Negara Grahadi pada 2 Agustus 1844.
Namun, ada selang waktu selama tiga tahun antara kematian Merkus (1844) dan dibukanya pemakaman ini (1847), karena kala itu pemakaman tersebut belum diresmikan oleh pemerintahan saat itu.
Setelah menyusuri area pemakaman, peserta diajak berjalan lagi menuju perkampungan Peneleh.
Sebelum memasuki perkampungan, pemandu yang akrab disapa Kuncar tersebut menjelaskan masjid yang juga menjadi jejak salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Muhammadiyah, yang berdekatan dengan sekolah Nahdlatul Ulama dan di sampingnya terdapat toko dari China.
"Tempat ini bisa dikatakan menjunjung tinggi toleransi," kata Kuncar sambil tertawa.
Memasuki gang-gang sempit, para peserta ditunjukkan satu persatu "keganjilan" dari sebuah makam tak bernama yang tersebar di perkampungan Peneleh.
Makam-makam tersebut terpisah, bahkan ada juga yang diduga tempat kepala jenazah dijadikan kamar mandi oleh pemilik rumah yang mengaku tidak bisa memindahkan makam tersebut saat membangun tempat tinggalnya.
Setelah itu, ANTARA menjumpai sebuah masjid yang berdiri megah di tengah kampung Peneleh gang V, yakni Masjid Jami.
Masjid Jamik Peneleh, diyakini merupakan salah satu peninggalan dari Sunan Ampel yang dibangun sekitar abad ke 18 atau kurang lebih pada 1430 Masehi.
Dari tampak luar, masjid ini dikelilingi 25 ventilasi, tiap ventilasinya terukir aksara Arab indah nama-nama 25 para nabi.
Bahkan, menurut cerita, masjid tersebut menjadi saksi serangan bom Belanda di era kolonial. Pada saat peperangan dulu, menara Masjid Jami pernah rusak akibat serangan meriam.
Kabarnya, meski meriam itu berhasil menghancurkan menara dan langit-langit masjid, namun saat terjatuh ke lantai bom itu justru tidak meledak sama sekali.
Tidak hanya di situ, peserta yang mengikuti kegiatan yang juga sebagai ajang menunggu waktu berbuka puasa atau biasa disebut "Ngabuburit" tersebut selanjutnya diajak menuju rumah kediaman HOS Tjokroaminoto.
Sebuah rumah yang menjadi bukti tempat belajar para tokoh muda perintis kemerdekaan, yakni Bung Karno, Muso, Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka dan Kartosuwiryo
Namun, dibalik bangunan yang juga pernah menjadi tempat Bung Karno indekos tersebut ada cerita yang sering luput, yaitu tentang romansa cinta pertama Bapak Proklamator Indonesia itu.
Adalah Siti Oetari Tjokroaminoto, gadis pertama yang memikat hati Presiden pertama Republik Indonesia ini dan berlanjut ke pelaminan. Dia anak mbarep (sulung) Tjokroaminoto, usianya terpaut lebih muda enam tahun dari Bung Karno.
Bung Karno pun punya sebutan sayang untuk Oetari, yakni "Lak".
" Suatu sore Lak sempat diajak jalan ke luar rumah oleh si bung. Sesuatu yang tidak lazim pada kala itu. Jalannya tidak jauh, itu di atas Jembatan Peneleh," kata Kuncar.
Menurut catatan, Bung Karno nembak Oetari di Jembatan, dan Oetari menjawab. lantas setelah itu? Ya, itu saja.
Namun dalam buku otobiografi Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat yang ditulis Cindy Adams, Oetari tidak pernah "di-unboxing" oleh Bung Karno. Dia suci hingga perceraian terjadi dua tahun kemudian.
Beranjak dari rumah yang penuh romansa dan sejarah tersebut, ANTARA bersama para peserta lainnya diajak "menemui" peninggalan dan yang menjadi bukti otentik bahwa kawasan Peneleh sudah ada sejak zaman Majapahit, yakni ke Sumur Jobong.
Menurut penuturan Sang Juru Kunci sumur Agus Santoso, Sumur Jobong ditemukan pada saat ada proyek gorong-gorong di Kampung Pandean I Surabaya pada akhir Oktober 2018.
"Awalnya dari penggalian drainase gorong-gorong, saat penggalian dikedalaman satu meter sekrop tukangnya itu membentur benda keras ternyata benda itu bata-bata yang tebal dan itu berjajar diatas sumur, dan saat di atas saya melihat itu bentuknya seperti bulan sabit, akhirnya saya lapor ke RW," ujarnya.
Temuan Sumur Jobong di Kampung Pandean tersebut bisa dikatakan adanya wilayah permukiman kuno, bahkan hal itu diperkuat dengan adanya penelitian dari tim Balai Pelestarian Kebudayaan Jawa Timur (Trowulan).
Tak hanya itu, hasil uji karbon tulang yang ditemukan di sekitar Sumur Jobong oleh National University of Australia 2019 menunjukkan bahwa kawasan tersebut sudah ada sejak 1430.
Selain itu, gen dari penduduk sekitar setelah di uji menunjukkan 90 persen memang ada keturunan dari era Majapahit di kawasan itu.
Ruang persegi seperti bunker di bawah tanah tersebut dipakai sebagai akses untuk melihat dari dekat keberadaan dan bentuk dari sumur.
Sumur Jobong saat ditemukan memang tertutup, namun masih aktif dan sumbernya terus mengeluarkan air, bahkan airnya jernih.
Bahkan tanpa dipompa pun, air di sumur tersebut penuh tidak sampai meluber. Airnya kerap dimanfaatkan untuk menyirami tanaman di kampung.
ANTARA, mencoba turun dan merasakan air dari situs peninggalan Majapahit tersebut. Airnya segar dan memang tidak berbau.
Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan bisa belajar sejarah dari Nusantara terutama di Kota Pahlawan sambil ngabuburit menunggu waktu adzan Maghrib.
Semoga cerita dan bukti sejarah yang ada di kawasan Peneleh akan tetap terjaga hingga kelak, agar penerus Bangsa ini dapat mengerti tentang bukti kebesaran dari Peneleh.
Merawat cerita jejak peradaban Majapahit hingga zaman kolonial di Peneleh
Oleh Naufal Ammar Imaduddin Senin, 10 April 2023 10:00 WIB