Kupang (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menegaskan bahwa praktek judi daring (judol) telah menjadi ancaman serius terhadap ketahanan keluarga di Indonesia, khususnya bagi perempuan dan anak.
Sekretaris Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA Prita Ismayani Sriwidyarti dalam keterangan yang diterima di Kupang, Senin, mengatakan fenomena ini dinilai tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga memicu kerentanan sosial, kekerasan dalam rumah tangga, serta rusaknya relasi keluarga.
“Judol bukan sekadar persoalan individu, tetapi ancaman nyata bagi ketahanan keluarga," katanya dalam Seminar Nasional Natal Nasional 2025 di Aula Kampus Universitas Katolik Santu Paulus Ruteng, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut dia, perempuan dan anak sering menjadi kelompok paling terdampak, baik secara ekonomi, psikologis, maupun sosial.
Ia mengajak gereja dan komunitas untuk mengambil peran strategis sebagai garda terdepan dalam upaya edukasi, pencegahan, serta pemulihan bagi korban judol, sejalan dengan program perlindungan keluarga yang dijalankan pemerintah.
Prita juga memaparkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencatat perputaran uang judi daring pada 2024 mencapai sekitar Rp900 triliun dan diperkirakan terus meningkat pada 2025.
Dia menambahkan praktek ilegal tersebut melibatkan jutaan pemain dari berbagai kelompok usia, termasuk anak-anak dan remaja.
“Natal mengingatkan kita bahwa keselamatan keluarga adalah tanggung jawab bersama. Judi online bukan hiburan, melainkan jebakan yang merusak masa depan,” tegasnya.
Ketua Umum PP PMKRI Susana Florika Kandaimu menjelaskan bahwa seminar yang digelar merupakan bagian dari rangkaian Natal Nasional yang sebelumnya dilaksanakan di Bandung dan akan berlanjut di Merauke.
Menurutnya, judol telah berkembang menjadi persoalan serius yang menyasar seluruh lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa dan lingkungan gereja.
“Judol sering dianggap sebagai jalan pintas keluar dari persoalan ekonomi. Padahal dampaknya justru menghancurkan masa depan pribadi, keluarga, dan generasi muda. Karena itu diperlukan kolaborasi antara pemerintah, gereja, kampus, dan masyarakat untuk memeranginya,” ujar Susana.
Ia menambahkan PMKRI secara aktif melakukan advokasi dan audiensi dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), guna mendorong pemberantasan situs judi daring. Upaya pencegahan juga dilakukan melalui peningkatan literasi digital, penguatan soft skill anak muda, serta pelibatan mahasiswa dalam kegiatan organisasi.
Tokoh Agama di Ruteng Pdt Cindy Cecilia Tumbelaka-van Munster menegaskan Natal tidak boleh dimaknai sebatas perayaan ritual, melainkan harus menyentuh realitas penderitaan keluarga yang terdampak judol.
“Judol dari mentalitas jalan pintas. Dalam iman Kristen, tidak ada jalan pintas menuju keselamatan. Yang ada adalah perjuangan, kejujuran, dan kesetiaan. Judol menciptakan kecanduan dan merusak relasi dalam keluarga,” tegasnya.
Sementara itu Direktur Puspas Keuskupan Ruteng Fransiska Widyawati memaparkan hasil Riset Hibah APTIK 2025 terkait praktik judi di kalangan mahasiswa NTT yang melibatkan 1.162 responden dari 43 perguruan tinggi.
Riset tersebut menunjukkan judol bukan semata persoalan individu, melainkan masalah struktural yang berkaitan dengan kemiskinan, ketidakadilan, lemahnya penegakan hukum, serta budaya mental instan.
