Surabaya (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) menyatakan siap menghadapi sidang praperadilan yang diajukan mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017–2021 Awan Setiawan meski hingga saat ini belum menerima surat resmi dari Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Permohonan praperadilan tersebut tercatat dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Surabaya dengan nomor perkara 20/Pid.Pra/2025/PN Sby. Sidang perdana dijadwalkan pada Selasa (8/7).
“Kami baru tahu melalui SIPP dan saat sidang pertama kemarin kami belum hadir karena memang belum menerima surat resmi dari PN Surabaya,” kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim, Saiful Bahri Siregar, di Surabaya, Jumat.
Meski demikian, pihaknya tengah menelusuri pemberitahuan resmi dari pengadilan terkait praperadilan tersebut.
“Kami masih cari tahu terkait surat pemberitahuan sidang praperadilan itu,” ujarnya.
Saiful menegaskan, Kejati Jatim tetap siap mengikuti seluruh rangkaian sidang praperadilan yang diajukan oleh Awan Setiawan jika telah menerima pemberitahuan resmi.
“Jika kami sudah menerima surat pemberitahuan resmi dari PN Surabaya, kami siap untuk mengikutinya,” kata dia.
Terkait pengajuan praperadilan, Saiful menilai hal tersebut merupakan hak setiap tersangka dalam proses hukum.
“Itu wajar, karena praperadilan akan menguji apakah penyidikan yang kami lakukan sudah sesuai kaidah hukum,” katanya.
Ia juga menegaskan pihaknya akan menjawab seluruh materi praperadilan yang diajukan oleh pemohon.
“Kami akan menjawab dengan menunjukkan bahwa penyidikan sudah memenuhi kaidah hukum dan didukung alat bukti yang cukup,” tuturnya.
Sebelumnya, penyidik Pidana Khusus Kejati Jatim telah menahan Awan Setiawan yang diduga terlibat dalam perkara korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Polinema. Perkara tersebut ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp42 miliar.
Dalam kasus yang sama, Kejati Jatim juga menetapkan Hadi Setiawan, pemilik tanah, sebagai tersangka.
Keduanya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Ancaman hukuman maksimalnya 20 tahun penjara,” ujar Saiful Bahri Siregar.
