Banda Aceh (ANTARA) - Salah seorang penyintas gempa bumi dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 silam, Nelly tidak pernah berhenti berdoa di kuburan massal korban musibah besar tersebut hingga 20 tahun lamanya.
“Ziarah ini adalah cara saya mengenang mereka. Rasanya tidak lengkap jika tidak mengirimkan doa di sini,” kata Nelly saat ditemui di kuburan massal Ulee Lheue Banda Aceh, Kamis.
Dua dekade telah berlalu sejak tsunami dahsyat mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004. Namun, kenangan pahit itu masih melekat di hati para penyintas. Kuburan Massal Ulee Lheue menjadi salah satu tempat mengenang dan mendoakan para syuhada tsunami.
Meski 20 tahun telah berlalu, mereka tidak berhenti melapalkan doa untuk orang-orang terkasih yang menjadi korban bencana gempa dan tsunami dengan ketinggian gelombang hampir mencapai 30 meter.
Nelly merupakan salah seorang penyintas yang kini menetap di Banda Aceh. Dia masih belum lupa bagaimana gelombang tsunami merenggut banyak nyawa, termasuk sepupu dan keluarganya.
Nelly bercerita, saat kejadian, dia masih menjadi mahasiswa di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dan berdomisili di wilayah Gampong Mulia Banda Aceh. Asalnya sendiri dari Kabupaten Bireuen.
Dia berhasil selamat karena memilih bertahan di atap rumah tetangga samping indekosnya.
“Saya sedang di kos bersama teman-teman. Setelah gempa besar, bapak kos menyuruh kami naik ke lantai dua, bahkan ke atap rumah tetangga. Dari atas, kami menyaksikan air bah menghantam, membawa mobil, pohon, dan puing-puing rumah,” ujarnya.
Namun, sepupunya yang tinggal di Lampulo bersama bayi berusia dua tahun tidak selamat. Kehilangan itu masih membekas dalam ingatannya.
“Sepupu saya mungkin lari saat air datang, tetapi tidak berhasil menyelamatkan diri,” ujarnya.
Kini, Nelly bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu SMA di Banda Aceh. Kenangan tsunami terus ia bawa sebagai pengingat untuk selalu bersyukur.
Nelly, bukan satu-satunya yang datang membawa kenangan dan doa. Lina (45), warga Ulee Kareng Banda Aceh, juga tidak pernah berhenti berziarah ke kuburan massal Ulee Lheue.
"Setiap peringatan tsunami pasti ke sini. Hari-hari biasa, kalau lewat, saya juga menyempatkan diri mampir," katanya.
Lina kehilangan ibu dan adiknya yang tinggal di Punge Jurong saat tsunami melanda. Ia hanya memiliki keyakinan jenazah orang-orang tercinta dimakamkan di kuburan massal tersebut.
“Mayat mereka tidak pernah ditemukan, tetapi saya yakin mereka dimakamkan di sini,” katanya.
Lina masih mengingat perbincangan terakhirnya dengan sang ibu yang sedang mempersiapkan acara ulang tahun ke-26 adiknya, Firdaus.
“Pagi itu, ibu saya menelepon, bilang ada gempa, dan meminta saya ke sana karena ada kenduri,” ujarnya.
Namun, setelah gempa susulan dan tsunami, Lina mendapati semuanya sudah lenyap.
“Pernah ada tetangga yang bilang melihat adik saya berdiri di simpang, tersenyum saat air datang. Itulah terakhir kali dia terlihat,” kata Lina.
Musibah Gempa bumi dan Tsunami 2004 meluluhlantakkan Aceh dan wilayah sekitar Samudra Hindia. Dalam hitungan menit, merenggut lebih dari 170 ribu nyawa dan menghancurkan sekitar 250 ribu rumah, ratusan sekolah, puluhan rumah sakit, dan berbagai infrastruktur vital lainnya.
Pemakaman massal seperti di Ulee Lheue Banda dan Siron Aceh Besar telah menjadi saksi bisu tragedi tersebut, tempat ribuan jenazah dikuburkan tanpa nama.