Oleh Asmaul Chusna (Kediri) - Tidak banyak yang tahu asal muasal dari perubahan orientasi seksual pada diri Mujianto. Sejatinya, dis-orientasi itu terjadi setelah ia tinggal di rumah majikannya itu. Dulu, Mujianto adalah pria normal, sempat punya kekasih. Namun, karena ekonomi, ia merantau dan akhirnya putus dengan tambatan hatinya. Perkenalan dengan Joko, terjadi sekitar empat tahun lalu (2007). Namun, tinggal di rumah Joko sebagai pembantu rumah tangga juga selang dua tahun (2009). Joko yang menjadi bendahara di sebuah SMPN Kabupaten Nganjuk itu mengaku merasa kasihan, hingga mau menerima Mujianto. Gaji yang diterima Joko tidaklah banyak, hanya Rp200 ribu sebulan. Kepada polisi, Mujianto mengaku sering diberi uang dan diajak liburan oleh "sang kekasih" itu. Bahkan, keduanya sering melakukan hubungan layaknya suami istri dengan berbagai tempat. Di rumah Joko masih ada seorang keluarga yang tinggal, bernama Anne. Nampaknya, ia juga baru tahu ada kejadian tragis di rumah itu, yakni kisah cinta terlarang melibatkan Joko dan Mujianto. Merasa perhatian berkurang dan lebih mementingkan kenalan yang baru, membuat Mujianto dilanda cemburu hebat. Rencana jahat keluar. Beralasan ingin membuat jera, ia membeli racun tikus di sebuah toko pertanian di Desa Jatirejo, Kecamatan Loceret, jenis Temex 15G. Sutarno, salah seorang pelayan di toko itu menyebut, Mujianto membeli racun rentang November 2011 sampai Januari 2012. Ia membeli dalam jumlah kecil, Rp500 sampai Rp3.000 (harga per bungkus Rp500). Ia sempat curiga, saking serinya Mujianto membeli racun. Namun, hal itu ditangkis Mujianto dengan dalih tikus di rumahnya banyak. Sutarno pun percaya. Korban Berjatuhan Satu demi satu korban Mujianto berjatuhan. Awalnya, petugas Polres Nganjuk mendapat laporan enam korban, dengan empat di antaranya meninggal dunia, dan dua lainnya selamat. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, korban bertambah menjadi 15 orang, dengan jumlah yang meninggal masih sama. Hingga keluarga Subekti dari Kelurahan/Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri datang melaporkan kematiannya yang diduga kuat juga dilakukan Mujianto, dan setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan pada Mujianto, maka korban yang meninggal dunia tercatat lima orang. Kepala Polres Nganjuk AKBP Anggoro Sukartono menyebut kejadian itu terjadi dalam rentang 2011-2012, termasuk korban meninggal dunia. "Kami juga sudah melakukan olah tempat kejadian perkara, termasuk bekerja sama dengan tim Labfor Polri Cabang Surabaya di Mapolda Jatim melakukan 'visum'," tegas Kapolres. Saat ini polisi terus mengembangkan kasus ini. Dari laporan yang masuk, korban terus bertambah menjadi 23 orang. Sejauh ini, jumlah korban meninggal masih sama, yakni lima orang. Polisi juga meminta keterangan dari korban selamat maupun keluarganya, termasuk Joko. Khusus untuk Joko, statusnya masih sebagai saksi. Polisi masih mendalami dugaan keterlibatan pegawai negeri sipil ini dalam kasus pembunuhan berantai. "Kami butuh bukti pendukung. Tidak bisa langsung ditetapkan tersangka," urainya. Kasus Mujianto belum memasuki babak baru. Namun, saat ini tiga berkas sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Nganjuk. Dua berkas dengan korban Mujianto atas nama Muhammad Fais (28), warga Desa Kejapanan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan dan Anton Sumartono (47) warga Desa Tegalan Pamularang, Kecamatan Lawean, Kabupaten Surakarta, Jawa Tengah. Keduanya adalah korban selamat dari rencana pembunuhan Mujianto, dengan menggunakan racun tikus. Sementara, berkas satunya lagi milik Sutrisno (33), warga Kelurahan Bago, Kecamatan Nganjuk. Ia adalah penadah barang-barang milik korban yang sebelumnya diambil Mujianto. Untuk kasus dua korban yang selamat, polisi akan menjerat Mujianto dengan Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencurian dengan Pemberatan, sedangkan untuk penadah, polisi akan menjeratnya dengan Pasal 480 KUHP dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun penjara. Namun, polisi masih menunggu kesimpulan jaksa atas ketiga berkas yang sudah dilimpahkan itu. Polisi masih menunggu ketigas berkas kasus atas nama Mujianto itu dinyatakan P-21 (sempurna). Terpukul Mendengar kasus hukum yang menimpa anaknya itu, ayah Mujianto, Parni (54) , nampak terpukul. Mata pria yang tinggal di Desa Jatikapur, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri, terlibat nanar, seolah menahan kepedihan yang amat mendalam. Bahkan, ibu Mujianto, Pinartun (50) jatuh sakit. Jantung lemahnya kembali kambuh mendengar kabar anaknya tersangkut hukum. Hubungan dengan sesama jenis lagi. Parni masih ingat betul, tentang masa kecil Mujianto. Anak itu bukan anak kandungnya, melainkan anak angkat. Kedua orangtuanya dari Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Saat itu, Mujianto kecil sakit dan orangtuanya tidak sanggup mengobati, karena miskin. "Ia sakit. Kami kasihan, dan orangtuanya menyerahkan untuk dirawat," ucapnya. Kasih sayang yang diberikan, walaupun bukan anak kandung, Parni tidak pernah membedakan. Sayangnya, karena kemiskinan, Mujianto sekolah hanya sampai SD. Dia besar di gubuk kecil dan berdinding tembok, nampak sederhana. Pekerjaan orang tua angkatnya yang hanya buruh tani, membuat Mujianto tumbuh dengan sederhana pula. Sama dengan dua kakaknya yang lain, hidup sederhana. Ia pernah merantau ke Jakarta dua kali, mengadu nasib dengan berjualan, namun gagal dan balik lagi ke Kediri. Selepas itu, Parni minta Mujianto jualan bakso keliling di seputar rumah, tapi, Mujianto lebih memilih kerja di rumah Joko. "Dia jarang pulang setelah kerja di rumah Joko. Bahkan, ibunya sakit, juga jarang menjenguk," ucapnya. Ia tidak tahu anaknya mengalami perubahan orientasi seksual. Namun, ia menyebut jika Mujianto pendiam sejak kecil. Ditemui di rumahnya, Parni pasrah. Ia menyerahkan masalah ini ke polisi. Keluarga juga minta maaf atas kelakuan Mujiono. Sejumlah psikiater yang didatangkan guna memeriksa kesehatan Mujianto menyebut tidak ada gangguan jiwa. Mujianto normal dan sadar melakukan aksinya. "Dia tidak mengalami gangguan jiwa, artinya dalam melakukan itu dalam kesadaran penuh, sehat secara mental," tukas Psikiater Polda Jatim, dr Roni Subagia Sp.KJ. Motif utama pelaku melakukan kegiatan pembunuhan berantai tersebut, lanjut dia, murni karena emosi. Ia terbakar api cemburu dengan sikap Joko yang mulai berubah, kurang perhatian. "Ia cemburu, merasa marah, hingga melakukan perbuatan seperti itu," kilahnya. Karena sadar, Mujianto bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya yang telah menghilangkan nyawa orang. (*)
Mujianto, dari Cemburu Menjadi "Pemburu" (2)
Senin, 27 Februari 2012 19:20 WIB