Oleh Asmaul Chusna (Kediri) - Pandangannya melesat ke angkasa. Begitu, Ahmad Musikan (47), warga Dusun/Desa Ngreco, Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, mengingat-ingat kejadian tragis yang menimpanya pada 28 November 2011. Nyawanya hampir melayang. Tubuh bongsornya lemah. Kritis. Begitulah yang dikatakan orang-orang tentang kondisinya. Namun, Tuhan Yang Maha Hebat rupanya masih berpihak kepadanya. Racun yang masuk ke tubuhnya keluar bersamaan dengan sisa-sisa es buah yang ia makan saat di warung es dengan seorang pria yang diduganya bernama Mujianto di Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Ia muntah. Nama Mujianto pun ramai dibicarakan. Ia terlibat dalam kasus pembunuhan berantai yang terkuak sekitar dua pekan lalu, setelah satu demi satu korban berjatuhan. Pria berusia 24 tahun asal Desa Jatikapur, Kecamatan Tarokan Kabupaten Kediri itu disangka membunuh pria-pria yang mendekati kekasihnya yang juga seorang pria. Keduanya memang pasangan sejenis. Kisah maut dengan pria yang ia duga bernama Mujianto itu berawal saat ia berkenalan dengan seorang pria yang ia temui di Pasar Setonobetek, Kota Kediri. Pria itu mengaku bernama Hertanto. Pria itu berperawakan tinggi, berkulit kuning, mempunyai kumis tebal, dan selalu berpakaian necis. "Dua kali saya bertemu dia di pasar. Ia mengaku sebagai pemilik "showroom" di Nganjuk, lalu kami saling tukar nomor telepon," katanya. Berawal dari permintaan temannya untuk mencarikan sepeda motor bekas dengan nomor polisi dari Nganjuk, pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjual jamu racik ini akhirnya menghubungi Hertanto. Lewat pembicaraan per telepon itu sempat terjadi tawar menawar harga, termasuk adanya uang muka pembelian sepeda motor jika cocok, yakni Rp500 ribu. Keduanya sepakat bertemu di Pasar Setonobetek, Kota Kediri pada 28 November 2011, namun orang yang ditunggu tidak kunjung muncul batang hidungnya. Justru ia mendapat kabar jika janjian diganti di Pasar Gringging, Kabupaten Kediri. Dengan mengendarai sepeda motor, pria yang profesi tambahannya sebagai makelar ini pun pasrah. "Yang penting, apa pesanan teman saya itu terpenuhi atau bagaimana. Itu yang di pikiran saya," ucap bapak dua anak ini. Sampai di Pasar Gringging, telepon miliknya kembali berdering. Rupanya, si pemilik "showroom" sekali lagi berhalangan hadir, ada rapat mendadak, hingga mengutus anak buahnya menjemput Ahmad. Tidak lama, akhirnya orang yang dikatakan anak buah si pemilik "showroom" muncul, mengendarai sepeda motor. Menggunakan jaket dan helm tertutup, keduanya berkenalan singkat, tapi Ahmad tidak terlalu perhatian. Sebelum tragedi maut, si penjemput yang kemudian diketahui bernama Mujianto itu membawanya berkeliling Nganjuk dengan dalih menagih utang. Puas berkendara, ia singgah di sebuah warung es buah. Tak bisa menolak, akhirnya es terpaksa diminum. Sedikit. Beberapa biji buah ia ambil, demi menepis rasa "tidak enak" dengan si penjemput, yang menilainya tidak menghargai jika ditolak. "Saya makan sedikit buahnya, tidak semua saya habiskan," ucapnya. Modus Petaka mulai datang, tatkala ia menjalankan ritual, yakni shalat di sebuah masjid di daerah Kecamatan Loceret. Begitu Mujianto datang menjemput setelah sebelumnya pamit membeli ayam bakar, perutnya mulas. Selang 500 meter perjalanan dari masjid, ia sudah tidak kuat, hingga akhirnya diturukan di rumah warga. Nahas. Seluruh benda berharga, dompet yang berisi uang Rp600 ribu (Rp500 ribu uang muka motor dan uang miliknya), telepon seluler lenyap dibawa Mujianto. Sementara itu, ia ditinggal hampir meregang nyawa di teras rumah warga. Kasihan, ia dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, Nganjuk. Tuhan masih berkehendak, nyawanya tertolong. Sang istri, Aniul Khotimah (35), sempat tidak percaya jika suaminya sedang kritis di rumah sakit. Parahnya, dokter mengatakan ia keracunan, seperti ada yang sengaja menaruh racun. Padahal, selama ini ia merasa suaminya tidak pernah ada masalah dengan orang lain. Tidak pernah punya musuh. Ia juga orang baik. "Suami saya tidak suka minum es. Karena dipaksa saja, ia akhirnya mau," tutur Aniul. Kasus itu, ungkapnya, sempat diusut polisi setempat, namun lama ia tidak mendapat kabar. Kasus itu menguap begitu saja, hingga akhirnya ramai diperbincangkan di media massa, yakni aksi pembunuhan berantai. Sepertinya, modus yang dialami suaminya juga sama dengan yang dialami para korban-korban itu. Janjian lewat telepon seluler, bertemu, diajak makan atau minum, lalu mual dan muntah akibat keracunan, dan harta benda pun lenyap. Beberapa rekan suaminya, pernah merasa curiga. Sejak kejadian itu, ia sering mendapat pesan singkat dari telepon Ahmad. Rupanya, rekan-rekan suaminya tak tahu jika ia baru mendapat musibah. "Sampai tiga hari dari kejadian itu, telepon masih aktif. Ia mempertanyakan ada hubungan apa dengan suami saya. Kan teman-teman suami saya curiga, mengapa ia bertanya demikian," ucapnya. Mereka baru mengetahui, ketika sebagian bertandang ke rumah dan melihat kondisi suaminya yang tergeletak lemas di atas ranjang. Selamat dari musibah keracunan yang hampir mencabut nyawanya. Tak seberuntung Ahmad, Subekti alias Wiji, warga Kelurahan/Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri tak bisa menikmati indahnya hidup. Ia tewas. Keluarga sempat menduga jika ia keracunan. Keluarga belum sempat membawa Subekti yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat itu ke rumah sakit. Hanya berbekal air kelapa muda, sebagai penawar racun, tapi terlambat dan meninggal dunia pada pertengahan September 2011. Awalnya, keluarga bingung harus melapor kemana dan mengabaikan kejadian itu. Namun, setelah melihat sejumlah tayangan di televisi, keluarga akhirnya melaporkan kejadian itu Minggu (19/2) di Polsek Pare, dekat dengan keluarga menemukan di Desa Pace Kulon, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk. Mujianto masih tertunduk ketika ia digelandang ke Kantor Polres Nganjuk pada dua pekan lalu. Polisi sudah menangkapnya dan kasusnya diungkap pada Senin (13/2). Interogasi maraton dilakukan polisi pada pria yang hanya lulusan sekolah dasar itu. Berbadan mungil dengan tinggi sekitar 140 centimeter, tidak terlalu kurus, kulitnya bersih dan halus, pria itu digelandang. Diketahuilah, pria itu ternyata menyimpan segudang kisah, termasuk cinta terlarang dengan majikannya. Sepengakuannya, ia menjalin kasih dengan majikan yang juga sama-sama pria, bernama Joko Suprianto, warga Desa Senopatik, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk. (*)
Mujianto, dari Cemburu menjadi "Pemburu" (1)
Senin, 27 Februari 2012 19:20 WIB