Praktik pengeboman ikan di laut bisa dilihat sebagai indikator peradaban suatu masyarakat. Artinya, jalan keluar yang dipilih oleh nelayan untuk memperoleh banyak ikan, meskipun melanggar aturan, menunjukkan posisi peradaban mereka. Peneliti masyarakat nelayan dari Universitas Jember (Unej) Drs Kusnadi, MA mengemukakan bahwa penggunaan bom itu, menurut nelayan merupakan solusi untuk mendapat ikan, walaupun bukan dengan cara yang baik. "Kemampuan peradaban nelayan memang masih pada tahap itu. Karenanya itu dianggap sebagai pemecahan masalah. Ada juga yang dilakukan dengan mencanggihkan alat tangkap, seperti menggunakan minitrawl. Jaring itu sampai ke dasar laut karena ada pemberatnya. Lubang jaring hanya 1/2 Cm, sehingga ikan kecil-kecil terbawa, terumbu karang rusak," ucapnya. Mahasiswa program doktor di Universitas Brawijaya Malang itu mengemukakan bahwa hal tersebut merupakan respons para nelayan terhadap keadaan. Mereka tidak menyadari bahwa cara itu semakin menyulitkan mereka jangka panjang. Praktik seperti itu semakin melestarikan kesulitan mereka. Ia menilai bahwa masih maraknya penggunaan bom ikan faktornya sangat banyak. Polisi sulit menangkap mereka di tengah laut karena tidak dilengkapi dengan kapal, kecuali polisi air. "Memang ini tidak gampang yang akhirnya penegakan hukum sangat lemah, baik yang dilakukan oleh polisi maupun dinas perikanan. Ini juga persoalan hak hidup. Nelayan sudah miskin masak dipenjara," paparnya. Salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah program pemberdayaan, menciptakan sumber-sumber pencaharian alternatif, seperti pembudidayaan rumput laut atau industri kreatif, seperti yang pernah ia survei di Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan. Namun, Kusnadi menyadari bahwa hal itu membutuhkan biaya besar. Selama ini, program pemerintah untuk menangani masalah ini dengan terumbu karang buatan, tapi tidak melibatkan masyarakat. Padahal, program yang sukses adalah yang melibatkan masyarakat sehingga mereka tumbuh kesadaran melestarikan lingkungan. "Maklum, orientasi pemerintah masih proyek. Pemerintah tidak pernah menjadikan laut sebagai akses ekonomi berkelanjutan. Padahal, Selat Madura itu adalah raksasa yang sedang tidur. Selain pariwisata, Selat Madura juga menyimpan keanekaragaman hayati," tuturnya. Kalau selat itu dirancang menjadi basis pertanian rumput laut, maka akan jadi sentra terbesar di Jatim. Selama ini petani rumput laut di Indonesia tidak pernah mampu mencukupi kebutuhan dunia. Menurut Kusnadi, saat ini masyarakat nelayan mencari model dan modal sendiri untuk mencari penghidupan. Kondisi itu menyebabkan masyarakat nelayan seolah-olah tanpa negara. "Nelayan itu kan susah senang mereka urusi sendiri. Negara ada, tapi terbatas," katanya. Direktur Yayasan Terumbu Karang Nusa Dua, Bali, Pariama Hutasoit, mengemukakan bahwa dari pengalamannya selama ini, kepedulian semua pihak sangat berarti untuk menghentikan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Ia mencontohkan nelayan di Bali utara yang menggunakan potasium sianida untuk menangkap ikan hias. Tapi setelah ada inisiatif pendampingan dari LSM sekarang sudah tidak ada, seperti di Tejakula. "Mereka dibimbing bagaimana menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Bom memang paling merusak terumbu karang. Ini merupakan ancaman paling serius terhadap terumbu karang," katanya. Ia mengemukakan tidak mudah mengembalikan kondisi terumbu karang karena pertumbuhannya yang lambat. Meskipun tergantung kondisi perairan, namun rata-rata pertumbuhan terumbu karang setiap tahun hanya 1 - 10 Cm. Selain itu karang hanya bisa tumbuh pada suhu 18 - 26 derajat celcius. "Terumbu karang itu juga sangat sensitif. Kalau rusak oleh alam cenderung lebih mudah pulih. Bahkan misalnya dibiarkan saja bisa pulih sendiri asal tidak ada gangguan lagi. Tapi kalau setiap tahun ada pengeboman, maka pasti akan sulit untuk pulih secara alami," katanya. Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Tridoyo Kusumastanto mengemukakan bahwa pengeboman ikan merupakan bahaya laten bagi kelestarian terumbu karang. Untuk mengatasinya perlu tindakan yang komprehensif, termasuk tersedianya dana. Hal terpenting adalah kesadaran masyarakat melalui pembinaan dengan melibatkan perguruan tinggi, LSM dan pemerintah. "Dari pengalaman kami melakukan pendampingan, salah satunya ada alternatif pendapatan atau alih profesi, seperti budi daya atau di luar itu. Seperti yang dilakukan PKSPL IPB yg membina nelayan di Pulau Seribu," katanya. Ia mengemukakan, saat memulai pembinaan terhadap nelayan Pulau Seribu, pihaknya diuntungkan karena mendapatkan momentum naiknya harga BBM sehingga nelayan saat itu enggan ke laut. Karena itu, katanya, masyarakat di Pulau Seribu diajak untuk mengubah dari pola tangkap ke budi daya, merawat terumbu karang dan transpalansi tanaman mangrove. "Yang paling penting adalah kelembagaan masyarakat, sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi. Syukurlah sekarang wilayah di Pulau Seribu itu menjadi wisata bahari," katanya. Ia menceritakan, pihaknya mulai menggarap wilayah itu pada 2007, tapi penelitian dilakukan mulai 2004 dan konsepnya sejak 2001. Sekarang lokasi itu menjadi tempat studi lapang dan 400 mahasiswa setiap tahun melakukan praktik. "Memang tidak mudah karena mengubah kebiasaan. Misalnya nelayan itu harus memberi makan ikan tiap hari, padahal sebelumnya tinggal tangkap saja di laut. Makanya perlu pendampingan terus menerus atau program berkepanjangan. Bukan program proyek seperti yang biasa dilakukan oleh pemerintah," katanya. Ahli kimia dari Universitas Jember Prof Dr Bambang Kuswandi, MSc mengemukakan bahwa mudahnya mendapatkan bahan-bahan untuk meracik bom, menjadi salah pemantik suburnya praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan tersebut. "Artinya semua orang bisa membeli barang untuk membuat bom itu. Belerang, potasium dan arang aktif kan memang dijual bebas," katanya. Mengenai dampak bagi kesehatan manusia yang memakan ikan tangkapan dengan cara dibom, Bambang mengaku belum pernah melakukan penelitian mengenai hal itu. Ia lebih melihat dampak kerusakan ekosistem laut. Kalau residu dari bom itu membahayakan, kemungkinan terbesar ada pada jenis kerang-kerangan yang hidup di dasar laut. "Residu dari sisa bahan peledak itu kan mengendap. Tapi saya belum pernah mengadakan penelitian soal itu. Jadi hanya bicara mengenai kemungkinan," kata lulusan perguruan tinggi di Inggris ini. Sementara Kepala Dinas Kesehatan Pamekasan dr Ismail Bey dengan tegas meminta masyarakat agar tidak mengonsumsi ikan yang ditangkap menggunakan bahan peledak. "Ini sangat penting, mengingat salah satu campuran bahan peledak yang digunakan ada potasium sianidanya, racun yang berbahaya bagi tubuh," katanya. Menurut dia, potasium sianida ini adalah bahan beracun yang bisa menyebabkan kematian, apabila masuk ke dalam tubuh dalam dosis berlebihan. Potasium sianida dalam jumlah banyak bisa menyebabkan kematian dengan waktu reaksi antara tiga sampai empat jam. Racun ini menyerang pembuluh darah, jantung, menutup aliran darah. Dosis mematikan potasium sianida dalam tubuh manusia menurut Ismail Bey, antara 200 hingga 300 miligram, sehingga apabila kandungan mencapai batas maksimal, maka bisa menyebabkan kematian. "Akan tetapi, ini juga bergantung pada tingkat keasaman lambung. Karena harus berinteraksi dengan asam lambung tubuh manusia untuk menjadi hetrogen sianida," katanya menjelaskan. Ia mengakui bahwa pihaknya memang belum pernah melakukan penelitian seberapa banyak kandungan potasium sianida pada ikan yang ditangkap dengan cara dibom itu. Kendati kandungan potasium sianida di dalam ikan tersebut kecil, namun apabila dikonsumsi secara terus menerus, pada akhirnya juga bisa berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia, bahkan bisa menyebabkan keracunan. Demikian juga dengan kondisi air laut. Jika dilakukan pengeboman secara terus menerus, maka volume potasium sianida di laut setiap hari akan terus bertambah, dan hal itu akan membuat semua jenis ikan yang ada di laut juga akan teracuni. Selain potasium, kandungan belerang pada bahan peledak itu juga dinilai berbahaya. Belerang bisa menyebabkan iritasi pada kulit dan mengganggu sistem pernapasan, dan pada waktu singkat bisa mempengaruhi fungsi paru-paru. "Jadi dampak negatifnya sebenarnya sangat besar. Makanya saya kira perlu ada kampanye yang lebih intens lagi akan bahaya mengonsumsi ikan dari pola penangkapan bom ini," kata Ismail. Apa yang diingatkan Ismail itu barangkali ada benarnya. Sejumlah nelayan menuturkan, setiap tahun ada masa-masa di laut itu muncul musim kerang yang banyak. Namun, seringkali setelah masyarakat memakan kerang-kerang itu mengalami murus. "Mungkin saja kerang-kerang itu banyak menyimpan residu bom-bom ikan itu," kata Bambang Kuswandi menimpali. Secara kelembagaan, kata Ismail Bey, pihaknya telah menyampaikan imbauan kepada masyarakat melalui paramedis yang bertugas di kecamatan dan desa akan bahaya mengonsumsi ikan yang ditangkap dengan cara mengebom. "Tapi yang lebih penting lagi menurut hemat saya adalah pencegahannya, yaitu tidak membiarkan para nelayan menangkap ikan dengan cara yang salah itu," katanya. (*)
Pesta Bom di Tengah Laut (3)
Senin, 13 Februari 2012 10:26 WIB