Deru mesin perahu membuyarkan kawanan burung yang bertengger di bagan. Yang sebagian terbang rendah mengincar ikan, sore itu ikut pergi. Penjaga laut itu hanya menyisakan kotoran hampir merata di ruas-ruas bambu bagan. Burung-burung berwarna putih itu terus menjauh dan entah di mana mereka menghabiskan malam. Fulan, Fulun dan Fulin,--bukan nama sebenarnya--, sudah selesai menambatkan tali perahu ke tiang bagan. Dengan perahu mesin, tiga nelayan itu kemudian menyeret bagan apung menuju arah yang diyakininya tempat ikan berkumpul. Bagan adalah "rumah" bagi nelayan yang dibuat dari rangkaian bambu diikat satu sama lain sehingga membentuk bangunan persegi empat. Bangunan berukuran sekitar 15 x 15 meter itu seperti kurung raksasa yang jaringnya diletakkan bergantung di bagian dalam. Awalnya, nelayan menggunakan bagan statis yang tiang-tiangnya ditancapkan ke dasar laut. Nelayan biasa menyebut bagan "taccek" (tancap). Dalam beberapa tahun ini, mereka mulai beralih ke bagan "kambang" (apung) yang lebih mudah digerakkan untuk mencari kumpulan-kumpulan ikan. Di bagian samping bagan diikatkan sejumlah drum plastik berisi udara. Drum yang biasa digunakan untuk menyimpan ikan segar itu berfungsi mengapungkan bagan. Para nelayan beraktivitas di bagian atas bagan, termasuk menaikturunkan jaring menggunakan tali. Pukul 18.00 atau perjalanan dari pantai sekitar dua jam, penentuan lokasi tambatan bagan sudah diputuskan. Setelah melempar sauh agar bagan tidak terseret ombak dan arus, Fulan dan kawan-kawan menaikkan semua peralatan dari perahu ke atas bagan. Tidak sulit menaikkan barang-barang itu, termasuk mesin disel, karena ombak sedang landai. Fulan mengecek kembali apakah peralatan yang dinaikkan sudah lengkap, sementara Fulin menghidupkan mesin disel. Mesin berkekuatan sedang itu hidup setelah tali pemantik disel ditarik tiga kali. Lampu-lampu 400 hingga 500 watt mulai menyala menggantikan sinar mentari yang mulai masuk ke cakrawala sekitar 30 menit lalu. Bagan-bagan lain di sekitar itu yang jumlahnya ratusan juga telah menyalakan lampu. Semua itu menjadi pertanda bahwa sebentar lagi "pesta" akan dimulai. Ya, "pesta" bom ikan. Sudah satu jam lampu dinyalakan dan digantung dengan jarak satu meter dari permukaan air laut. Ikan-ikan, seperti sotong, teri, ikan terbang dan sesekali kepiting muncul yang berputar-putar di bawah lampu menjadi pemandangan indah. "Etangkkassah lah," kata Fulan pada Fulun dan Fulin. Pertanyaan dalam bahasa Madura itu artinya, "Apakah jaringnya mau diangkat?" "Iyah lah, masseh banynyak kenduyyah," kata Fulun. Artinya, "Iya, diangkat. Sepertinya banyak ikan teri". Fulun lalu bergerak ke pinggir bagan sebelah barat dan Fulin ke arah sebaliknya. Keduanya kemudian siaga memegang ujung penggulung jaring di bibir bagan. Fulan yang tetap duduk di tempatnya, merogoh benda seukuran baterei besar yang sudah dibungkus plastik rapat. Dari salah satu sisi benda itu menyembul dua kabel berukuran sangat kecil. Bom ikan yang dibuat menggunakan bekas baterei atau paralon itu diisi campuran belerang, potasium dan arang aktif atau carcoal. Nelayan biasa menyebut carcoal dengan "brown". Seuntai kabel ganda kemudian diikatkan ke kedua kabel di bom tersebut. Sambungan kabel itu kemudian dibungkus erat dengan plastik. Bom itu lalu diturunkan ke dalam air lewat penyanggah yang juga digunakan untuk menggantung lampu. Sekitar lima meter bom itu ditenggelamkan ke air dengan besi pemberat yang sudah berkarat. Fulan memberi aba-aba kepada Fulun dan Fulin yang sudah memegang ujung bambu penggulung tali jaring. "Ayo siap", katanya setengah berteriak. Dengan menyentuhkan ujung kabel ke plus minus baterei, bom itu meledak. Suara "tar" muncul dari dalam air. Air berubah warna dari kehijauan menjadi putih bergelembung. Ikan-ikan yang tadi berputar-putar di bawah sinar lampu terlihat mengapung. Fulun dan Fulin seperti berlomba menggulung tali jaring. Gerakan mereka menimbulkan suara "kriyet", "kriyet", akibat bergeseknya sambungan bambu. Semakin tinggi jaring itu ditarik, semakin terlihat tumpukan ikan yang menjadi korban bom. Ikan-ikan yang langsung mati ada yang kepalanya hancur. Yang selamat dari ledakan, menggelapar-gelepar. "Betul, banyak ikan teri," kata Fulin dengan suara terengah. "Aduuuhhh, nafasku lari ke telinga," kata Fulun menimpali sambil tersenyum. Fulun sedang bermetafor lewat ungkapannya. Karena menggulung tali jaring dengan cepat, nafasnya menjadi tidak teratur. Seolah-olah lubang hidungnya tak mampu menampung keluar masuknya udara. Disebutlah nafas itu "lari" ke telinga. Menggulung tali jaring adalah adegan yang tak kalah seru dibandingkan dengan aksi "Ninja Warior" di Jepang. Maklum, jaring itu sangat berat karena digantungi sejumlah batu. Selain itu ruas-ruas bambu pengikatnya dilubangi agar terisi air dan mudah ditenggelamkan. Bukan sekedar beratnya yang membuat nafas Fulun "lari ke telinga", tapi adu cepatnya. Kecepatan menggulung jaring setelah bom diledakkan itu juga sangat menentukan hasil tangkapan ikan. Kalau menggulungnya lamban, ikan-ikan akan segera terbawa arus keluar dari "kurungan" jaring. Tali jaring itu diikatkan pada sebatang bambu. Di bagian tengah bambu itu dilubangi untuk menaruh tempat pegangan tangan. Karena bambu penggulung hanya berdiameter sekitar 12 sentimeter, maka perputarannya harus cepat agar jaring segera naik ke atas. Kalau saja diameter penggulung itu diperlebar, misalnya mengabungkan empat atau lebih bambu, maka kecepatan menaikkan jaring tentu lebih tinggi yang tentunya menghemat tenaga. Tapi, sudah lah. Itu tampaknya bukan masalah bagi para nelayan. Apalagi kelelahan mereka kali ini terbayar karena ikan tangkapannya umumnya teri, yang harganya, mereka katakan, lumayan tinggi. Kalau di atas Rp500 ribu, malam ini sudah di depan mata. Tangkapan pertama itu mendapatkan lima keranjang teri. Ketiga nelayan itu kemudian sibuk memilah-milah hasil tangkapan. Ikan-ikan jenis lain yang berukuran besar, seperti sotong dan ekor kuning dipisahkan dari teri dan dimasukkan ke keranjang lain. Sementara serpihan paralon bekas bom juga dipisahkan untuk dilempar ke laut. Sebagai pengawet alami, ikan-ikan di keranjang itu ditaburi garam yang diaduk merata. Pemilahan ikan sudah selesai. Jaring diturunkan kembali. Lampu yang saat menaikkan jaring ikut diangkat, kini sudah diturunkan kembali. Aktivitas berikutnya adalah makan malam. Fulan dan kawan-kawan membuka rantang bekal masing-masing. Bekal yang jauh dari menu istimewa. Fulan membawa nasi campuran beras dengan jagung, Fulun dan Fulin rupanya sama-sama berbekal nasi beras putih. Lauknya hampir sama, ikan laut hasil tangkapan malam sebelumnya yang digoreng kering. Tidak ada sayur atau lauk lain. Meski demikian, betul sekali bahwa kenikmatan tidak pandang bulu yang terlihat dari lahapnya mereka makan. Tak berapa lama makan malam usai. Rantang yang masih berisi nasi untuk sekali makan ditutup kembali. Setelah itu mereka mencuci tangan dengan air laut dan menyerbet tangan dengan kain bekas pakaian yang berbau agak tengik. Lalu "menu" pelengkap sudah mengepul dari mulut mereka. Rupanya ketiganya memang ahli isap. "Kalau tidak menggunakan bom, ikan sekarang sulit ditangkap. Penggulung tali jaring digerakkan sedikit saja, ikan-ikan yang sudah berkumpul di bawah lampu langsung lari keluar bagan," kata Fulan mulai bercerita. Menangkap ikan dengan cara itu sudah bertahun-tahun dilakukan oleh nelayan di perairan Talang, Desa Montok, Kecamatan Larangan, dan perairan Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura. Praktik seperti itu hampir tidak ada kontrol yang kuat, kecuali patroli kepolisian, namun tidak dilakukan setiap saat. Tidak ada LSM atau pemerhati lingkungan yang peduli akan kondisi perairan di Selat Madura itu. Apalagi kawasan itu bukan wilayah yang rentan terhadap isu lingkungan, seperti yang biasa terjadi di perairan yang memiliki potensi wisata bahari. Saat nelayan masih belum menggunakan mesin disel, ledakan bom dari bagan satu ke bagan lainnya terdengar meskipun hanya seperti hentakan pada tiang bagan di sekitarnya. Kini suara pesta dari bagan ke bagan itu sudah kalah dengan deru mesin disel. Mesin disel digunakan nelayan sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan koversi minyak tanah ke elpiji. Harga minyak tanah menjadi mahal. Nelayan yang awalnya menggunakan lampu petromaks beralih ke listrik. Fulan mengemukakan bahwa semua nelayan bagan di perairan tersebut menggunakan bom. Alasannya sama, jika tidak menggunakan, hasil tangkapannya tidak banyak. Selain merusak ekosistem laut, praktik berbahaya itu sebetulnya sudah memakan korban. Informasinya, beberapa puluh tahun lalu, ada nelayan yang mati akibat bom meledak ketika belum diturunkan ke laut. Polisi juga beberapa kali menangkap mereka, tapi nelayan-nelayan itu tidak pernah jera. Fulan, Fulun dan Fulin enggan bercerita bagaimana mereka bisa aman menggunakan bom di laut. Namun sejumlah informasi menyebutkan bahwa polisi tidak maksimal untuk memberantas praktik itu. Nelayan mengakui bahwa operasi yang dilakukan oleh polisi memang tidak sering. Kalau pun ada, biasanya rencana itu sudah menyebar terlebih dahulu ke nelayan. Berbekal telepon seluler, informasi itu disebar dari satu ke lainnya. Ketika dilakukan operasi di pinggir pantai sebelum nelayan melaut, polisi tidak akan menemukan barang bukti. Kalau pun informasi itu baru diketahui ketika nelayan sudah di tengah laut, telepon nirkabel itu juga berjasa besar bagi mereka. Keluarganya di darat ikut andil memberi kabar. Info itu kemudian menyebar dari bagan ke bagan. Kebetulan sinyal seluler di perairan tersebut cukup bagus. Semua bom dan alat kelengkapannya segera dibuang ke laut. Tidak jelas bagaimana rencana operasi itu bisa bocor. "Saya tidak tahu sumbernya dari mana, tapi kabar itu sudah menyebar sehingga kami bisa selamat," kata seorang nelayan. Namun, suatu ketika nyali nelayan sempat ciut ketika polisi yang melakukan operasi menggunakan perahu yang berangkat tidak dari pantai Talang Siring atau Candi. Kedatangan polisi itu sulit diketahui karena setiap bagan riuh dengan suara mesin disel. "Tapi sekarang sudah 'aman' karena jarang ada lagi operasi yang seperti itu," kata seorang nelayan.(*)
Pesta Bom di Tengah Laut (1)
Senin, 13 Februari 2012 10:22 WIB