Pesta Bom di Tengah Laut (2)
Senin, 13 Februari 2012 10:24 WIB
Menghentikan praktik pengeboman ikan di laut tidak mudah dilakukan, apalagi hal itu sudah dilakukan bertahun-tahun. Masyarakat nelayan berkeyakinan bahwa tanpa piranti bom, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa saat melaut.
Selain sudah membudaya, aparat penegak hukum juga tidak memiliki peralatan memadai untuk mencegah nelayan melakukan tindakan terhadap penangkap ikan secara ilegal.
Kapolres Pamekasan AKBP Anjar Gunadi mengatakan, polisi belum bisa melakukan pemantauan langsung ke tengah laut, melainkan hanya bisa memantau di pantai saat nelayan hendak berangkat melaut.
"Kami tidak memiliki alat transportasi semisal perahu motor untuk ke tenaga laut," ucapnya.
Karena itu pihaknya tengah mengusulkan ke Polda Jatim dan Mabes Polri untuk pengadaan alat transportasi laut yang bisa digunakan petugas melakukan operasi laut.
Minimal untuk satu wilayah pesisir itu ada satu alat transportasi laut seperti kapal motor cepat sehingga pemantauan di tengah laut mudah dilakukan.
Sebab dibanding daerah lain, seperti Sumenep dan Sampang, praktik pengeboman ikan di Pamekasan tergolong sangat marak, dan umumnya dilakukan oleh nelayan bagan.
"Kami berharap pemerintah daerah juga bisa memperhatikan hal ini, paling tidak bisa menyisihkan sebagian anggaran untuk pengadaan transportasi laut, sehingga kami bisa melakukan patroli bersama dengan instansi terkait," ujarnya, berharap.
Kendati demikian, ia berjanji akan tetap berupaya meningkatkan pengawasan dengan memerintahkan polsek terdekat, yakni Larangan dan Galis untuk memantau praktik pengeboman itu.
Ia menjelaskan, sepanjang 2011 pihaknya telah menangkap tiga pelaku pengeboman ikan dalam sebuah operasi gabungan di pesisir pantai Talang Siring, dan kini ketiganya telah diproses hukum.
Selain menangkap tiga orang tersangka, polisi juga menyita sejumlah barang bukti di antaranya 15 bom ikan.
Polisi, menurut dia, juga melakukan tindakan preventif lewat penyuluhan kepada nelayan. Namun diakui bahwa hal itu belum diindahkan oleh nelayan.
Mengenai kemungkinan adanya anggota yang melindungi nelayan, kapolres menegaskan akan bertindak tegas sebagaimana tindakan itu juga diterapkan kepada nelayan.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pamekasan pernah membentuk Kelompok Pengawas Masyarakat (KPM) untuk mengatasi masalah pengeboman ini. Namun kelompok yang dibentuk pada 2009 itu tampaknya tidak membawa dampak apa-apa. Pengeboman jalan terus.
Kepala DKP Pamekasan Nurul Widiastutik mengakui bahwa sosialisasi kepada para nelayan secara langsung yang tergabung dalam kelompok usaha bersama (kube) tentang larangan praktik pengeboman ikan sudah dilakukan, namun tidak diindahkan.
"Makanya dalam waktu dekat ini kami akan undang secara khusus para tokoh masyarakat untuk ikut berperan aktif mengatasi permasalahan ini," ucapnya.
Nurul menjelaskan, praktik pengeboman ikan oleh nelayan bagan sebenarnya bermula dari persaingan hasil tangkap antarnelayan.
Dari persaingan itu, lalu ada sebagian nelayan yang mencoba-coba menggunakan bahan peledak yang oleh para nelayan di sana dikenal dengan sebutan dinamit.
Karena hasilnya terbukti jauh lebih banyak, lalu banyak nelayan lain yang ikut menggunakan bahan peledak, hingga akhirnya penggunaan dinamit dianggap biasa.
Setiap tahun, nelayan menangkap ikan yang menggunakan bahan peledak cenderung meningkat. Kendatipun demikian, Nurul tidak bisa menyebutkan angka pasti seberapa parah kerusakan ekosistem akibat pengeboman tersebut.
"Kami memang belum memiliki data pasti seberapa parah kerusakan ekosistem laut akibat pengeboman ini. Namun yang jelas, selama praktik pengeboman masih terjadi maka kerusakan akan terus bertambah parah," tukasnya.
Melihat kenyataan bahwa pengeboman ikan dilakukan selama bertahun-tahun, maka perairan di bagian timur Kabupaten Pamekasan tersebut bisa dipastikan sudah tidak ada lagi terumbu karang. Para nelayan juga mengemukakan bahwa ikan yang mereka tangkap adalah "pendatang" dari perairan yang lebih dalam. Di perairan itu sendiri sudah tidak ada rumah untuk ikan hidup nyaman dan berkembang biak.
Hal itu, kata sejumlah nelayan, dibuktikan dengan kecenderungan banyak tidaknya ikan tergantung pada pergerakan angin. Menurut mereka, ikan-ikan itu cenderung mengejar arah angin. Ikan akan melimpah jika angin barat atau dari arah pantai.
Mengenai upaya untuk memperbaiki kondisi perairan itu, tiga tahun lalu DKP Pamekasan pernah memberikan bantuan dengan membuat karang buatan. Akan tetapi, saat ini belum ada perkembangan yang lebih baik. Bahkan karang itu kini kemungkinan besar juga telah rusak terkena bom.
Kepala DKP Nurul Widiastutik juga meminta polisi bertindak tegas dan menangkap pembuat bahan peledak.
Ia menilai, penegakan hukum oleh petugas selama ini terkesan kurang tegas, sehingga masih banyak nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.
"Hemat saya yang perlu menjadi sasaran utama dalam kasus penangkapan ikan adalah pembuat bahan peledaknya, bukan nelayannya. Kalau pembuatnya ditangkap, saya yakin aksi pengeboman akan berkurang," ucapnya.
Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan (FMKP) Jatim Oki Lukito mengingatkan pemerintah dan penegak hukum agar tidak hanya menyalahkan nelayan dalam kasus pengeboman ikan.
"Nelayan itu melakukan pengeboman ikan karena terpaksa, sementara perhatian pemerintah terhadap mereka sangat kurang," katanya.
Menurut dia, pemerintah saat ini memiliki banyak program di bidang kelautan, seperti penanaman mangrove dan lainnya, namun tidak memiliki program yang spesifik untuk mencegah nelayan menggunakan bom ikan.
Ia mengemukakan bahwa saat ini nelayan mengalami kesulitan menangkap ikan, antara lain karena sudah kelebihan tangkapan, sehingga mereka mengambil jalan pintas, meskipun dampaknya merusak lingkungan dan masa depan nelayan itu sendiri.
Semestinya hal seperti ini, kata dia, dicarikan solusinya oleh pemerintah, misalnya menggunakan keramba apung, pengembangan tambak dan pembudidayaan rumput laut.
Oki melihat bahwa ada perbedaan perlakuan ketika terjadi bencana di laut dengan di darat. Setiap ada bencana di darat, seperti puting beliung dan lainnya, bantuan langsung diberikan, sementara untuk bencana di laut hampir tidak ada perhatian.
"Misalnya saat musim angin kencang sehingga nelayan tidak bisa melaut atau menghadapi paceklik, tidak ada bantuan dari pemerintah. Padahal itu juga bagian dari bencana, bahkan bencana kemiskinan," ujarnya.
Ia mengimbau pemerintah agar segera menyelesaikan masalah penangkapan ikan dengan bom ini, karena dampaknya pada kerusakan terumbu karang. Saat ini kerusakan terumbu karang di Jatim sudah mencapai 60 persen, yang tersebar antara lain di perairan kepulauan Sumenep, Bawean dan Selat Madura.
Kalau tidak segera dilakukan perbaikan dan pemberdayaan nelayan selain menangkap ikan, kata Oki, maka akan menjadi persoalan jangka panjang karena ikan akan semakin sulit didapat oleh nelayan.
Sementara Ketua Komisi B DPRD Pamekasan Hosnan Achmadi mengemukakan, praktik pengeboman ikan sebagaimana biasa dilakukan para nelayan di pesisir pantai Talang Siring dan Pantai Candi harus menjadi perhatian semua pihak.
Selain perlu ada upaya preventif dengan cara meningkatkan sosialisasi akan dampak negatif pola penangkapan ikan dengan bahan peledak tersebut, juga perlu adanya upaya lain yang sistematis.
Salah satunya, menurut dia, dengan pola penangkapan yang ramah lingkungan, seperti penggunaan rumpon seperti yang telah dilakukan oleh sebagian nelayan di Pulan Mandangin, Sampang.
"Sekarang nelayan di sana kan sudah tidak ada lagi yang menggunakan bom ikan seperti di Pamekasan ini," tuturnya.
Hosnan menyarankan, agar dinas terkait hendaknya memiliki program budi daya ikan air tawar, sehingga kebutuhan konsumsi ikan tidak hanya bergantung pada hasil tangkap nelayan.
"Saya kira program peningkatan produksi ikan air tawar ini juga akan sangat sesuai dengan rencana pemerintah dalam berupaya meningkatkan konsumsi ikan," katanya.(*)