Melepas Ketergantungan Impor Gandum
Minggu, 20 November 2011 12:15 WIB
Melepas ketergantungan impor gandum, mungkinkah? Namun, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, coba mari kita kaji bersama fakta yang ada.
Sebagian besar penduduk Indonesia saat ini, selain memgonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok, juga mengonsumsi roti, dan mie yang berbahan baku dari tepung gandum (terigu).
Pergeseran pola makan dari bahan pokok beras ke tepung terigu, berdampak meningkatnya tingkat konsumsi gandum di Indoneia.
Menurut data Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (APTINDO), tingkat konsumsi gandum penduduk Indonesia per kapita kini telah mencapai 17 kilogram per tahun.
Seiring peningkatan tingkat konsumsi makanan berbahan pokok terigu, meningkat pula tingkat ketergantungan impor gandum di Indonesia.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Kementerian Perdagangan, impor biji gandum pada tahun 2011 telah mencapai 4,8 juta ton atau senilai 1,4 miliar dolar Amerika, sedangkan untuk tepung terigu mencapai 775 ribu ton.
Untuk periode Januari – Juni 2011, impor biji gandum sudah mencapai 2,8 juta ton dengan nilai 1 miliar dolar AS, dan impor tepung terigu mencapai 316,9 ribu ton.
APTINDO memperkirakan permintaan gandum akan terus melonjak tajam hingga 10 juta ton per tahun dalam satu dekade ke depan, sehingga bila Indonesia masih tergantung dari impor gandum untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka dikhawatirkan akan menyedot devisa negara yang cukup besar.
Padahal sejak tahun 2001, budidaya tanaman gandum telah dikembangkan di Indonesia, yakni di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Dari sisi teknologi budidaya, untuk mendukung pengembangan tanaman gandum sudah dimiliki, yakni benih varietas unggul yang dihasilkan oleh Litbang Pertanian, yakni varietas Dewata, Selayar, dan Nias, dengan potensi hasil antara 2-3 ton per hektare, sedangkan benih untuk dataran sedang dan rendah kinimasih dalam tahap uji multilokasi.
Namun perkembangannya sangat lamban. Hal ini disebabkan lokasi pengembangan gandum terdapat di dataran tinggi yang harus bersaing dengan komoditas sayuran. Selain itu infrastruktur yang ada belum memadai sehingga pada tahun 2010 areal pertanaman gandum di indonesia baru mencapai 200 hektare.
Pada tahun 2011, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengalokasikan dana pengembangan gandum melalui Tugas Pembantuan seluas 60 hektare di Kabupaten Rejang Lebong, Bandung, Semarang, Karanganyar, Malang, dan Probolinggo, masing-masing seluas 10 hektare.
Sedangkan dukungan daerah melalui APBD untuk Provinsi Jawa Tengah seluas 10 hektare, masing-masing di Kabupaten Banjarnegara, Temanggung, Sulawesi Selatan, seluas 50 hektare di Kabupaten Gowa, Luwu, Luwu Timur, Luwu Utara, dan Enrekang.
Selain itu, dengan dukungan Pemerintah Jepang melalui pemanfaatan "Counterpart Fund - Second Kennedy Round (CF-SKR)" dalam pengembangan gandum 2011 telah dialokasikan kegiatan pengembangan gandum di tiga provinsi, masing-masing Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, serta empat kabupaten, yakni Pasuruan, Toraja Utara, Timor Tengah Selatan, dan Manggarai, seluas 100 hektare.
Menyimak fakta lapangan yang ada, pertanyaan di awal tulisan ini sebenarnya telah terjawab. Secara teori tanaman gandum bisa dikembangkan di Indonesia sehingga bisa untuk melepas atau setidaknya bisa untuk mengurangi secara bertahap ketergantungan impor gandum selama ini.
Teknologi budidaya tanaman gandum telah dikuasai. Hamparan lahan yang cocok untuk budidaya tanaman gandum juga tersedia luas di tanah air.
Kini yang ditunggu adalah keseriusan pemerintah dalam mendorong petani untuk bersedia membudidayakan tanaman gandum secara massal. Mau ?! (*)
(mus1602@yahoo.co.id)