Oleh Sri Rahayu Sulistyani Musyawir (Pasuruan/Antara Jatim) - Semua orang pasti memiliki kenangan yang sulit dilupakan, baik kenangan manis maupun buruk. Tak terkecuali kenangan yang saya alami bersama suami tercinta, Musyawir, yang terakhir bertugas sebagai wartawan di Antara Biro Jatim. Kehidupan rumah tangga kami tidak lepas dari cobaan, setelah bekerja selama kurang lebih 17 tahun di Harian Sore "Surabaya Post", suamiku kehilangan pekerjaan lagi. Harian Sore "Surabaya Post" ditutup pemiliknya, sehingga suamiku menganggur. Suamiku terpaksa kesana kemari lagi mencari pekerjaan, meskipun ada tawaran bekerja di sebuah media di Jatim, namun ia tolak. Kondisi itu tidak jauh berbeda semasa kami menikah pada 17 Juni 1981, untuk memperoleh penghasilan berbagai usaha dilakukan, di antaranya menjadi sales buku. Pepatah Jawa memang benar "Witing Tresno Jalaran Soko Kulino" yang berarti "Cinta Tumbuh Karena Seringnya Seseorang Selalu Bersama". Awalnya, saya beranggapan Musyawir adalah sosok yang acuh dan angkuh. Setelah aku jalani bersama, ternyata dugaanku salah, Musyawir adalah sosok pemuda yang penuh kasih sayang, lembut hati, dan penyabar. Kenangan yang sulit terlupakan semasa kami sudah menikah yaitu pada suatu hari kami berdua ingin mengetahui letak kantor Depnaker Pasuruan, hanya sekedar ingin mengetahui letak kantornya saja. Sesampainya di sana, di dinding luar kantor tersebut ada papan pengumuman yang membuat kami berdua tertarik untuk membacanya. Setelah kami mendekat dan membacanya tertulis di papan pengumuman tersebut bahwa ada pendaftaran penerimaan calon guru SDLB. Suamiku begitu senang dan antusias sekali, dia segera menyuruhku mencatat persyaratannya karena itu adalah disiplin ilmuku. Ya, aku memiliki ijazah D3 PLB lulusan tahun 1979 di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Keantusiasan suamiku ditunjukkan dengan membantuku untuk mempersiapkan dan melengkapi segala sesuatu persyaratan untuk menjadi calon guru SDLB, bahkan surat lamaran pun dituliskannya. Suamiku sangat bersemangat sekali bahwa keinginan istrinya bekerja menjadi seorang guru akan terwujud. Alhamdulillah, berkat doa-doa kami dan atas izin Allah SWT, aku pun diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan ditempatkan di SDN Purworejo I. "Momongan" Di sisi lain, kami berdua yang diberi rezeki lebih itu masih belum diberi momongan juga. Tetapi sejak kelahiran keponakanku pada tahun 2003 yang bernama Zakiyah Nugraheni, maka rumah kami seakan lengkap menjadi sebuah keluarga, sebab Zakiyah ini sering dititipkan di rumahku sampai sekarang, jadi kami berdua menganggapnya seperti anak sendiri. Bila ada acara keluarga para jurnalis, Zakiyah selalu kami ajak. Suamiku sampai pernah berucap pada Zakiyah yang kini duduk di kelas IV Sekolah Dasar, apa yang menjadi milik Pakde itu juga milik Zakiyah. Untuk berbagi rezeki, suamiku mendirikan Yayasan Permata Siwi yang bergerak di bidang pendidikan yang menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada 2008 yang akhirnya mendirikan TKLB dan SMPLB. TKLB nya sudah mendapatkan Izin Operasional dari Dinas Pendidikan setempat dan Dinas Pendidikan Provinsi Jatim dengan empat orang pengajar, namun SMPLB nya masih dalam proses peninjauan yang tidak pernah tuntas dan selesai dengan lima orang pengajar, tetapi operasional pendidikannya tetap terlaksana. Selain sebagai ketua yayasan, suamiku juga sebagai penyandang dana tunggal untuk kelangsungan operasional yayasan tersebut. Karena rezeki kami berdua sudah melebihi cukup, pada tahun 2008 itu juga kami sepakat menunaikan Rukun Islam yang kelima dengan daftar haji dan mendapat masa tunggu empat tahun hingga berangkat tahun 2012. Sepulang dari ibadah haji suami saya mengalami sesak napas. Hasil pemeriksaan laboratorium mengejutkan kami berdua, ternyata suamiku mengidap penyakit tumor stadium tiga dan tumor itu ganas alias kanker. Tumor itu bersarang di sekitar leher sebelah kiri yang nampak seperti benjolan sebesar biji durian. Dokter THT sudah angkat tangan sebab penyakit suamiku tidak dapat dilakukan tindakan operasi melainkan hanya dapat dikemo. Sejak divonis menderita kanker stadium tiga, suamiku sepertinya putus asa. Namun, aktivitasnya sebagai seorang jurnalistik tetap berjalan. Sambil menunggu kedatangan dokter ahli yang bertugas di Jakarta, suamiku berobat ke alternatif. Hasil pengobatan ke alternatif belum nampak, namun benjolan yang semula sebesar biji durian bertambah besar seperti orang berpenyakit gondok dan di sekitar leher pun membengkak. Aku bawa ke dokter untuk diperiksa dan dokter menyarankan harus dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soetomo Surabaya. Semalam saja di RSUD dr. Soetomo sudah dirujuk ke Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) dr Ramelan Surabaya, karena untuk mendekati peralatan medis yang dibutuhkan suamiku selama menjalani pengobatan. Kehilangan Hari demi hari aku lalui bersama suamiku di RSAL, semangat suamiku begitu tinggi untuk berharap bisa sembuh. Melihat kondisi suamiku yang seperti itu sebenarnya aku tidak tega, namun di depan suamiku aku sembunyikan perasaan yang sebenarnya. Ingin rasanya berbagi yang dirasakan suamiku saat itu biar bisa mengurangi rasa sakitnya. Pada hari ke-lima atau tepatnya hari Senin, 15 April 2013 selama dirawat di RSAL suamiku menerima transfusi darah sebanyak dua ampul. Suamiku yang semula penuh semangat berharap bisa sembuh, ternyata Allah SWT berkehendak lain. Di hari yang ke-sembilan pada Jumat, 19 April 2013 tepatnya pukul 08.30 WIB, suamiku tutup usia. Saya benar-benar kehilangan, tapi tak kurang sejumlah kerabatnya yang juga wartawan merasa kehilangan, seperti Zed Abidien yang saat ini redaktur di Tempo. Ia menyebutkan selama bekerja wartawan di "Surabaya Post" dan LKBN Antara Biro Jatim, suamiku Musyawir pernah menjadi pemenang lomba karya tulis bidang Perkebunan Tebu (1990), Pariwisata (1996), Pengairan (1997), dan Pertanian (2001). Karir jurnalistik semakin bersinar saat bergabung dengan LKBN Antara Biro Jatim yang awalnya hanya sebagai fotografer dan akhirnya menulis berita juga atas tawaran dari Kabiro LKBN Antara Jatim saat itu, Hj Farochah. Saat berkarir di Antara itulah, suamiku juga pernah menjadi finalis pada kategori Foto Berita pada ajang "Anugerah Adiwarta Sampoerna" di 2008 melalui hasil fotonya yang berjudul "Tragedi Zakat". (foto terlampir). Bahkan, 3-4 bulan menjelang akhir hayatnya pun masih menorehkan prestasi dengan meraih Anugerah Adiwarta 2012, karena dinyatakan menjadi pemenang kategori cetak online liputan kemanusiaan bidang hukum. "Saya bersyukur, karena saya sudah tiga kali masuk finalis Anugerah Adiwarta dan tidak menyangka bisa menang," ucap almarhum saat menjelaskan karyanya yang berjudul "Nasib Nasab Nikah Siri" kepada sesama rekannya di media online Antarajatim.com. Karya itu mengupas nasib anak-anak hasil pernikahan siri dari sudut pandang hukum. Tidak berhenti di situ, 13 Desember 2012 saat HUT ke-75 ANTARA, suamiku pun dipanggil ke ANTARA Pusat di Jakarta untuk menerima anugerah karya tulis terbaik untuk karya yang sama (Nasib Nasab Nikah Siri) sebagai pemenang Harapan III HUT ke-75 ANTARA. Agaknya, hal itu pula yang mendorong seorang wartawan lainnya yang saat ini menjadi dosen Suyono Haes juga menyatakan tulisan suamiku (Muyawir) banyak yang dijadikan bahan referensi untuk pembelajaran di kelas, yakni untuk mata kuliah penulisan berita dan feature. "Saya memotivasi mahasiswa, untuk lebih giat belajar menulis dari karya-karya Musyawir," ujarnya mengungkap perasaan kehilangannya. Tidak hanya itu, Wali Kota Pasuruan H Hasani saat melayat ke rumahku juga mencatat, "Selama ini beliau (almarhum Musyawir) selalu menjadi penengah, mediator. Ketika ada informasi yang kurang seimbang antara pemerintah dan masyarakat," ungkapnya kepada rekan-rekan pers yang datang ke rumah duka. Semoga, karya-karya suamiku, baik karya tulis maupun foto, serta sekolah peninggalannya akan menjadi inspirasi bagi banyak orang dan tentunya menjadi jejak amal baginya di mata Gusti Allah SWT. Amin... (*)
Catatan Seorang Istri Jurnalis
Selasa, 21 Mei 2013 13:34 WIB