Bondowoso (ANTARA) - Pimpinan Pusat Muhammadiyah, lewat Sekretaris Umum Abd Mu'ti, menyampaikan ucapan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo dan Pemerintah terkait penetapan libur lebih dari 2 hari pada perayaan Idul Adha 2023 yang berbeda antara keputusan Pemerintah dengan organisasi Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu.
Muhammadiyah, berdasarkan hisab, menetapkan 1 Zulhijah 1444 H bertepatan dengan Senin, 19 Juni 2023, sehingga Idul Adha 10 Zulhijah 1444 H jatuh pada Rabu, 28 Juni 2023. Sementara itu Pemerintah berdasarkan hasil sidang isbat menetapkan Hari Raya Kurban itu, Kamis, 29 Juni 2023.
Karena perbedaan hari atau tanggal itu, organisasi Muhammadiyah berharap Pemerintah memberlakukan libur tidak hanya sehari. Dengan demikian, umat Islam yang merayakan Idul Adha tidak sama dengan Pemerintah juga bisa merasakan libur.
Pemerintah kemudian menyahuti dan mengakomodasi aspirasi tersebut, tidak hanya menetapkan libur 2 hari, tapi hingga tiga hari.
Pemimpin Muhammadiyah tidak lantas menyalahkan pihak yang merayakan Idul Adha dalam waktu berbeda, khususnya Pemerintah. Pemerintah dan Muhammadiyah mengambil keputusan yang sama-sama tepat, sesuai dengan dasarnya masing-masing.
Bagi Muhammadiyah, penambahan jumlah hari tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah menunjukkan komitmen yang tinggi pada implementasi konstitusi, terutama dalam konteks menjamin kemerdekaan warga negaranya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Dengan demikian, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk memandang perbedaan ini dengan sikap saling menyalahkan, apalagi merendahkan satu sama lain.
Menjalankan perintah agama dengan bingkai saling menghormati adalah wujud nyata dari implementasi ajaran dasar agama itu sendiri. Intinya, Muhammadiyah yang merayakan Idul Adha pada 28 Juni tidak menyalahi aturan Islam, demikian juga masyarakat lain yang mengikuti ketetapan Pemerintah sudah benar.
Baca juga: Jokowi shalat Idul Adha di Yogyakarta
Perbedaan itu, jika dijadikan masalah, untuk saat ini biasanya diekspresikan lewat saluran media sosial. Maka, dari perbedaan Idul Adha kali ini harus menjadi pelajaran besar bagi semua pihak, khususnya umat Islam, untuk bijaksana dalam memanfaatkan media sosial, termasuk dalam interaksi sosial secara nyata.
Bagi umat Islam yang berafiliasi ke organisasi Nahdlatul Ulama (NU), saat ini tidak ada masalah karena ketetapannya yang menggunakan metode rukyatul hilal alias melihat Bulan langsung itu sama dengan keputusan Pemerintah.
Muhammadiyah yang keputusannya berbeda dengan Pemerintah sudah mengingatkan warganya agar mengedepankan kesalehan dalam menggunakan media sosial.
Bagi Muhammadiyah, keputusan yang berbeda itu sama-sama berpijak pada kebenaran dalam beragama. Saat ini, sikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan itu yang perlu dikedepankan, baik dalam konteks menjaga kerukunan umat beragama maupun untuk konteks kebangsaan, yakni dalam rangka menjaga persaudaraan sesama bangsa.
Muhammadiyah juga mengingatkan pentingnya menjaga persaudaraan itu, karena saat ini merupakan tahun politik, yang jika tidak berhati-hati, justru mudah terseret dalam sikap terpolarisasi.
Sejatinya masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, sudah terbiasa dengan perbedaan. Perbedaan hari raya yang sudah kita lalui bersama dan berjalan dengan penuh damai adalah saat Idul Fitri pada April 2023.
Kita ketahui bersama bahwa antara Pemerintah dengan Muhammadiyah juga berbeda dalam penetapan Hari Raya Idul Fitri. Momen itu telah semakin membuktikan bahwa umat Islam di Indonesia ini sudah terbiasa dengan perbedaan.
Keleluasaan hati dan kejernihan pikiran masyarakat Indonesia telah menunjukkan kedewasaan dan kematangan. Bahkan, ketika di suatu kampung, ada warga Muhammadiyah yang makan di siang hari karena sudah berlebaran, sementara warga yang lebarannya ikut Pemerintah masih berpuasa, menjadi pemandangan lumrah. "Perbedaan itu tidak menjadi masalah", bukan hanya menjadi slogan kaum elite, melainkan sudah menjadi pemandangan biasa di masyarakat akar rumput.
Idul Adha, pada hakikatnya adalah momentum untuk mengingat sejarah pengorbanan dua sosok nabi yang dengan ikhlas menjalankan perintah Allah, tanpa ada penolakan. Nabi Ibrahim diperintah oleh Allah untuk menyembelih puteranya, Nabi Ismail. Baik Ibrahim maupun Ismail, menjalani perintah itu dengan ikhlas sepenuh hati. Allah kemudian mengganti tubuh Ismail dengan seekor domba. Akhirnya, peristiwa penyembelihan anak oleh orang tua tidak pernah terjadi dalam sejarah ajaran agama. Kini umat Islam cukup menjalani perintah kurban dengan menyembelih sapi, unta, atau kambing.
Kalau momen Idul Adha itu mengandung pesan pengorbanan, maka perbedaan waktu perayaan ini juga mengandung pesan, yakni ikhlas menerima ketidaksamaan.
Momen Idul Adha yang berdekatan dengan tahun politik, yaitu Pemilu 2024, hendaknya membawa pada suasana jiwa yang tetap teguh bersaudara, meskipun menghadapi fakta pilihan politik yang berbeda.
Kalau pada Idul Fitri dan Idul Adha menunjukkan sikap "tetap bisa bersalaman dan tertawa bersama, meskipun berbeda", alangkah indahnya jika keadaan itu kita bawa spiritnya pada pemilu tahun depan, khususnya terkait dengan dukungan pada calon presiden dan calon wakil presiden.
Kalau Muhammadiyah berterima kasih kepada Pemerintah terkait libur Idul Adha, kita juga berterima kasih kepada Muhammadiyah, termasuk NU dan organisasi Islam lain serta umat di luar Islam, yang telah bersama-sama menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara dalam suasana rukun.
Perbedaan itu adalah fitrah, bahkan membawa rahmat, sementara kebersamaan dalam persaudaraan harus terus dijaga dan diikhtiari. Selamat Idul Adha dan menikmati libur.