Oleh: Mulyana Serang (ANTARA) - Hari raya Idul Fitri atau lebih dikenal dengan istilah "Lebaran Idul Fitri" adalah hari raya di mana seluruh umat Islam di dunia merayakan kemenangan setelah satu bulan penuh melaksanakan ibadah puasa. Lebaran dilaksanakan ketika hari raya Idul Fitri tiba pada setiap 1 Syawal. Orang muslim merayakan Idul Fitri dengan saling bersalam-salaman dan maaf-maafan dengan keluarga, tetangga, juga kerabat dan umat muslim lainnya usai menunaikan shalat 'Id. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanudin Banten Prof Dr Sybli E Sarjaya mengatakan, Idul Fitri memiliki makna yang sebenarnya yakni kembali kepada naluri atau fitrah kemanusiaan yang murni. Ini momentum introspeksi diri, mengevaluasi semua amal perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya untuk melangkah ke depan dengan lebih baik. "Momentum Idul Fitri harus digunakan bersama-sama untuk membangun diri, membangun bangsa dengan menghilangkan prasangka-prasangka buruk yang dituntut oleh sebuah kepentingan sesa'at," kata Syibli E Sarjaya. Sekretris MUI Provinsi Banten itu mengatakan, masyarakat muslim, tokoh politik, budayawan, birokrat, dan elemen lainnya yang mewarnai keberagaman berbangsa dan bernegara, harus bisa memaknai momentum Idul Fitri sebagai sebuah kesempatan membangun rekonsliasi nasional. Ini dinilai penting untuk melangkah lebih tegar ke depan, terumata dalam membangun dan menata kehidupan bangsa agar lebih baik lagi di masa mendatang. Sebagian masyarakat di antaranya ada yang keliru memaknai Idul Fitri. Mereka mengidentikkan perayaan Idul Fitri dengan hiruk-pikuk mudik, pakaian serba baru, makanan dan minuman yang berlebih dan seakan diada-adakan. Jika seperti ini terjadi, maka momentum "lebaran" seolah-olah dijadikan kesempatan untuk bersenang-senang, "euforia" meluapkan hasrat dan emosi duniawi, dengan menampilkan kemewahan dan sesuatu yang baru untuk dipamerkan. "Meluapkan emosi dan kegembiraan menyambut Idul Fitri tersebut boleh-boleh saja, namun tentunya tidak berlebihan dan tetap berada dalam koridor keislaman," kata Syibli E Sarjaya di Serang, Sabtu. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai "kembalinya seseorang kepada fitrahnya". Artinya menghilangkan segala kebencian sesama, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan dan menjalankan ajaran Islam dengan seutuhnya. Menjaga persaudaraan Sementara Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten Hambali mengatakan, momentum tahapan Pilgub Banten 2011 berupa penetapan pasangan calon dan pengundian nomor urut calon gubernur dan wakil gubernur berbarengan dengan Puasa Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Untuk itu, ia meminta kepada semua pasangan calon dan para pendukungnya untuk tetap menjaga persaudaraan dan kebersamaan meskipun dalam nuansa persaingan politik, terlebih dalam suasana menghormati Puasa Ramadhan dan menjelang Idul Fitri 1432 Hijriyah. "Walaupun tahapan Pilgub Banten kali ini dalam suasana Puasa Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, kami tetap bekerja maksimal demi terlaksanannya Pilgub Banten 2011 dengan sukses," kata Hambali saat penetapkan tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur Banten pada Pilgub Banten 2011 di Cilegon, Kamis (25/8). Tiga pasang calon gubernur Banten yang akan mengikuti Pilgub pada 22 Oktober 2011 antara lain, pasangan Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno dengan nomor urut satu, kemudian pasangan Wahidin Halim-Irna Narulita nomor urut dua dan pasangan nomor urut tiga Jazuli Juwaini-Makmun Muzakki. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan, Hari Raya Idul Fitri sebaiknya dijadikan momentum untuk rekonsiliasi nasional sekaligus meneguhkan semangat kebangsaan. Said Aqil mengimbau para elit yang belakangan terlibat perselisihan agar bisa saling bermaafan, melupakan semua kesalahan dan kembali bersama-sama membangun bangsa. "Intinya semua harus bisa memaknai Idul Fitri dengan semangat saling memaafkan," katanya. Jika memang dianggap perlu, menurut Said Aqil, sebaiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segan mendatangi sesama elit politik, saling memaafkan dan melupakan perselisihan yang selama ini muncul. Demikian juga, apabila Presiden bertindak sebagai tuan rumah diharapkan menghargai siapapun yang datang. "Presiden jika nantinya menjadi tuan rumah dalam silaturrahmi, tetap wajib menghargai tamunya, apapun latar belakang tamu tersebut," katanya. Dikatakannya, Idul Fitri adalah kesempatan untuk bersenang-senang, dalam arti sewajarnya, tidak berlebihan. "Itu boleh karena kita patut bangga berhasil menahan hawa nafsu selama sebulan. Tapi hal penting yang tidak boleh ditinggalkan adalah silaturahim, saling bermaafan," katanya. Sementara untuk silaturahmi, seluruh warga negara yang beragama Islam disarankan dapat melakukannya. Pejabat juga harus bisa menerima silaturahmi rakyatnya, dengan mengedepankan sikap gembira. "Itu ada haditsnya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, wajib baginya senang dalam menerima kedatangan tamu di rumahnya," kata Said Aqil.
Makna hakiki di Balik "Euforia" Idul Fitri
Sabtu, 27 Agustus 2011 13:12 WIB