Mojokerto (ANTARA) - Antar Prasetyo Budi keluar dari tendanya sambil masih tetap mengenakan jaket gunung dan penutup kepala.
Laki-laki 60 tahun dari Gresik itu ingin menikmati suasana pagi sambil mendekapkan kedua lengannya menahan dingin di ketinggian 1.215 meter di atas permukaan laut kawasan Puncak Bayangan Gunung Penanggungan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Sedangkan rekannya, Eko Febriyanto menjerang air mineral di atas kompor outdoor-nya di depan tenda untuk menyeduh kopi dan mie gelas. Perut lapar dan udara dingin harus segera diusir.
Sesaat kemudian seorang panitia upacara peringatan HUT ke-79 Proklamasi Kemerdekaan RI sambil membawa map dan pulpen mendatangi keduanya, meminta agar ada yang bisa mewakili untuk menjadi petugas pembaca doa.
Eko menunjuk Antar saja yang mewakili. Pertimbangannya Antar yang sudah berusia 60 tahun lebih tua lima dari dia. Sehingga diharapkan peserta bisa lebih khidmat mengikuti upacara. Sedangkan Eko memilih berada di barisan terdepan saat mengikuti upacara.
“Pak, nanti pukul setengah tujuh kita berkumpul di sana ya, untuk melakukan gladi. Karena tepat pukul tujuh, upacara dimulai,” pinta panitia sambil menunjuk arah tiang bendera.
Begitulah persiapan upacara bendera yang dilakukan para pendaki gunung di Puncak Bayangan Sabtu, 17 Agustus 2024. Persiapan upacara itu menurut panitia dilakukan dua hari sebelumnya. Misalnya menyiapkan tiang bendera dan pembersihan dan pengaplingan tempat upacara dengan membatasi area menggunakan tali rafia.
Mengapa harus dikapling dengan membuat garis batas? Karena kawasan Puncak Bayangan merupakan tempat favorit bagi para pendaki untuk mendirikan tenda. Di kawasan itu terdapat dataran cukup luas.
Totalnya sekitar satu hektare. Itulah makanya pada pukul 01.00 petugas yang berada di base camp jalur pendakian menutup bagi pendaki yang yang ingin mendirikan tenda. Namun pendakian secara tektok tetap diperbolehkan.
Dimana pun saja, pendaki selalu mencari lokasi yang datar untuk mendirikan tenda, agar lebih nyaman terutama saat tidur. Namun dalam kondisi terpaksa, mereka bisa saja mendirikannya di tempat yang berkemiringan dan tidak rata. Sekitar tengah malam areal tersebut sudah penuh dengan tenda, kecuali yang disisakan untuk kegiatan upacara.
Setengah jam sebelum melakukan gladi bersih, panitia sudah selesai mencatat seluruh nama para petugas upacara. Pembina upacara Sukirno adalah orang yang dianggap memiliki posisi penting di wilayah milik Perum Perhutani itu. Ia Kepala Resor Pemangkuan Hutan (KRPH) Trawas, Bagian Kesatuan Hutan (BKH) Penanggungan, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pasuruan.
Sebagaimana diketahui pembagian wilayah hutan tak sama dengan pembagian wilayah administratif pemerintah daerah. Maka meskipun kawasan tersebut berada di wilayah Kabupaten Mojokerto, namun masuk wiayah KPH Pasuruan.
Bisa dibayangkan bagaimana pelaksanaan upacara tanpa latihan sebelumnya kecuali gladi hanya sekali dengan orang-orang yang sebelumya tak saling mengenal. Hampir seluruh petugas upacara ditunjuk secara dadakan.
Mungkin hanya pembuat susunan acara dan pembina upacara Sukirno dan petugas pengibar bendera yang sudah tahu apa yang akan dilakukan sehari atau dua hari sebelumnya.
Karena panitia tentu telah melakukan koordinasi sebelumnya. Selaku pembina upacara selain memimpin pengheningan cipta, pembacaan teks Pancasila, Sukirno juga menyampaikan amanatnya dengan membaca teks di layar smartphone-nya.
Maka terlalu naïf bila membandingkan dengan upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus yang digelar secara resmi oleh pemerintah yang persiapan dan latihannya sudah dilakukan matang sejak sebulan sebelumnya.
Namun ketika Bendera Merah Putih dikerek pada tiang terbuat dari bambu setinggi sekitar 15 meter diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, hati terasa tergetar. Meskipun beberapa orang petugas dan beberapa peserta upacara mengikutinya sambil merekam gambar menggunakan smartphone dan di atas mereka ada kamera drone, suasana tetap terasa khidmat.
Yang unik dalam upacara tersebut, ada petugas upacara yang membacakan Kode Etik Pecinta Alam dan diikuti oleh peserta upacara.
Dan seusai upacara, panitia dari pegiat alam bebas Semanggi Alas mengajak para pendaki bersama relawan memunguti sampah di lokasi upacara dan sekitarnya.
Sampah yang dimasukkan dalam kantong plastik kemudian dikumpulkan di satu tempat. Panitia meminta kerelaan siapapun yang berada di sekitarnya untuk ikut bahu membahu membantu membawa sampah itu ke base camp yang berada di Pos 1 jalur pendakian Tamiajeng, Trawas, Kabupaten Mojokerto.
Yusuf Rizaldi selaku ketua panitia kegiatan merasa puas dengan pelaksanaan upacara tersebut. Karena meskipun persiapannya dilakukan dalam waktu singkat, toh pelaksanaannya berjalan lancar.
Dia menyebutkan upacara di gunung tersebut diikuti sekitar 600 orang pendaki. Antara lain terdiri dari prajurit TNI AD, pecinta alam dari sejumlah komunitas, pelajar, dan para pendaki dari berbagai daerah.
Selain sekitar 400 orang mengikuti upacara secara langsung di tempat upacara, sejumlah pendaki mengikutinya dari sekitar tenda masing-masing yang berada di radius sekitar 300 meter. Karena areal tempat upacara tak mungkin bisa menampung seluruh pendaki.
Selain itu, panitia juga meyiarkan secara langsung melalui Instagram dan ditampilkan dengan proyektor mini di tempat terpisah.