Bondowoso (ANTARA) - Menyebut nama KHR As'ad Syamsul Arifin, selalu identik dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan perjuangan melawan penjajah.
Ulama yang populer dengan panggilan Kiai As'ad itu memang memiliki peran besar dalam organisasi NU, baik saat akan didirikan maupun dalam kiprahnya beberapa puluh tahun kemudian.
Ulama asal Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Madura, yang juga putra dari KHR Syamsul Arifin itu, semasa hidupnya juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan sehingga pemerintah menganugerahinya gelar pahlawan nasional.
Kiai As'ad juga identik dengan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Kiai As'ad bersama abahnya KHR Syamsul Arifin merupakan pendiri dari pesantren besar di Indonesia itu. Pesantren yang berada di wilayah pantai utara dan di ujung timur Pulau Jawa itu tercatat menjadi lokasi bersejarah bagi perjalanan NU, termasuk muktamar yang kemudian menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Terkait momentum Hari Santri, 22 Oktober, ada wasiat yang tampaknya tidak akan pernah basi untuk tetap dipegang teguh oleh para santri, yakni tentang hakikat santri. Kakek dari ulama muda kharismatik KHR Azaim Ibrahimy, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, ini mewasiatkan tiga jenis santri.
Baca juga: Sejumlah kiai dan nyai gelar Khotmil Quran dukung kafilah Jatim di MTQ Nasional
Tiga kategori santri itu adalah, "santri sejati, bau santri, dan santri bau". Santri sejati adalah mereka yang memang belajar di pondok pesantren kemudian mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan banyak orang di masyarakat. Sementara "bau santri" adalah orang yang tidak pernah menimba ilmu di pesantren, namun berakhlak seperti santri dan keberadaannya di masyarakat banyak memberi maslahat atau kebaikan laiknya seorang santri.
Sementara yang menjadi "peringatan keras" bagi santri adalah tentang "santri bau". Santri bau adalah predikat yang disematkan kepada seseorang yang pernah belajar di pondok pesantren tapi justru tidak menunjukkan akhlak dan kiprah sebagai santri di masyarakat.
Melihat pengategorian tiga santri itu tampak bahwa keberadaan pondok pesantren memang didedikasikan untuk menyiapkan kader-kader dengan bekal ilmu agama mumpuni agar mereka berkiprah di masyarakat.
Terkait peran di masyarakat ini, lagi-lagi Kiai As'ad memberikan wejangan dalam tiga hal. Menurut dia, tiga hal yang setidaknya dilakukan oleh santri di masyarakat adalah di bidang pendidikan agama Islam, pengembangan ekonomi masyarakat, dan berdakwah melalui organisasi NU.
Metamorfosis santri
Dinamika santri saat ini memang luar biasa. Kalau 30 tahun lalu atau jauh sebelumnya, santri yang identik dengan kaum sarungan, kembali ke masyarakat dengan tiga menjadi guru madrasah, guru ngaji atau menjadi modin untuk urusan pernikahan, kini kaum santri sudah melampaui stigma-stigma tradisional dan terbelakang itu.
Dulu, motif orang tua mengirimkan anaknya ke pondok pesantren sangat sederhana, yakni kelak kalau mereka meninggal, fardu kifayah dalam pengurusan mayat, mulai dari memandikan, mengafani kemudian mengazani di kubur dan tentu memimpin tahlil, dapat diurus oleh anaknya yang mengenyam pendidikan pondok pesantren itu. Lebih sederhana lagi, agar anaknya mampu mengaji Al Quran dengan baik sehingga setiap waktu mereka dapat mengirimkan amalan mengaji Quran kepada para leluhurnya yang meninggal.
Santri saat ini sudah banyak yang bergelar doktor, bahkan profesor dan tidak hanya berkiprah di dalam negeri. Santri saat ini juga tidak hanya ahli dan berkutat dengan ilmu agama. Santri juga banyak yang menguasai, bahkan disegani di dunia sains dan teknologi.
Baca juga: Kiai Zuhri sebut Halaqah Fiqih Peradaban hidupkan sunnah NU
Ainun Najib, asal Gresik, yang berkiprah sebagai ahli teknologi informasi di Singapura, adalah salah satu bukti bahwa santri kini telah bermetamorfosis dari kaum sarungan dan berkutat dengan dunia perdesaan menjadi bagian dari kelompok profesional.
Sosok Ainun menjadi terkenal ketika Presiden Jokowi menyebut namanya dalam Muktamar NU di Lampung, bulan Januari 2022. Jokowi memuji-muji Ainun sebagai praktisi teknologi data sains yang hebat dan kala itu diminta untuk kembali dan berkiprah di Tanah Air.
Sesuai prediksi cendekiawan Muslim terkemuka Nurcholish Madjid (almarhum), kini, NU, lewat kiprah santri, telah "memanen" buah tanaman intelektual yang disemai, setidaknya di era KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kalau dulunya panen atas tanaman generasi intelektual hanya marak dalam tradisi Muhammadiyah, kini masanya NU, dengan basis perkaderan di pondok pesantren.
Ainun Najib dan sejumlah santri lain yang kini mungkin berkiprah dalam bidang politik atau dalam jabatan birokrasi, adalah kriteria santri sejati yang menjadi wasiat dari Kiai As'ad.
Dunia intelektual di kampus, bahkan jabatan di lingkungan TNI, dan pemerintahan, kini diisi oleh kalangan santri. Maka, santri sejati yang perannya mulai menampakkan bau harum di masyarakat, kemudian menular kepada mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Bau harum kaum santri sejati dalam kiprahnya di berbagai lini ini tentu merebak ke sekitarnya, termasuk mereka yang hanya mengenyam pendidikan umum sehingga juga bisa berbau santri. Maka, wasiat tentang santri bau juga perlu diingat oleh mereka itu agar tidak menyalahgunakan ilmu dan kekuasaan yang diamanahkan.
Editor: Achmad Zaenal M.(*)