Jakarta (ANTARA) - Bagi pecinta film Hollywood dan suka dengan drama biopik atau fiksi sains tentang bencana, The Perfect Storm dan The Day After Tomorrow bisa sedikit membantu menganalogikan isi laporan terbaru Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).
Jika pernah menonton, mungkin adegan menegangkan saat Kapten Frank William “Billy” Tyne Jr yang diperankan aktor George Clooney bersama awak kapal Robert “Bobby” Shatford yang diperankan Mark Wahlberg dalam film The Perfect Storm (2000) yang berjibaku memutar haluan Kapal Andrea Gill 180 derajat untuk menghindari ombak besar saat Badai Grace mengganas di perairan Flemish Cap, bagian utara Samudera Atlantik itu membekas dalam ingatan.
Mereka berhasil memutar haluan dan berbalik arah, namun harus berhadapan dengan ombak lebih besar yang justru menggulung dan menenggelamkan Andrea Gill. Seluruh awak kapalnya yang berjumlah enam orang tidak pernah ditemukan setelah kejadian itu.
Film yang mengadaptasi buku non-fiksi karya Sebastian Junger (1997) itu menceritakan kisah nyata yang dialami kapal penangkap ikan beserta awaknya dari Gloucester, Massachoussets, Amerika Serikat, di 1991, yang karam saat Badai Grace menerjang wilayah perairan sisi barat bagian utara Samudera Atlantik.
Namun istilah The Perfect Storm yang kemudian muncul dan menjadi judul buku sekaligus film tersebut sebenarnya bukan hanya merujuk pada satu peristiwa meteorologi saja.
Terbentuknya "badai sempurna" itu melibatkan sistem tekanan tinggi yang besar dari arah Kanada yang berudara dingin, bergerak ke lepas pantai New England, dan bertemu dengan sistem tekanan rendah berudara hangat yang bergerak lambat, sehingga membentuk siklon ekstratropis skala sinoptik yang dikenal dengan sebutan Nor'easters.
Siklon tersebut menyerap energi dari Badai Grace yang berada di selatannya, yang sebenarnya mulai melemah namun menyisakan kehangatan dan kelembaban.
Pertemuan suhu dingin dan hangat di sana ditambah kelembaban dari sisa-sisa badai menguatkan siklon secara signifikan dan mengubahnya menjadi The Perfect Storm.
Kantor Layanan Cuaca Nasional Boston mencatat sebuah buoy yang berlokasi 97 kilometer sebelah barat lokasi Kapal Andrea Gill terakhir diketahui telah merekam ketinggian ombak mencapai 22 meter dalam 10 jam saat intensitas siklon ekstratropis itu sedang meningkat cepat. Kecepatan angin puncak tercatat mencapai 120 kilometer per jam pada 1 November.
Pusat Data Iklim Nasional Amerika Serikat menyebutkan kerugian materi dari badai yang berlangsung tiga hari tersebut lebih dari 200 juta dolar AS atau sekitar Rp390 miliar (dengan kurs rupiah Rp1.950 terhadap 1 dolar AS di 1991), semua kerusakan yang ditimbulkan akibat hantaman ombak dengan ketinggian beragam hingga ketinggian 10 meter di sepanjang pesisir timur Amerika Utara.
Seratusan rumah hancur di Massachusetts, lebih dari 38.000 orang kehilangan akses listrik, 13 orang meninggal dunia.
Sementara dalam film fiksi sains The Day After Tomorrow (2004) yang terilhami buku The Coming Global Superstorm karya Art Bell dan Whitley Strieber (1999), kengerian bencana iklim dibuka dengan retaknya es di The Larsen Ice Shelf, Semenanjung Antartika.
Namun bagian paling mengerikan dari film tersebut terlihat saat Jack Hall, ahli paleoklimatologi yang diperankan aktor Dennis Quaid, harus menyelamatkan dirinya dan rekannya yang tidak sadarkan diri dari pembekuan cepat atau flash freezing karena berada tepat di pusat super badai. Mereka selamat setelah berhasil masuk ke salah satu cerobong restoran dan menyalakan api sebelum pembekuan terjadi.
Hal sama dilakukan Sam, putra dari Jack Hall yang diperankan Jake Gyllenhall, saat bersama rekannya berlarian masuk kembali ke dalam ruangan hangat yang mereka ciptakan dalam Perpustakaan Publik New York untuk menyelamatkan diri dari flash freezing ketika super badai yang sama bergerak tepat di atas mereka. Suhu jatuh ke angka minus 101 derajat Celsius dalam waktu yang sangat cepat membuat semua benda dan mahluk hidup membeku dalam hitungan detik.
Penjelasan dari peristiwa itu justru sudah disampaikan Jack Hall di awal film, saat memaparkan hipotesis hasil penelitiannya di depan pemimpin dunia dalam sebuah konferensi perubahan iklim di India. Dirinya menemukan bukti yang terkubur 10.000 tahun di dalam lapisan es di kutub, bahwa konsentrasi emisi gas rumah kaca menunjukkan penghangatan yang terjadi saat itu justru mendorong Planet Bumi masuk ke Zaman Es yang berlangsung selama 2 abad.
Kekhawatiran ilmuwan
Judul film The Perfect Storm dan The Day After Tomorrow itu lah yang mengemuka dalam sosialisasi Laporan Penilaian Keenam IPCC (AR6) dari Kelompok Kerja I berjudul "Climate Change 2021: the Physical Science Basis" yang diadakan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (31/8).
Tidak mudah memang menyampaikan kepada awam isi pesan dari laporan IPCC yang merupakan hasil penilaian dari 14.000 publikasi ilmiah dari peneliti-peneliti seluruh dunia. Kekhawatiran puluhan ilmuwan dunia yang tergabung dalam Kelompok Kerja I IPCC akan kondisi the Atlantic meredional overturning circulation (AMOC) menyeruak saat pembuatan laporan tersebut, kata Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC Prof Edvin Aldrian.
"Dalam laporan IPCC yang disinggung bukan melemahnya ARLINDO, tetapi yang ditakutkan IPCC itu Atlantic meredional overtunning circulation atau sirkulasi arus hangat yang menghadap ke Benua Eropa yang memberikan rasa kesejukan di saat musim panas diperkirakan akan terjadi 'shutdown'," kata Edvin menjelaskan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) dan AMOC dalam proses pembuatan AR6.
Ahli meteorologi dan klimatologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu menjelaskan apa yang ilmuwan-ilmuwan IPCC coba angkat dalam laporannya adalah kasus-kasus low livelihoods tapi mengakibatkan peristiwa dengan dampak yang besar. Sedangkan satu isu lainnya yang pelan-pelan mulai IPCC singgung adalah hilangnya fungsi hutan di Amazon, Amerika Selatan sebagai penyerap karbon.
"Itu malah masuk dalam 'summary for policymakers'. Itu yang digambarkan dengan kejadian jarang tapi dampaknya berat," ujar Edvin.
AMOC adalah komponen arus permukaan dan arus dalam yang terintegrasi secara zona di Samudra Atlantik. Aliran arus ke utara berciri hangat dan memiliki salinitas tinggi di permukaan, sedangkan aliran ke arah selatan lebih dingin dan berada lebih dalam, dan mereka adalah bagian dari sirkulasi termohalin.
Sirkulasi arus di Atlantik tersebut adalah bagian komponen penting dari sistem iklim Bumi, dan merupakan hasil dari penggerak atmosfer dan termohalin. Aliran arus laut ke arah utara yang hangat itu lah yang menahan massa beku udara Kutub Utara, sedangkan arus ke selatan yang lebih dingin membawa udara sejuk saat musim panas terjadi di Eropa Barat.
Sedangkan shutdown terjadi saat aliran arus mengalami disrupsi seperti berkurangnya tingkat salinitas karena banyaknya air tawar yang bercampur akibat mencairnya es di kutub dan perubahan temperatur air laut.
Kentalnya pembahasan di kalangan ilmuwan IPCC tentang AMOC karena banyak literatur mengangkat isu tersebut dibenarkan peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Intan Suci Nurhati yang menjadi lead author Chapter 9 laporan IPCC tersebut. Itu menjadi alasan isu tersebut naik hingga ke ringkasan untuk pembuat kebijakan.
Dalam laporan IPCC, disebutkan sejak 1950-an permukaan air laut semakin cepat menghangat terjadi di Samudera Hindia dan di Western Boundary Currents. Sementara sikluasi laut telah menyebabkan perlambatan penghangatan atau pendinginan permukaan di Samudera Selatan, Pasifik khatulistiwa, Atlantik Utara, dan coastal upwelling system.
Intan mengatakan ilmuwan IPCC memproyeksikan 83 persen permukaan laut Bumi akan menghangat selama abad 21 di skenario apapun. Gelombang panas yang terjadi di laut juga frekuensinya bertambah dan berlangsung lama, dan mengancam keragaman biota karena mereka akan semakin sulit memulihkan diri kembali, terutama terumbu karang.
Baik massa lapisan es di Antartika maupun di Greenland akan terus berkurang di abad 21 di skenario apapun, sehingga menyumbang kenaikan muka air laut secara global hingga 2100, ujar dia.
Akibat dari peningkatan level muka air laut maka kejadian alam ekstrem akan semakin sering terjadi, dari yang sebelumnya ribuan tahun menjadi seratus tahun, sedangkan yang biasa terjadi seratus tahun akan terjadi dalam dekade.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia (DPPPI) Sarwono Kusumaatmadja menyebut penjelasan para ilmuwan IPCC dari Indonesia tersebut sebagai skenario The Perfect Storm, sehingga saat ini perlu melakukan mitigasi dan adaptasi. Manusia abadi 21 hidup di dunia yang penuh ancaman dan serba tidak pasti, naluri bertahan hidup yang mereka miliki sedang diuji.
The Perfect Storm ini berdampingan dengan pandemi COVID-19 dan disrupsi di mana-mana, kata Sarwono, dan itu tantangan masa depan. Apa yang dilaporkan IPCC sangat membantu untuk mengukir peta jalan dan mengubah tingkah laku di tengah "badai sempurna" yang tidak pernah tahu kapan berakhir.
Pandemi COVID-19, perubahan iklim dan ancaman runtuhnya keanekaragaman hayati merupakan tes kasus agar manusia lebih tangguh, serta kesempatan manusia bisa belajar dari kesalahan masa lalu dan memperbaiki diri untuk menghormati alam. Tidak lagi mempunyai pretensi menaklukkan atau memanipulasi alam. (*)