Jakarta (ANTARA) - Para pelaku industri produsen dan pengguna plastik yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP) menolak peraturan pemerintah, baik pusat maupun daerah terkait pelarangan penggunaan plastik kemasan.
Mereka menilai hal itu tidak sesuai dengan Peraturan Perundangan Persampahan, selain juga tidak tepat sasaran karena akan merugikan masyarakat (konsumen). Tidak hanya itu, pelarangan itu juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.
Persoalan utama sampah plastik di Indonesia sebenarnya adalah belum adanya pengelolaan yang baik. Padahal dari sisi peraturan perundangannya sebetulnya sudah sangat lengkap, dan tinggal impementasinya saja yang kurang.
Ditegaskan, pengaturan terhadap sampah itu harus mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 2008, dan PP No. 81 Tahun 2012 yang menggunakan pendekatan pengelolaan, bukan pendekatan dengan larangan sektoral (masing-masing Kementerian) maupun mutlak seperti diatur dalam Pasal 11 Peraturan Wali Kota Bogor nomor 61 tahun 2018.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah disebutkan bahwa pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan.
Tugas pemerintah dan pemerintahan daerah adalah memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah, serta melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.
Begitu pula dengan apa yang termuat dalam PP No. 81 tahun 2012 Pasal 4 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan dan strategi nasional dalam pengelolaan sampah.
Pemerintah provinsi menyusun dan menetapkan kebijakan dan strategi provinsi dalam pengelolaan sampah. Demikian juga dengan pemerintah kabupaten/kota, menyusun dan menetapkan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah.
Jadi dari isi UU dan PP mengenai pengelolaan sampah, tugas dari pemerintah adalah untuk menetapkan kebijakan dan strategi dalam melakukan pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan.
Rachmat Hidayat yang mewakili APINDO mengatakan plastik kemasan produk industri (makanan, minuman, farmasi, minyak, kimia, dan sebagainya) tidak dapat dipisahkan dari produk yang dikemas di dalamnya.
"Jadi melarang peredaran plastik kemasan produk berarti melarang peredaran produk yang dikemas dalam plastik kemasan tersebut," katanya dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pengembangan Industri Plastik Dengan Berorientasi Pada Lingkungan" di Ruang Rajawali Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa, pekan lalu.
FGD yang dimoderatori Direktur Industri, Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Taufik Bawazier ini juga menghadirkan beberapa narasumber lainnya, seperti Ketua Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Christine Halim, Ketua INAPLAS, Edi Rivai, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto, Prof Akbar Tahir, Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanudin.
Padahal, menurut Rachmat, produk-produk tersebut sudah dikendalikan dan diawasi oleh kementerian/lembaga yang terkait sesuai dengan sektornya masing-masing. Contohnya produk makanan dan minuman serta farmasi berada dibawah pengawasan BPOM dan Kementerian Kesehatan. Sedangkan produk pestisida berada di bawah pengawasan Kementerian Pertanian serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ITB, dan Solid Waste Indonesia (SWI) terhadap laju daur ulang sampah plastik, Indonesia sudah melakukan 62 persen daur ulang botol plastik. Angka tersebut bahkan terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara besar seperti Amerika yang hanya 29 persen, dan rata-rata Eropa 48 persen.
Jika pelarangan terhadap plastik kemasan ini terus berlanjut, hal itu akan sangat berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Karena, mau tidak mau, itu akan sangat berdampak terhadap industri yang banyak menggunakan wadah dari plastik. Salah satunya adalah industri makanan dan minuman (mamin) yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap PDB nonmigas Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilainya mencapai 19,86 persen atau Rp1.875.772 miliar pada 2018 dan tumbuh sebesar 7,91 persen pada akhir 2018.
Dampak lanjutan dari penurunan pertumbuhan industri mamin dan kemasan plastik jelas akan berpotensi menurunkan jumlah lapangan kerja nasional secara signifikan. Data BPS 2014 menunjukkan tenaga kerja langsung pada industri mamin ini sebanyak 3.887.773 orang. Hal ini tentu saja akan menjadi beban bagi pemerintah dan ekonomi nasional.
Karena, berdasarkan data INDEF dan BPS 2015, dari sisi penerimaan negara, penurunan pertumbuhan industri mamin sebesar 1,76 persen akan berpotensi menurunkan penerimaan sekitar Rp6,79 triliun.
Apalagi dengan adanya rencana pengenaan cukai pada plastik kemasan industri, jelas ini akan semakin memukul industri yang jelas-jelas menjadi penyumbang tertinggi bagi PDB ini. Pelaku industri mamin juga menilai kebijakan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengenaan cukai menurut peraturan perundangan dan tidak tepat sasaran.
UU Cukai menyebutkan, barang yang dikenai cukai adalah barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik di mana konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, dan yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan Negara demi keadilan dan keseimbangan.
Jadi, pengenaan cukai terhadap plastik kemasan ini akan merugikan masyarakat (kunsumen produk industri. Selain itu juga akan menurunkan daya saing industri nasional.
Apindo juga melihat perlunya kehadiran Pedoman Cara Produksi Kemasan Pangan Plastik Poly Ethylene Terephtalate (PET) Daur Ulang Yang Baik dari pemerintah, dalam hal ini Kemenperin.
"Pedoman itu tidak hanya akan mendukung komitmen kami pelaku industri kemasan plastik, tetapi akan memotivasi industri lain untuk menggunakan kemasan PET daur ulang sehingga dapat mengurangi timbunan sampah plastik kemasan," tutur Rachmat.
Rancangan Peraturan Pedoman itu dalam rangka mengoptimalkan penggunaan plastik kemasan dan upaya mengatasi sampah plastik, terutama pada industri makanan dan minuman. "Maka penting adanya perubahan mekanisme dalam menangani plastik sisa kemasan di masyarakat," ujarnya lagi.
Di akhir diskusi, Taufik Bawazier menyampaikan kesimpulan bahwa persoalan utama di Indonesia bukan pada masalah penggunaan plastiknya, tapi pada pengelolaan sampah plastik yang masih sangat buruk. Padahal sampah plastik ini sebenarnya memiliki nilai ekonomi yang bisa menghidupi jutaan masyarakat.
"Jadi sirkular ekonomi dari sampah plastik ini jelas merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan sampah plastik. Salah satu implementasinya adalah penggunaan daur ulang kemasan plastik yang aturan hukumnya akan segera diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian," ucapnya.(*))
Larangan kemasan plastik dan pengenaan cukai tidak tepat sasaran
Rabu, 17 Juli 2019 17:16 WIB