Surabaya (ANTARA) - Tokoh atau penggerak literasi dari Ponorogo Dr Sutejo, MHum menerbitkan buku berjudul "Senarai Aforisme Seorang Ayah" sebagai kado untuk pernikahan putrinya Afifah Wahda Tyas Pramudita dengan calon suaminya Sapta Arif Nurwahyudin.
"Bukan kebetulan kalau kami, saya, putri saya dan calon suaminya, sama-sama menekuni dunia tulis menulis, maka saya membuat buku ini sebagai kado pernikahan mereka. Maka, ini semacam pernikahan literasi juga," kata Sutejo yang juga budayawan dan Ketua STKIP PGRI Ponorogo itu saat dihubungi lewat telepon dari Surabaya, Senin.
Ia menjelaskan, Afifah Wahda akan menikah dengan pria pilihannya Sapta Arif, asal Banyumas, Jawa Tengah, yang selama ini dikenal juga sebagai penulis puisi dan cerpen yang beberapa karyanya juga dibukukan bersamaan dengan momen pernikahan tersebut.
Pernikahan dua insan penggerak literasi itu akan dilangsungkan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Rabu, 3 Juli 2019. Sebelum dilangsungkan akada nikah dan resepsi, pada Selasa, 2 Juli, terlebih dahulu ada perkenalan antarkeluarga, dilanjutkan seserahan, dan pembacaan surat cinta.
Dari perencanaan yang disiapkan setidaknya ada tiga surat cinta yang akan dibacakan pada pernikahan itu, yakni surat Afifah kepada ayah ibunya, surat menantu kepada mertuanya dan surat cinta Sutejo (ayah) kepada putri dan menantunya.
Selain buku karyanya setebal 167 halaman itu, kata Sutejo, kedua mempelai juga menerbitkan buku yang ditulis secara bersama berjudul "Mengekalkan Pertemuan; Mimpi Sepasang Kupu-kupu".
Sutejo yang dikenal sebagai penulis puluhan buku dan motivator serta penggagas Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo itu menegaskan bahwa pernikahan Afifah dengan Sapta Arif ini semakin menegaskan bahwa gerakan literasi bisa dimulai dari keluarga, dalam hal ini ketika seseorang hendak membangun rumah tangga.
"Entahlan, kok kebetulan, calon menantu saya ini berasal dari Banyumas, buminya Ahmad Tohari pengaran novel Ronggeng Dukuh Paruk," kata pakar sastra, alumni S3 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini.
Di antara bunyi surat cinta Sutejo untuk putri dan calon menantunya itu berbunyi, "Ibarat mawar, mimpi orang tua adalah kau bisa mekar indah, menebarkan aroma keberkahan, dan indah memesona bagi yang memandangnya. Jadilah, contoh keindahan bebunga lain, di taman kehidupan kini dan nanti. Ingat, taman pernikahan itu misterius, penuh rona, perlu dibentengi, dijaga, dan diperjuangkan sepenuh tenang dan setangkup doa yang tak terputus."
Untuk menantunya, Sutejo berpesan bahwa wanita itu seperti kaca. Wanita hanya memantulkan apa-apa yang diperan-teladankan sang suami. Sebuah cermin besar yang akan menjadi pantulan demi pantulan gerak laku jiwa dan fisik sang suami.
"Karena kaca, maka ia tentu pipih dan memiliki keterbatasan kekokohan. Senantiasa, bersihkanlah kaca megah itu --untuk bercemin di surga kelak--. Rawatlah, hingga tak mungkin pecah. Perlakukanlah dengan hati-hati, lembut, dan sepenuh kekhusukkan niat hingga memantulkan realita terindah," katanya.