Ponorogo (Antara Jatim) - Jauhnya masyarakat, khususnya anak-anak muda, dari buku membuat Sutejo, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, gelisah.
Realitas sosial yang lebih terlihat di masyarakat sekarang adalah lebih senang pegang gawai atau melihat televisi dari pada menikmati deretan huruf-huruf di kertas buku.
"Akhirnya saya curahkan kegelisahan ini dengan Pak Kasnadi (Ketua STKIP PGRI Ponrogo), dan secara spontanitas tercetuslah ide membuat SLG (Sekolah Literasi Gratis) ini," kata Sutejo, penulis puluhan judul buku ini.
SLG yang dibuka awal September 2016 itu telah menghasilkan sedikitnya 800 orang lulusan yang belasan di antaranya sudah menghasilkan sejumlah tulisan, baik di media, maupun dalam bentuk bunga rampai dalam sebuah buku.
SLG yang setiap angkatan diikuti 100 orang, mahasiswa, pelajar dan guru, itu diadakan pertemuan empat kali dalam sebulan. Selain materi tentang kepsnulisan, para peserta juga mendapatan suntikan semangat membaca dan menulis dari para penulis yang dihadirkan panitia SLG.
Sutejo, doktor sastra lulusan Unviversitas Negeri Surabaya (Unesa), ini menjelaskan bahwa SLG diikhtiarkan bukan sekadar agar genarasi muda gebar membaca. Lebih dari itu, mereka mampu mengikat makna dari yang dibaca menjadi kumpulan ide baru dalam bentuk tulisan.
"Ada semacam adagium yang khas dalam dunia tulis menulis, yaitu, menulis itu seperti buang air (besar maupun kecil). Kalau ingin buang kotoran yang banyak, maka makanlah yang banyak. Kalau ingin menghasilkan tulisan yang banyak, maka banyaklah membaca," kata Pembantu Ketua II STKIP PGRI Ponorogo itu.
Lelaki yang dijuluki "provokator" dan kepala suku SLG ini mengemukakan bahwa jika seseorang suka menulis, maka otomatis dia juga akan gemar membaca.
"Budaya membaca itu akan menentukan masa depan bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang penduduknya gemar membaca," tutur doktor yang pernah berjualan plastik kresek dan emping mlinjo saat kuliah itu.
Jika setiap bentuk pelatihan selalu membebankan biaya mahal kepada pesertanya, maka SLG didedikasikan oleh STKIP Ponorogo untuk dilaksanakan secara gratis agar semua golongan masyarakat bisa menikmati sekaligus dapat menimba ilmu dari para penulis.
Sutejo menjelaskan bahwa sekolah itu digratiskan merupakan sebuah strategi untuk memancing masyarakat yang selama ini punya keinginan untuk menulis masuk ke dalam "kurungan" dunia literasi yang di dalamnya dipenuhi oleh orang-orang yang inspiratif.
Sejumlah nama penulis terkenal telah hadir secara sukarela (di luar keprofesionalan mereka selama ini) ke kegiatan SLG, seperti Sujiwo Tejo (penulis, dalang dan budayawan terkemuka), Sosiawan Leak (penyair), M Faizi (penyair sekaligus ulama), Dr Tengseo Tjahjono (penyair dan akademisi dari Unesa).
Penulis lainnya adalah, Prof Dr Djoko Saryono (akademisi dari Universitas Negeri Malang), Tjahjono Widijanto (penyair dari Ngawi), Tjahjono Widarmanto (sastrawan dan guru penulis buku dari Ngawi), J Sumardianta (penulis buku motivasi dari Yogyakarta), termasuk sejumlah wartawan senior.
Selain itu ada juga Eni Kusuma, mantan TKW dan penulis buku "Anda Luar Biasa" serta penyair dari Thailand Muhammad Rasul bin Kosim dan pasangan penulis Syaf Anton dan Lilik Soebari serta penulis lainnya.
Sutejo mengaku bersyukur karena dalam jangka pendek SLG telah menampakkan hasil, belasan lulusannya sudah menghasilkan tulisan, baik berupa tulisan feature (genre jurnalistik), artikel maupun karya sastra yang dimuat sejumlah media cetak dan online.
Mereka adalah Nanang ES (menulis cerpen), Agus Setiawan (artikel), Suci Ayu Latifah dan Sri Wahyuni (menulis artikel dan reportase).
Sejumlah pemateri mengaku heran dengan program SLG ini karena di kota-kota besar, pelatihan keterampilan selalu berbayar, bahkan cenderung dikomersialkan.
Sutejo mengaku tidak terpengaruh dengan pelatihan-pelatihan sejenis di kota besar. Hal ini dilakukan sebegai bentuk pengabdian diri dan lembaganya kepada masyarakat dan dunia literasi di Tanh Air.
Sebagaimana diungkapkan oleh penulis asal Trenggalek Nurani Soyomukti, kegiatan SLG ini akan menjadi "gempa literasi" yang akan mengguncang dunia baca tulis di Tanah Air yang episentrumnya dari kota kecil Ponorogo.
"Itu yang diistilahkan oleh Nurani Soyomukti. Kami harapkan beberapa tahun ke depan, alumni SLG ini akan menggetarkan dunia tulis menulis dan menjalar ke lebih banyak orang dan banyak tempat," kata Sutejo, pemilik Rumah Buku yang mengoleksi ribuan judul dan puluhan ribu eksemplar itu.
Ia menegaskan bahwa dunia tulis menulis itu bukan sekadar keterampilan yang terus diasah oleh seseorang, namun juga mengandung makna spiritual yang dalam, dimana seorang penulis harus mengedepankan kejujuran dan nurani. Tanpa itu akan sangat membahayakan karena hanya akan menghasilkan tulisan sampah yang kini lebih dikenal sebagai hoax.
Karena itu kepada para peserta SLG Sutejo selalu menekankan pentingnya menjaga kebersihan hati dan niat dalam berupaya menghasilkan tulisan. Adab para peserta SLG sebagai murid selalu ia tekankan agar selalu mengingatkan wasilah ilmu terhadap para guru.
"Jangan sampai mereka melupakan para guru, apalagi jika mereka sudah terkenal sebagai penulis. Ini juga menjadi kegelisahan lanjutan dalam diri saya setelah SLG berjalan selama delapan bulanan ini," katanya.
Nanang ES, salah seorang panitia SLG, mengaku SLG merupakan gerakan yang luar biasa. Selain bisa menyatukan tokoh pecinta buku, juga sekaligus menyadarkan masyarakat, khususnya peserta, mengenai dampak positif dari buku.
Sebagai panitia, Nanang memiliki banyak kesempatan untuk "mencuri" ilmu para pemateri SLG sebelum mereka tampil di depan peserta.
Bagi Nanang yang sebelumnya sudah sering menulis cerita pendek, kebaradaan SLG bisa menjadi semacam alat untuk mengasah keahlian, juga menguatkan pemahan menulis yang tidak sekadar menulis, tetapi juga bisa memahami, bisa menyadarkan, dan memaknai berbagai hal.(*)