Ponorogo (Antara Jatim) - Budayawan Sutejo mengemukakan "megengan" sebagai tradisi masyarakat di Jawa dalam menyambut Ramadhan saat ini mulai memudar seiring dengan pergeseran budaya.
"Kalau dulu megengan itu semarak karena hampir setiap rumah menyelenggarakan, sekarang sudah tidak seperti itu," katanya kepada Antara di Ponorogo, Jawa Timur, Rabu.
Dosen pada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo ini menjelaskan memudarnya tradisi yang biasanya dilakukan dengan doa bersama itu terutama terjadi di wilayah perkotaan. Sementara di perdesaan relatif masih tetap ada dan setiap keluarga menyelenggarakan.
"Sementara di perkotaan diselenggarakan secara bersama-sama di langgar atau masjid. Kalau dulu setiap rumah menyelenggarakan dengan mengundang tetangga antara 20 hingga 40 orang. Mereka kemudian mendoakan para orang tua dan leluhur yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Yang masih hidup didoakan agar sehat dan diberi kemudahan dalam berbagai urusan," ujarnya.
Megengan itu sendiri, ujar dia, merupakan budaya simbolik dari masyarakat Islam di Jawa untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi puasa. Megeng adalah bahasa Jawa yang artinya menahan napas. Megeng berarti menahan diri sebagai persiapan berpuasa yang mana puasa sendiri juga memiliki makna menahan untuk memenuhi keinginan.
Biasanya, kata Sutejo, megengan dilaksanakan mulai lima hari menjelang puasa. Dulu, setiap rumah mengundang para tetangga untuk datang ke rumah dan melakukan doa bersama. Namun seiring perkembangan masyarakat yang semakin pragmatis, megeng dilakukan bersama-sama dalam satu waktu.
"Masyarakat sekarang kan ingin simpel, sehingga megengan saat ini hanya dilaksanakan bersama-sama di mushala atau masjid. Kalau dulu warga cukup datang memenuhi undangan tanpa membawa makanan, kini justru masing-masing membawa makanan ke masjid untuk dinikmati bersama setelah acara doa," katanya.
Akibat memudarnya tradisi megengan, situasi di pasar tradisional juga tidak seramai zaman dulu. Seperti diakui Mutirah, pedagang klontong di Pasar Tonatan yang mengaku sepi pembeli menjelang datangnya Ramadlan.
"Kalau dulu, beberapa hari menjelang puasa pasar ramai pembeli untuk persiapan megengan," katanya.
Selain megengan, tradisi masyarakat di Jawa sebelum puasa adalah nyekar atau berziarah ke makam leluhur dengan membawa bunga untuk ditabur di atas pusara. Makam-makam leluhur itu juga dibersihkan dari rerumputan dan dedaunan.
"Nyekar ini juga memiliki makna pengingat bagi yang masih hidup akan kematian. Jadi bukan sekadar bersih-bersih dan berdoa di makam," kata alumni program doktor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini.(*)