Dalam dua pekan ini Indonesia dihebohkan dengan berita pengungkapan kasus pelacuran dalam jaringan (daring) yang diduga melibatkan satu artis Ibu Kota berinisial VA dan satu foto model berinisial AS oleh Polda Jawa Timur di sebuah hotel di Surabaya, Sabtu (5/1).
Saat penggerebekan itu, polisi setidaknya mengamankan lima orang, dua artis VA dan AS, dua manajemen dan satu germo yang ditetapkan sebagai tersangka. Selain heboh karena melibatkan artis Ibu Kota, masyarakat dikagetkan dengan tarif pelacuran tersebut.
Terungkap, pria hidung belang yang ingin menyewa VA harus merogoh uang sebesar Rp80 juta. Sementara model AS tarifnya berkisar Rp25 juta. Tak hanya itu, saat penyidikan, ditemukan fakta bahwa tidak hanya artis VA dan AS yang terlibat dalam praktik haram tersebut. Setidaknya 45 artis dan seratusan model yang dikendalikan germo ES dan TN.
Hingga saat ini ada lima orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, antara lain germo ES, TN, F dan W. Artis VA juga ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronika (ITE) karena diduga dengan sengaja mengeksplor gambar dan video untuk pelacuran daring serta diancam enam tahun penjara.
Publik semakin dikagetkan ketika Polda Jatim mengungkap enam artis lain yang diduga terlibat bisnis tersebut. Dari enam artis, dua di antaranya merupakan mantan finalis Puteri Indonesia. Tarif yang dipatok bisnis ini sangat fantastis, yakni di kisaran Rp25 juta paling murah hingga ratusan juta untuk sekali kencan.
Sejatinya, pelacuran di kalangan artis bukan berita baru. Beberapa tahun lalu polisi juga mengungkap praktik tersebut yang melibatkan artis AA dan menetapkan pria berinisial RA sebagai tersangka. Di Surabaya, Polrestabes setempat, pernah membongkar kasus serupa yang melibatkan artis berinisial AS. Hal itu menunjukkan, bisnis pelacuran telah melibatkan banyak pihak di semua lapisan.
Dengan fakta itu, selain pengungkapan siapa saja yang terlibat di dalamnya seperti germo dan artis, publik menantikan siapa pria "pemakai" jasa pelacuran artis. Pada kasus VA, polisi mengungkap penyewa VA adalah seorang pengusaha tambang di Lumajang, Jawa Timur, berusia 45 tahun berinisial R.
Namun tetap saja, pria berinisial R hingga kini statusnya masih sebagai saksi dan belum juga ditampilkan. Hal itu lantaran tak ada regulasi ataupun undang-undang yang bisa menjeratnya sebagai tersangka.
"Tolong tunjukkan kepada saya apakah itu Undang-undang trafficking, apakah itu UU lainnya, sampaikan ke saya UU-nya, barang siapa laki-laki yang menggunakan prostitusi akan dihukum, tidak ada," kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera.
Konsumen pelacuran bisa dijerat pidana dengan UU tentang perzinahan, namun syaratnya sang istri harus melapor, karena itu adalah delik aduan murni.
Mencermati kasus itu, Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur mendesak dibuatnya aturan agar pemberi dan pengguna jasa dalam kasus pelacuran dalam jaringan yang melibatkan artis dapat dipidana.
Ketua Umum MUI Jawa Timur KH Abdussomad Buchori saat mendatangi Mapolda Jatim di Surabaya, beberapa waktu lalu mengatakan, dalam penanganan kasus pelacuran selama ini, hanya germo atau muncikari yang dijerat, sedangkan pemberi dan pengguna jasa dibiarkan bebas.
"DPR RI harus segera membuatkan undang-undang yang bisa menjerat pemberi dan pengguna jasa prostitusi. Ini dimaksudkan agar mereka yang biasa menjajakan diri dan penggunanya bisa mendapat efek jera," kata Abdussomad.
Pembuatan UU yang dapat menjerat pemberi dan pengguna jasa pelacuran demi kepentingan masyarakat Jatim dan juga Indonesia
Dengan kondisi seperti itu, selain tugas polisi untuk mengungkap tuntas kasus ini, DPR juga mempunyai PR yang tidak kalah penting untuk segera merampungkan pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang tidak hanya menjerat germo tapi juga pekerja dan juga penyewa untuk memberikan efek jera tak hanya bagi penjual tapi juga pekerja dan penikmatnya. (*)