Surabaya (Antaranews Jatim) - Karya-karya sastra Indonesia kini dinilai berkembang pesat dengan banyaknya pengarang dan penyair yang terus bermunculan, namun tanpa telaah dari pengamat yang mumpuni, kata seorang pakar bahasa dan sastrawan.
Akademisi di bidang bahasa dan filsafat Prof Dr Abdul Hadi Wiji Muthari menilai sastra sejak dulu memang kurang mendapat tempat di sekolah-sekolah atau pendidikan formal Indonesia.
"Pernah saya bertanya kepada mahasiswa jurusan sastra semester akhir. Hingga menjelan lulus S1, dia cuma membaca dua karya buku novel," katanya, saat menjadi pembicara dalam acara dialog Pembacaan Puisi di arena Pasar Seni Lukis Indonesia 2018, yang berlangsung di Gedung "JX International Expo" Surabaya, Jumat malam.
Dia membandingkan, saat kuliah S1 di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada era 1960-an dulu, dirinya malah sudah hafal lebih dari 50 karya sastra dari para sastrawan Indonesia.
"Sekarang sudah bukan zamannya media cetak lagi. Era digital mendorong penyair dan penulis terus bermunculan. Tapi siapa yang mau membacanya. Saya yakin kalau bukunya dicetak sebanyak 5 ribu eksemplar, selama 10 tahun belum tentu laku," ucapnya.
Abdul Hadi, yang lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1946, mendorong kritik sastra harus digalakkan lagi, mengingat para penulis, penyair dan sastrawan inilah yang selama ini mengawal kelestarian penggunaan bahasa Indonesia.
"M Yamin dulu menggagas Sumpah Pemuda dengan mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dari bangsa yang majemuk ini pada 28 Oktober 1928 karena sadar betul tidak ada bangsa yang besar tanpa bahasa," katanya.
Sebuah bahasa, lanjut dia, bisa menjadi besar karena karya sastra, sebagaimana bahasa Sansakerta bisa besar karena lahirnya karya Ramayana dan Mahabarata.
Untuk itu, Abdul Hadi, yang juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan Indonesia, mengingatkan pentingnya kritik sastra untuk menelaah karya-karya penyair, penulis dan sastrawan Indonesia yang terus bermunculan di era digital ini.
"Perlu digodok lagi itu sistem pendidikan kita, agar di bangku SMP, SMA higga Universitas tidak mengajarkan sastra sepotong-sepotong dengan nalar rendah," tuturnya. (*)
Sastra Indonesia Kini Berkembang Tanpa Telaah
Jumat, 19 Oktober 2018 21:55 WIB
Era digital mendorong penyair dan penulis terus bermunculan. Tapi siapa yang mau membacanya