Entah kenapa, isu panas terkait Prodi Magister Kenotariatan (MKn) ini nampaknya terus bergulir tanpa henti. Mulai dari kebijakan gelar yang harus diberi gelar Magister Hukum hingga penggabungan atau peleburan Prodi kedalam Prodi Magister Hukum. Belum selesai kedua isu tersebut, kini isunya panas lagi dengan adanya wacana atau penegasan mengenai moratorium penerimaan mahasiswa baru Prodi MKn Tahun 2018.
Judul berita pada laman sebuah media online hukum yang cukup terkemuka pada hari ini sontak membuat dunia pendidikan kenotariatan di Indonesia 'tersedak'. Bak petir di siang bolong, bak hujan tanpa mendung, kabar tersebut membuat pimpinan perguruan tinggi yang mengelola pendidikan kenotariatan sedikit 'belepotan' menjawab pertanyaan nan bertubi dari mahasiswa yang mempertanyakan nasib mereka. Dengan judul "KEMENKUMHAM PASTIKAN MULAI 2018 PENERIMAAN MKn HARUS DIHENTIKAN" (http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a6b21f72f5a8/kemenkumham-pastikan-mulai-2018-penerimaan-mkn-harus-dihentikan) , sontak membuat jantung mahasiswa berdetak kencang karena diliputi rasa was-was akan masa depan mereka.
Bukanlah media, jika judul beritanya tidak bombastis, rasanya hambar jika tidak dijumbuhi dengan gula-garam dan rempah lainnya. Maksud hati agar rasanya nikmat, namun karena garamnya kelebihan akhirnya terasa asin bahkan pahit bagi mereka yang menderita darah tinggi akut. Kira-kira itulah perumpamaan atas berita dan isi berita mengenai pendidikan kenotariatan hari ini. Maksud hati ingin menata pendidikan kenotariatan, namun karena judulnya bahkan isinya cenderung 'radikal' akhirnya menjadi momok menakutkan bagi mereka yang tengah bergelut di dunia pendidikan kenotariatan.
Sejak kapan ada cerita dan berita bahwa sebuah Prodi yang telah terakreditasi (A/B) dilarang menerima mahasiswa baru? Jika Prodinya belum terakreditasi atau terakreditasi C dan dibatasi jumlah mahasiswa yang diterima, ya masih bisa dibenarkan karena memang aturannya demikian. Namun, bagi Prodi yang sudah terakreditas A atau B maka Prodi tersebut telah clear kualitas penjaminan mutunya, sehingga masa iya mau dilarang untuk menerima mahasiswa baru. Dengan demikian sama saja mengatakan bahwa proses dan peringkat akreditasi itu sama sekali tidak benar dan tidak layak dijadikan indikator kualitas penjaminan mutu Prodi.
Ibarat pesawat yang mesin dan perangkat lainnya telah dinyatakan layak terbang oleh teknisinya, namun dilarang terbang karena salah satu penumpangnya (user) yang kebetulan seorang Pejabat Tinggi tidak percaya pada si pilot yang dianggap tidak kompeten dan akan membahayakan keselamatan penerbangan. Lalu apakah pesawat tersebut tetap tidak boleh terbang? Jika memang pilotnya tidak kompeten, seharusnya penumpang tersebut protes kepada pihak maskapai atau Menteri Perhubungan atau kepada Pejabat Tinggi yang memiliki otoritas untuk merekrut dan menetapkan standar minimum kompetensi pilot sehingga pilotnya dapat diganti dengan yang lebih layak karena kebetulan dia juga Pejabat Tinggi. Bukan dengan melarang pesawat itu untuk terbang selamanya karena akan merugikan penumpang lainnya.
Teringat ketika Universitas Narotama (Unnar) Surabaya mulai membuka kelas Pendidikan S2 Kenotariatan pada akhir 2011 silam. Setelah mendapatkan izin operasional dari Kemendikbud pada Oktober 2011, Unnar merupakan perguruan tinggi ke-9 (saat ini sudah ada 39 Prodi MKn) yang diberikan izin untuk mengelola Prodi MKn dan angkatan pertama MKn Unnar memulai aktivitas perkuliahan pada November 2011. Pada saat itu, oleh Rektor Unnar saya diminta mendampingi Dr. Habib Adjie untuk mengelola Prodi MKn. Sebagai Sekretaris Prodi, saya bersama Kaprodi bertugas untuk memastikan sistem penjaminan mutu dan kualitas pengelolaan Prodi MKn benar-benar terjaga. Banyak aral merintang yang menjadi tantangan kami pada waktu itu. Tapi dengan tekat yang kuat, Prodi MKn Unnar dapat menjadi Prodi percontohan bagi Prodi MKn lainnya dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan. Bahkan dalam waktu 1,5 tahun, yakni pada awal tahun 2013 Prodi MKn Unnar telah mendapatkan Peringkat Akreditasi B dengan nilai 343, hanya terpaut 18 point untuk peringkat akreditasi A (361).
Ingatan saya masih segar, pada saat Prodi MKn Unnar terakreditasi B, boleh dikata hanya ada segelintir (hanya 4 Prodi dari 9 Prodi) yang telah terakreditasi. Mungkin sebagian bertanya, apa kelebihan MKn Unnar dibandingkan dengan MKn lainnya sehingga pada saat itu dapat mencapai akreditasi B? Ya, tidak lain karena sistem penjaminan mutu, baik sistem penjaminan mutu internal maupun eksternal benar-benar kami jaga dengan ketat.
Sistem penjaminan mutu eksternal terangkum dalam 100 point borang akreditasi yang termuat dalam 7 standar pengelolaan pendidikan sebagaimana yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Mulai dari visi-misi, tata pamong, kurikulum, sumber daya manusia, hingga sarana dan prasarana semuanya terangkum dalam borang akreditasi tersebut.
Kenapa hal ini perlu saya sampaikan? Ya, karena saya termasuk subyek yang cukup 'terusik' dengan statemen Dirjen AHU Kemenkumham yang menyatakan bahwa pengelolaan MKn menjadi ajang bisnis yang mengabaikan aspek kurikulum maupun sumber daya manusia. Bagaimanapun, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, tapi bagi kami yang telah dengan benar mengelola Prodi MKn ini cukup terganggu atau mungkin tersinggung dengan statemen itu sekaligus 'mangkel' melihat kenyataan bahwa memang benar adanya oknum pengelola Prodi MKn yang menjadikan 'sajadah suci' ini sebagai ajang bisnis yang laris manis untuk dikomersilkan.
Kaprodi MKn Unnar, Dr. Habib Adjie dalam setiap acara pengukuhan mahasiswa baru MKn selalu mengatakan "Saya dan Pak Rusdi tidak sekedar ingin mencetak notaris yang pintar, tapi mencetak notaris yang baik dan benar". Slogan itulah yang menjadi prinsip kami dalam mengelola Prodi MKn Unnar, sehingga Prodi MKn Unnar mendapat julukan sebagai Prodi paling kaku dalam menerapkan sistem penjaminan mutu. Mulai dari sumber daya manusia pengajar yang kami jaga, misalnya untuk mata kuliah profesi yang mencakup 90% dari seluruh matakuliah di MKn Unnar wajib diasuh oleh Notaris hingga presensi minimal 75% sebagai syarat mengikuti ujian kami terapkan. Bahkan Prodi MKn Unnar memiliki 4 dosen tetap dari kalangan notaris yang bergelar doktor.
Terkait tenaga pengajar yang seharusnya dari kalangan notaris ini, telah lama kami berteriak kencang untuk memprotes Permenristekdikti yang tidak membolehkan notaris menjadi dosen tetap (terakhir Permenristekdikti Nomor 26 Tahun 2015). Ada beberapa notaris yang bergelar doktor yang kami ajukan sebagai dosen tetap namun ditolak, alasannya karena KTP nya sudah tertulis sebagai notaris dan dilarang rangkap profesi. Lalu, jika peraturannya sudah melarang, apakah Prodi dapat disalahkan jika tidak memenuhi keinginan Dirjen AHU agar pengajar MKn (khususnya mata kuliah profesi) seharusnya dari kalangan notaris? Bukankah ini merupakan salah satu bentuk kegagalan koordinasi antar kementerian? Seharusnya Dirjen AHU telah dari dulu memperhatikan dan memperjuangkan teriakan kami agar notaris dapat diangkat sebagai dosen tetap, meskipun dunia sebelah (PTN) akan menolak karena seolah akan kehilangan 'lahan' jika para notaris menjadi pengajar di Prodi MKn.
Memang benar bahwa Dirjen AHU merupakan user atas semua lulusan Prodi MKn, namun tidak semestinya juga menyalahkan Prodi MKn ada saat ini. Sebagai sesama badan/instansi Pemerintah, seharusnya Dirjen AHU proaktif melakukan koordinasi dengan Kemenristekdikti dalam membuat kebijakan pemberian izin pembukaan prodi baru dan kebijakan pengelolaan Prodi MKn karena urusan pendidikan tinggi merupakan kewenangan Kemenristekdikti. Bukan dengan menyatakan bahwa Kemenkumham sebagai pengguna/user, sangsi atas kualitas dan mutu pendidikan MKn. Karena jika demikian dapatlah juga saya bertanya, bukankah Dirjen AHU atau siapapun yang bergelar sarjana, magister, dan/atau doktor hukum lulusan dalam negeri juga merupakan jebolan sistem pendidikan yang ditangani oleh Kemendiknas/Kemendikbud/Kemenristekdikti juga? Secara a contrario dapatkah saya katakan bahwa Dirjen AHU juga meragukan kualitas kesarjanaan hukumnya yang dimiliki saat ini?
Jika semua pejabat negara menyampaikan statemen demikian, padahal dirinya memiliki kewenangan atau setidaknya hak untuk berkoordinasi dengan badan/pejabat negara lainnya guna memastikan kualitas pendidikan yang nantinya akan digunakan oleh mereka, maka tidak ada ungkapan yang tepat untuk menjelaskannya kecuali ungkapan "Quo vadis kewenangan pengelolaan pendidikan tinggi?". Begitupula saat ini yang terjadi dengan pendidikan kenotariatan yang diragukan kualitas lulusannya yang disertai ancaman bahwa jika ada perguruan tinggi yang menolak kebijakan Kemenkumham terkait pengelolaan Prodi MKn maka lulusan prodi tersebut tidak akan diakui dan tidak akan bisa menjadi notaris, maka kamipun bertanya "Quo Vadis Pendidikan Tinggi Kenotariatan Indonesia?"
Wallahu'alam Bisshowab.
*) Penulis adalah Ketua Program Magister Ilmu Hukum FH Unnar Surabaya/Sekretaris Prodi MKn Unnar Periode 2011-2014/Penulis Buku "Hukum & Politik Hukum Jabatan Notaris"